Tidak hanya secara akademis dengan cara menghafal, tapi bagaimana memahami apa yang ia pelajari supaya ketika menyerap suatu informasi, tidak hanya mengikuti saran dari seleb di sosial media saja, melainkan membaca buku dan jurnal tentang beragam hal.Â
Walaupun ada peran Ayah dalam rumah tangga, tapi sebagian besar adalah Ibu yang pertama kali memberikan "goresan" untuk karakteristik anak dan cara anak berpikir.
Ketika sang Ibu malas belajar, maka jangan mengharapkan si anak dengan sendirinya bisa menjadi anak yang ia harapkan. Karena bagi seorang anak, orang tua adalah pusat dunianya, dimana segala tindakan dan ucapan menjadi teladan baginya.
Hal ini seturut apa yang diperjuangkan oleh Ibu R.A Kartini di Jepara, kemudian ada Ibu Dewi Sartika di Jawa Barat, dan masih banyak lagi, bahwa sangat penting bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki.Â
Pertama, untuk mendidik anaknya, tidak hanya secara akademisi, tapi juga secara karakteristik. Kedua, agar istri bisa mendampingi suami untuk berdiskusi, tidak hanya dijadikan "hiasan" ataupun asisten dalam rumah tangga.
Kedua hal ini terus diperjuangkan para perempuan dari berbagai provinsi masa itu, karena banyak sekali kaum perempuan yang sudah menikah, ditinggalkan begitu saja karena dipoligami oleh para suami.
Dan hal tersebut dianggap wajar, terutama untuk perempuan yang sudah menikah, namun tidak dapat memberikan keturunan laki-laki sesuai dengan ketentuan waktu yang diharapkan orang sekitar.
Seperti dalam pribahasa, "sudah jatuh, ketimpa tangga pula", perempuan yang ditinggalkan belum tentu diterima dengan baik oleh keluarganya. Malah, mendapatkan celaan karena dianggap mempermalukan keluarga akibat ditinggalkan oleh suami.Â
Suatu keadaan yang miris untuk diterima saat ini, bukan?Â
Beruntung ada perjuangan dari para ibu-ibu Indonesia pada masa itu, hingga membuat Kongres Perempuan 1 sampai 3, supaya hak sebagai perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dengan pria bisa diterima secara nasional.Â
Dengan begitu, kita sebagai perempuan, kini bisa mengenyam pendidikan dengan lebih leluasa, dalam pernikahan pun kita bisa memutuskan dengan pertimbangan bijak apakah perlu dilanjutkan atau cukup sampai di sini tanpa perlu takut dihindari, dikecam ataupun dihina oleh orang-orang disekitar kita.