Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tingkat Literasi Indonesia yang Rendah atau Ada Salah Persepsi tentang Cara Didik?

14 September 2022   14:57 Diperbarui: 15 September 2022   01:00 1645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak membaca buku yang disediakan relawan Cawang Atas, Kramat Jati, Jakarta Timur, Jumat (11/10/2019)(KOMPAS.com/M ZAENUDDIN) 

Bulan September diinisiasi sebagai Bulan Gemar Membaca, dikarenakan setiap tanggal 14 September, negeri kita memperingati Hari Kunjung Perpustakaan, yang sudah diresmikan sejak tahun 1995 oleh Presiden Soeharto.

Diresmikannya hari peringatan ini tidak sekedar untuk seremonial semata, tapi keinginan sang kepala negara, berikut juga Presiden pendahulunya, yakni Presiden Soekarno, untuk memajukan tingkat literasi generasi bangsa Indonesia. 

Ketika Presiden Soekarno menjabat, beliau sangat mendukung gerakan gemar membaca, agar seluruh generasi bangsa Indonesia bisa melek huruf.

Hal ini dibuktikan adanya catatan bahwa pada tahun 1963, Indonesia menerbitkan banyak buku hingga mendapat pengakuan dari Amerika Serikat, Belanda dan Australia.

Sebagai bentuk pengakuan, Amerika Serikat membeli buku terbitan Indonesia dengan membuka kantor cabang Perpustakaan Nasional AS di Indonesia. 

Kemudian, Badan Literasi Belanda Koninklijk Institut voor Taal Land en Volkendkunde (KITLV) mengakuisisi terbitan Indonesia di bidang ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan. Dan Australia, membeli ragam buku terbitan Indonesia dengan membuka perwakilan kantor Perpustakaan Nasional.

Tidak sekedar pengakuan, kita bisa membuktikan generasi yang lahir tahun 1950-1960an biasanya gemar membaca, entah itu dalam bentuk buku, koran ataupun majalah. 

Aktivitas membaca menjadi jendela dunia bagi para generasi pada masanya.

Namun belakangan, Indonesia dinyatakan memiliki tingkat literasi yang rendah. Literasi di sini mencangkup kegiatan membaca, menulis, memahami bacaan dan mengkomunikasikannya. 

Pernyataan ini berdasarkan survei Program for International Student Assessment (PISA), yang pada tahun 2018, tingkat literasi Indonesia berada di peringkat 71 dari 77 negara. Kemudian pada tahun 2019, Indonesia menduduki peringkat ke 62 dari 70 negara.

Menurut keterangan Ahmad Junaidi SPd, MA, Founder Jage Kastare Foundation, beliau menemukan satu dari lima siswa SD kelas dua belum bisa memahami kata pada bacaan sederhana. Dan ada dua dari tiga siswa SMP kelas delapan yang belum bisa menarik kesimpulan dengan baik. Penemuan ini terjadi di Nusa Tenggara Barat.

Mengapa ini bisa terjadi?

Mungkin kita bisa mundur banyak mengenai budaya literasi terlebih dahulu.

Budaya literasi ini bukanlah kebiasaan orang Indonesia sebenarnya. 

Budaya ini datang dari bangsa Mesopotamia, kemudian berlanjut ke bangsa Romawi dan akhirnya menyebar ke seluruh Eropa, termasuk Amerika.

Diawali dengan terciptanya tulisan untuk kepentingan pemerintahan, terutama sejarah para raja yang berkuasa, kemudian berlanjut dengan kredibilitas seseorang ketika bisa menulis dan membaca dengan suara lantang.

Raja yang bisa membaca dengan suara lantang, selalu membanggakan kemampuannya. Tidak heran, masyarakat yang saat itu masih tunduk dalam sistem monarki dan menganggap Raja sebagai teladan yang mutlak, maka kebiasaan membaca pun menjadi sebuah hal yang bergengsi.

Seturut dengan perkembangan zaman, kebiasaan membaca dengan lantang bergeser menjadi membaca dalam hati saja. Suatu kemampuan yang mengagumkan pada masanya. Bisa membaca dalam hati di ruang tersendiri pun bagaikan idaman banyak orang.

Profesi juru tulis pun menjadi sesuatu yang membanggakan, berikut dengan gelar sebagai sastrawan dan pujangga, terutama pada masa Renaissance, dimana ilmu pengetahuan dan kebebasan berpikir berkembang.

Datangnya bangsa Eropa ke Indonesia, memberikan wawasan baru bagi penduduk Nusantara, terutama dalam bidang pendidikan.

Nilai dan reputasi yang dianggap bergengsi oleh bangsa Eropa, terutama Belanda pun didoktrinkan kepada orang Indonesia, di mana orang yang mengenyam bangku sekolah, itulah orang yang pintar dan memiliki masa depan.

Ilustrasi tingkat literasi yang rendah | Foto: Pexels.com/Pixabay
Ilustrasi tingkat literasi yang rendah | Foto: Pexels.com/Pixabay

Bisa membaca dan menulis menjadi salah satu keahlian yang dibanggakan.

Nah, bagaimana dengan kebiasaan penduduk Nusantara sendiri? Apakah tidak memiliki budaya membaca dan menulis? Dan, maaf, menjadi kurang pintar?

Kebiasaan menulis dan membaca sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu, hanya saja dalam bentuk huruf Pallawa, dengan bahasa Sansekerta. 

Di Pulau Jawa sendiri, ada aksara Jawa yang menandai bahwa bangsa kita ini bukan yang benar-benar buta huruf. Akan tetapi ada perbedaan aksara dan cara baca dengan orang Eropa yang menduduki negeri kita.

Lebih lanjut, kebiasaan membaca dan menulis memang bukan prioritas yang harus dimiliki oleh penduduk negeri ini, namun lebih berkembang cita rasa seni dan budaya tutur. 

Hal ini terbukti bagaimana Sunan Kalijaga mampu merekrut penduduk Pulau Jawa dalam memeluk agama Islam, yakni melalui kesenian wayang dan story telling.

Tidak hanya itu pergaulan dengan cara berkomunikasi secara kekeluargaan mampu membuat masyarakat Indonesia menciptakan suatu kesenian baru yang akhirnya bisa menghidupi mereka dengan cara berdagang.

Terbukti adanya kain tenun yang dibuat dari benang emas dan perak yang diistilahkan sebagai songket, kemudian batik dengan motif huruf Arab, dan  sebagainya.

Kekuatan Indonesia dalam bidang maritim pun terbukti dengan adanya Kapal Pinisi yang dibuat oleh Suku Bugis dan Suku Makassar. Kapal yang diminati oleh banyak negara untuk ekspedisi.

Artinya di sini, kebiasaan membaca dan menulis memang bukanlah kebiasaan kebanyakan orang Indonesia yang ditanamkan sejak dini. 

Keahlian orang Indonesia sebenarnya kuat di bidang yang berbeda, yakni kesenian. Dan cara belajarnya pun lebih cenderung praktik, ketimbang teoritis.

Kegiatan belajar harus dengan cara duduk anteng, mendengarkan guru, kemudian mengulang apa yang dikatakan guru semata. Tentu sangat membosankan. Belum lagi di rumahnya sendiri, belum tentu ada orang tua, kakek ataupun nenek yang mencontohkan sang anak untuk duduk diam membaca. 

Akibatnya kegiatan membaca dan menulis akan sulit untuk digemari oleh sang anak, karena ada ketidaksesuaian budaya di rumah dan lingkungan sekitarnya.

Berbeda dengan orang negara Barat sana, termasuk New Zealand yang sudah memiliki kebiasaan membaca dan menulis secara turun-temurun. 

Otomatis, anak yang melihat kebiasaan orang tua ataupun panutannya senang membaca dan menulis, belum lagi di sekolahnya, mungkin suasana belajar dibuat senyaman mungkin, membuat sang anak merasa kegiatan membaca dan menulis adalah sesuatu yang menyenangkan.

Indonesia, kini bukan lagi zaman perjuangan yang di mana masyarakatnya harus berusaha mengikuti standar pintarnya orang negara Barat. Perlu diakui bahwa keadaan Indonesia kini jauh lebih tenang dan nyaman. 

Menjadi orang yang pintar secara akademisi tidak lagi menjamin kesuksesan hidup. Yang diperlukan saat ini justru sikap yang kritis dan kreatif.

Tapi sikap kritis dan kreatif tentu lahir dari dasar literasi yang kuat, bukan?

Saya pernah membaca artikel tentang cara didik ala New Zealand, Finlandia, Jepang dan Korea.

Ternyata pendidikan yang diterapkan di Indonesia, termasuk dengan harapan orang tua ke anak, sangat menekan perkembangan kreativitas dan minat anak untuk belajar.

Di negara-negara yang pendidikannya sangat maju, anak usia 3-5 tahun tidak dicecar dan dipaksa harus sudah mahir membaca dan menulis. 

Sebaliknya, anak-anak dibiasakan untuk mengeksplor alam, lingkungan di sekitarnya, serta menanamkan perilaku yang sopan dan baik.

Pada usia golden age, yakni satu sampai lima tahun, perkembangan otak anak sangatlah pesat sekali. 

Namun bukan berarti, kita mencekoki banyak huruf dan angka dikepalanya, kita hanya perlu mengenalkannya terlebih dahulu. Prioritas utama adalah motorik anak yang bisa melatih otak mereka.

Ketika anak banyak bertanya, bukan berarti anak bawel ataupun bandel, tapi di situlah mereka sedang mengeksplor dunia baru. Di sinilah peran penting kita, orang tua dan keluarga, sekaligus para gurunya untuk selalu bisa menjawab pertanyaan sang anak, seaneh apapun. Karena otak anak tersebut sedang terangsang pada pengetahuan baru.

Kebiasaan membaca pun mulai dibangun, dengan cara kita membacakan buku untuk anak. Kemudian di akhir bacaan, kita mengajak sang anak untuk menarik kesimpulan dari bacaan yang kita bacakan.

Dan ada baiknya, kita pun turut gemar membaca di depan anak, sehingga sang anak memiliki trigger untuk senang membaca. Jadi, bukan di balik, malah anak yang masih kecil ini disuruh sudah mahir membaca.

Tahap harus mahir membaca dan menulis yang tidak sesuai dengan usianya, belum lagi tidak adanya panutan, membuat anak-anak mengalami stres dini.

Pada satu titik tertentu, kegiatan membaca, menulis, bahkan memahami bacaan menjadi suatu kegiatan yang memuakkan karena merasa dipaksa secara tidak sadar.

Pada negara yang pendidikannya maju, anak-anak usia 7 tahun belum tentu ada yang benar-benar mahir membaca dan menulis. Tapi kinerja otak mereka sudah terbentuk sempurna. Apakah itu artinya anak-anak kita menjadi lambat?

Hoho...jangan remehkan kecerdasan anak-anak usia dini, asalkan kita membimbing mereka sesuai dengan tumbuh kembang dan kapasitasnya, maka mereka akan tumbuh menjadi anak yang sangat cerdas.

Mungkin bisa diawali dari kurikulum pemerintah yang tidak menekankan anak usia masuk sekolah dasar sudah harus mahir membaca dan menulis. Atau bisa juga evaluasi kembali kebijakan-kebijakan yang mendorong tingkat literasi anak menjadi rendah.

Penekanan tersebut hanya akan membuat anak-anak stres dini dan semakin malas membaca dan menulis, apalagi kebiasaan tersebut bukanlah budaya kita. 

Orang tua pun, saya rasa, tidak perlu ambisius dengan memberikan begitu banyak pelajaran agar anaknya pintar. Justru permainan yang menstimulasi otaklah yang dibutuhkan anak-anak usia dini.

Keinginan agar anak pintar tidak salah sebenarnya, namun akan lebih baik kalau kita konseling terlebih dahulu pada pakar pendidikan ataupun mencari tahu cara membimbing tumbuh kembang anak sesuai usia dari artikel atau jurnal yang terpercaya. 

Dengan begitu, anak akan merasa kegiatan belajar itu adalah sesuatu yang menyenangkan, bukan hal yang dipaksakan. Yang berakibat tingkat literasi bangsa ini semakin rendah.

Tidak menutup kemungkinan cara didik yang menyenangkan dan menyesuaikan dengan kapasitas anak sesuai umurnya, bisa meningkatkan tingkat literasi bangsa ini semakin maju. 

Dan generasi bangsa kita bisa berkembang dan maju sesuai dengan keahliannya.

Salam literasi 

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun