Menurut keterangan Ahmad Junaidi SPd, MA, Founder Jage Kastare Foundation, beliau menemukan satu dari lima siswa SD kelas dua belum bisa memahami kata pada bacaan sederhana. Dan ada dua dari tiga siswa SMP kelas delapan yang belum bisa menarik kesimpulan dengan baik. Penemuan ini terjadi di Nusa Tenggara Barat.
Mengapa ini bisa terjadi?
Mungkin kita bisa mundur banyak mengenai budaya literasi terlebih dahulu.
Budaya literasi ini bukanlah kebiasaan orang Indonesia sebenarnya.Â
Budaya ini datang dari bangsa Mesopotamia, kemudian berlanjut ke bangsa Romawi dan akhirnya menyebar ke seluruh Eropa, termasuk Amerika.
Diawali dengan terciptanya tulisan untuk kepentingan pemerintahan, terutama sejarah para raja yang berkuasa, kemudian berlanjut dengan kredibilitas seseorang ketika bisa menulis dan membaca dengan suara lantang.
Raja yang bisa membaca dengan suara lantang, selalu membanggakan kemampuannya. Tidak heran, masyarakat yang saat itu masih tunduk dalam sistem monarki dan menganggap Raja sebagai teladan yang mutlak, maka kebiasaan membaca pun menjadi sebuah hal yang bergengsi.
Seturut dengan perkembangan zaman, kebiasaan membaca dengan lantang bergeser menjadi membaca dalam hati saja. Suatu kemampuan yang mengagumkan pada masanya. Bisa membaca dalam hati di ruang tersendiri pun bagaikan idaman banyak orang.
Profesi juru tulis pun menjadi sesuatu yang membanggakan, berikut dengan gelar sebagai sastrawan dan pujangga, terutama pada masa Renaissance, dimana ilmu pengetahuan dan kebebasan berpikir berkembang.
Datangnya bangsa Eropa ke Indonesia, memberikan wawasan baru bagi penduduk Nusantara, terutama dalam bidang pendidikan.
Nilai dan reputasi yang dianggap bergengsi oleh bangsa Eropa, terutama Belanda pun didoktrinkan kepada orang Indonesia, di mana orang yang mengenyam bangku sekolah, itulah orang yang pintar dan memiliki masa depan.