Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak adalah Anugerah, Apa Benar?

12 November 2019   21:59 Diperbarui: 12 November 2019   22:01 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Theconversation.com

Anak adalah anugerah, kesempurnaan pernikahan, katanya, dengan adanya kehadiran anak.

Tapi, dilihat dari pengalaman saya mengajar TK dan melihat pengalaman banyak orang tua yang memiliki beragam usia, saya menyimpulkan, yap, kehadiran anak adalah anugerah ketika orangtuanya sudah siap mental dan sudah dewasa secara emosional.

Mengapa saya katakan seperti itu?

Kesempurnaan pernikahan tidak berhenti ketika anak sudah lahir, kesempurnaan akan terasa ketika anak yang kita lahirkan, rawat dan didik menjadi "orang" dan bisa beradaptasi dengan masyarakat dari masa ke masa.

Sehingga ketika kita sudah tua renta nanti, kita bisa yakin anak kita bisa menghadapi segala rintangan hidup dan bisa bertanggung jawab dengan segala pilihan hidupnya.

Akan tetapi, tidak mudah mendidik anak, perlu kesiapan mental dan kedewasaan secara emosional, dan ini tentu tidak berbanding lurus dengan tuanya usia, tapi berbanding lurus dengan informasi dan pengetahuan yang kita dapatkan mengenai cara yang baik dalam mendidik anak, dan memahami pola asuh yang bagaimana seharusnya diterapkan untuk anak kita nanti.

Dulu saya sudah menargetkan sebelum usia 30 tahun, saya mau memiliki anak, karena saya sangat menyukai anak-anak.

Namun, ketika saya berhadapan langsung dengan anak-anak dan segala problematikanya, saya akhirnya memutuskan saya akan memiliki anak ketika saya sudah siap mental dan dewasa secara emosional, dan beruntungnya, suami mendukung keputusan saya. 

Bercerita sedikit tentang anak yang saya pegang saat berprofesi sebagai guru, mereka berusia sekitar 3-4 tahun.

Ada seorang anak, sebut saja Amanda. Begitu bandel anak ini, sampai saya rasanya malas sekali memegang anak ini. Meleng sedikit, temannya pasti dicakar, atau bisa jadi memberantaki kelas, atau membuat suasana kelas menjadi kacau balau.

Sampai suatu hari, ketika sang anak menanyakan apakah saya tidak menyayanginya, hati saya begitu merasa bersalah padanya. Saya pun mulai mencari tahu tentang dirinya.

Ternyata selama ini, dia tidak pernah "disentuh" oleh ibunya. Karena sifatnya yang terlalu aktif dan berbeda dengan kakaknya yang penurut dan pendiam, serta nilainya selalu bagus.

Amanda dicap nakal dan tidak bisa diatur. Ibunya hampir tidak menyediakan waktu untuk mengobrol dengan Amanda, mungkin karena saking kesalnya melihat anak ini begitu aktif, nyaris tidak bisa diatur.

Saya pun akhirnya berusaha membuka diri untuk menyayangi Amanda, yang ternyata bila disayang secara tulus, Amanda adalah anak yang begitu manis dan penurut. Saya mulai memperhatikan bakatnya yang ternyata suka menyanyi dan menari, pantas saja anak ini tidak bisa diam. Di usianya yang baru 3 tahun, ternyata dimasa ia banyak menyerap ilmu pengetahuan, ia banyak melakukan hal yang menurut kita itu suatu kenakalan, tapi ternyata disana ia sedang mempelajari "dunia baru" baginya.

Usaha punya usaha untuk bisa melaporkan perkembangan Amanda, akhirnya ibunya mau datang ke sekolah, mengadakan perayaan ulang tahun untuk Amanda, dan kagetnya ibunya mengikutsertakan Amanda dalam kursus balet dan masuk sanggar menyanyi. Hal yang selama ini tidak pernah dilakukan Ibu Amanda.

Perubahan karakter pada diri Amanda, langsung berbalik 180 derajat, ia menjadi anak yang anggun, bayangkan usia 3 tahun, anggun! manis dan sangat teratur. Hebat sekali "sentuhan" orang tua itu. Dari baby sitternya, saya mendapatkan informasi kalau ibunya semakin sering membaca tentang pola pendidikan anak, serta lebih banyak meluangkan waktu untuk Amanda juga. Ibunya juga sudah berlaku adil pada Amanda dan kakaknya, dan tidak pernah lagi membandingkan keunggulan Amanda dengan kakaknya.

Inilah yang saya maksud kesiapan mental dan kedewasaan emosional.

Ketika orang tua  melihat anaknya berbeda dari yang lain, dan tidak sesuai dengan ekspetasinya, banyak orang tua yang saya perhatikan langsung membandingkan anak-anaknya dengan dirinya atau dengan anak orang lain, terkadang ada juga yang membandingkan dengan saudara sendiri. 

Mungkin orang tua berpikir itu bisa memicu daya saing dan daya juang anak. Ternyata tidak semua anak bisa "dipecut" seperti itu. Ketika orang tua malah membandingkan anaknya yang bisa dikategorikan "nakal", "bodoh" atau "malas" dengan orang lain, bisa jadi anak semakin memberontak atau bisa jadi malah menjadi tidak percaya diri, bahkan bisa jadi apatis.

Seperti kasus Amanda, ia memilih menjadi pemberontak karena merasa tidak disayang, dan ingin mencari cara agar dirinya diperhatikan. Ketika karakter anak tidak sesuai ekspetasi, bisa jadi kita, sebagai orang tua, malah mengeluh dan "memaksa" anak tersebut kembali ke jalur menjadi anak yang baik dan pintar, menurut versi kita, akhirnya apakah kehadiran anak menjadi anugerah, atau malah jadi bahan stresnya kita?

Akan berbeda hasilnya, ketika orang tua sudah siap mental, menghadapi anaknya yang butuh perhatian, butuh ditemani dan butuh sosok yang menjadi panutan. Ketika sudah menjadi orang tua, saya baru menyadari, kita tidak lagi meluangkan waktu untuk anak, tapi seharusnya seluruh waktu kita berikan untuk membentuk pola pikir dan karakter anak bisa menjadi baik, yang akan menjadi bekal untuk usia mereka dewasa nanti. Tentu ini perlu kesiapan mental kita, sanggup tidak menghadapi celotehan anak sebegitu banyaknya, sanggup tidak menjawab pertanyaan anaknya sebegitu banyaknya dan seringkali diulang-ulang. ch

Bila kita tidak siap mental, kita akan merasa waktu kita untuk anak sebagai pengorbanan, dan akhirnya akan menyebut "pengorbanan" kita ketika sedang emosi. Atau bisa jadi, paling gampang memberikan anak gawai saja, agar tidak menganggu waktu kita sedang bekerja ataupun sedang kepo di sosial media.

Anak bisa kita lihat sebagai anugerah juga ketika orang tua sudah dewasa secara emosional.

Sebagai contoh, dulu ada orang tua dari Taiwan, saat awal bersekolah anaknya sama sekali tidak bisa bicara dalam bahasa Indonesia. Selain anak tersebut juga ada 2 anak asal Taiwan lainnya.

Dalam 3 bulan, teman-temannya sudah bisa berbahasa Indonesia baku dengan fasih, mendengarkan pun sudah bagus, asalkan para gurunya berbahasa Indonesia baku. Berbeda dengan dirinya yang masih tersendat, dan belum bisa memahami bahasa Indonesia.

Ibunya pun mempertanyakan perkembangan sang anak, tapi tidak pernah sama sekali anaknya dimarahi karena tidak secerdas teman lainnya. Ia hanya ditegur untuk lebih memperhatikan pelajaran.

Akhirnya saya dan teman berinisiatif untuk terus bicara bahasa Indonesia dengan anak tersebut, kami pun mengajak ibu dan ayahnya untuk berbicara kepada sang anak bahasa Indonesia.

Anak tersebut akhirnya selalu berusaha berbicara bahasa Indonesia dengan teman-temannya, walau kadang ada saja teman yang meninggalkannya karena tidak paham apa yang anak tersebut bicarakan. Tapi anak itu selalu percaya diri, dan terus berusaha, karena ibunya selalu memuji setiap perkembangan bahasa yang telah dikuasai sang anak.

Alhasil anak itu akhirnya bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, bahkan bisa bicara dalam bahasa Indonesia yang sehari-hari kita pakai, sudah bukan lagi bahasa baku.

Hal ini dikarenakan kedua orang tua sang anak sudah dewasa secara emosional, mereka tidak perlu lagi mendapatkan "pengakuan" dari teman-temannya sehingga harus membandingkan prestasi anaknya dengan anak orang lain. Mereka cukup memantau perkembangan anaknya dari tidak bisa, bisa sedikit, bisa lumayan banyak sampai akhirnya fasih.

Tidak ada keluhan tentang si anak dari mulut kedua orang tuanya. Mereka percaya pada kemampuan anaknya, dengan begitu anaknya bisa lebih percaya diri, karena orang yang dipanut olehnya percaya pada kemampuan dirinya. Disitulah akhirnya anak benar menjadi anugerah.

Berbeda kalau kita belum dewasa, dengan terus membandingkan diri anak kita dengan anak orang lain, yang berbeda karakter dan jenis kecerdasan.

Misalkan anak A memiliki kecerdasan tipe audio visual, maka ketika anak tersebut dengan mendengarkan guru dan membaca buku akan lebih mudah menangkap daripada anak B yang tipe kecerdasannya adalah kinetik, dimana sang anak harus praktik terlebih dahulu baru bisa menangkap apa yang guru ajarkan.

Bila kita tidak memiliki informasi tentang cara mendidik anak yang baik, anak bisa menjadi stres karena secara tidak sadar kita telah menekannya, dan tumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri, karena kita terus membandingkannya dengan orang lain.

Anak tidak paham kalau ia cerdas dalam bidang yang lain, karena kita sudah memberikan standar terlebih dahulu, orang bisa dikatakan cerdas kalau berhasil mendapatkan ranking 1 dikelas, misalnya.

Disinilah anak bisa dikatakan sebagai beban, bukan lagi anugerah, karena kita seperti tidak bersyukur dengan anak kita yang memiliki kecerdasan kinetik, atau karakter yang lumayan aktif, misalkan. Kalau sudah seperti itu, kita menyebut anak sebagai anugerah, tapi sama sekali tidak "memahami" anak, bisa dikatakan itu hanyalah pemanis kata saja.

Memahami disini bukan berarti memanjakan dan sama sekali tidak memarahi anak, akan tetapi memahami pola belajar dan karakter si anak tanpa membandingkan terus dirinya dengan orang lain.

Kita bisa menyesuaikan pola pendidikan kita dengan tipe kecerdasan dan karakter anak, tentu perlu ada disiplin dan ketegasan juga yang mengiringinya, agar anak kita nanti bisa menjadi "orang" dan mampu beradaptasi dengan masyarakat dari masa ke masa.

Jadi benar anak adalah anugerah, ketika kita, sebagai orang tua, sudah memiliki kesiapan mental dan kedewasaan emosional yang didapat dari banyak ilmu tentang pola pendidikan dan pola asuh anak. Dan saya harap kedua hal ini jangan disepelekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun