Bila kita tidak siap mental, kita akan merasa waktu kita untuk anak sebagai pengorbanan, dan akhirnya akan menyebut "pengorbanan" kita ketika sedang emosi. Atau bisa jadi, paling gampang memberikan anak gawai saja, agar tidak menganggu waktu kita sedang bekerja ataupun sedang kepo di sosial media.
Anak bisa kita lihat sebagai anugerah juga ketika orang tua sudah dewasa secara emosional.
Sebagai contoh, dulu ada orang tua dari Taiwan, saat awal bersekolah anaknya sama sekali tidak bisa bicara dalam bahasa Indonesia. Selain anak tersebut juga ada 2 anak asal Taiwan lainnya.
Dalam 3 bulan, teman-temannya sudah bisa berbahasa Indonesia baku dengan fasih, mendengarkan pun sudah bagus, asalkan para gurunya berbahasa Indonesia baku. Berbeda dengan dirinya yang masih tersendat, dan belum bisa memahami bahasa Indonesia.
Ibunya pun mempertanyakan perkembangan sang anak, tapi tidak pernah sama sekali anaknya dimarahi karena tidak secerdas teman lainnya. Ia hanya ditegur untuk lebih memperhatikan pelajaran.
Akhirnya saya dan teman berinisiatif untuk terus bicara bahasa Indonesia dengan anak tersebut, kami pun mengajak ibu dan ayahnya untuk berbicara kepada sang anak bahasa Indonesia.
Anak tersebut akhirnya selalu berusaha berbicara bahasa Indonesia dengan teman-temannya, walau kadang ada saja teman yang meninggalkannya karena tidak paham apa yang anak tersebut bicarakan. Tapi anak itu selalu percaya diri, dan terus berusaha, karena ibunya selalu memuji setiap perkembangan bahasa yang telah dikuasai sang anak.
Alhasil anak itu akhirnya bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, bahkan bisa bicara dalam bahasa Indonesia yang sehari-hari kita pakai, sudah bukan lagi bahasa baku.
Hal ini dikarenakan kedua orang tua sang anak sudah dewasa secara emosional, mereka tidak perlu lagi mendapatkan "pengakuan" dari teman-temannya sehingga harus membandingkan prestasi anaknya dengan anak orang lain. Mereka cukup memantau perkembangan anaknya dari tidak bisa, bisa sedikit, bisa lumayan banyak sampai akhirnya fasih.
Tidak ada keluhan tentang si anak dari mulut kedua orang tuanya. Mereka percaya pada kemampuan anaknya, dengan begitu anaknya bisa lebih percaya diri, karena orang yang dipanut olehnya percaya pada kemampuan dirinya. Disitulah akhirnya anak benar menjadi anugerah.
Berbeda kalau kita belum dewasa, dengan terus membandingkan diri anak kita dengan anak orang lain, yang berbeda karakter dan jenis kecerdasan.