Sampai suatu hari, ketika sang anak menanyakan apakah saya tidak menyayanginya, hati saya begitu merasa bersalah padanya. Saya pun mulai mencari tahu tentang dirinya.
Ternyata selama ini, dia tidak pernah "disentuh" oleh ibunya. Karena sifatnya yang terlalu aktif dan berbeda dengan kakaknya yang penurut dan pendiam, serta nilainya selalu bagus.
Amanda dicap nakal dan tidak bisa diatur. Ibunya hampir tidak menyediakan waktu untuk mengobrol dengan Amanda, mungkin karena saking kesalnya melihat anak ini begitu aktif, nyaris tidak bisa diatur.
Saya pun akhirnya berusaha membuka diri untuk menyayangi Amanda, yang ternyata bila disayang secara tulus, Amanda adalah anak yang begitu manis dan penurut. Saya mulai memperhatikan bakatnya yang ternyata suka menyanyi dan menari, pantas saja anak ini tidak bisa diam. Di usianya yang baru 3 tahun, ternyata dimasa ia banyak menyerap ilmu pengetahuan, ia banyak melakukan hal yang menurut kita itu suatu kenakalan, tapi ternyata disana ia sedang mempelajari "dunia baru" baginya.
Usaha punya usaha untuk bisa melaporkan perkembangan Amanda, akhirnya ibunya mau datang ke sekolah, mengadakan perayaan ulang tahun untuk Amanda, dan kagetnya ibunya mengikutsertakan Amanda dalam kursus balet dan masuk sanggar menyanyi. Hal yang selama ini tidak pernah dilakukan Ibu Amanda.
Perubahan karakter pada diri Amanda, langsung berbalik 180 derajat, ia menjadi anak yang anggun, bayangkan usia 3 tahun, anggun! manis dan sangat teratur. Hebat sekali "sentuhan" orang tua itu. Dari baby sitternya, saya mendapatkan informasi kalau ibunya semakin sering membaca tentang pola pendidikan anak, serta lebih banyak meluangkan waktu untuk Amanda juga. Ibunya juga sudah berlaku adil pada Amanda dan kakaknya, dan tidak pernah lagi membandingkan keunggulan Amanda dengan kakaknya.
Inilah yang saya maksud kesiapan mental dan kedewasaan emosional.
Ketika orang tua  melihat anaknya berbeda dari yang lain, dan tidak sesuai dengan ekspetasinya, banyak orang tua yang saya perhatikan langsung membandingkan anak-anaknya dengan dirinya atau dengan anak orang lain, terkadang ada juga yang membandingkan dengan saudara sendiri.Â
Mungkin orang tua berpikir itu bisa memicu daya saing dan daya juang anak. Ternyata tidak semua anak bisa "dipecut" seperti itu. Ketika orang tua malah membandingkan anaknya yang bisa dikategorikan "nakal", "bodoh" atau "malas" dengan orang lain, bisa jadi anak semakin memberontak atau bisa jadi malah menjadi tidak percaya diri, bahkan bisa jadi apatis.
Seperti kasus Amanda, ia memilih menjadi pemberontak karena merasa tidak disayang, dan ingin mencari cara agar dirinya diperhatikan. Ketika karakter anak tidak sesuai ekspetasi, bisa jadi kita, sebagai orang tua, malah mengeluh dan "memaksa" anak tersebut kembali ke jalur menjadi anak yang baik dan pintar, menurut versi kita, akhirnya apakah kehadiran anak menjadi anugerah, atau malah jadi bahan stresnya kita?
Akan berbeda hasilnya, ketika orang tua sudah siap mental, menghadapi anaknya yang butuh perhatian, butuh ditemani dan butuh sosok yang menjadi panutan. Ketika sudah menjadi orang tua, saya baru menyadari, kita tidak lagi meluangkan waktu untuk anak, tapi seharusnya seluruh waktu kita berikan untuk membentuk pola pikir dan karakter anak bisa menjadi baik, yang akan menjadi bekal untuk usia mereka dewasa nanti. Tentu ini perlu kesiapan mental kita, sanggup tidak menghadapi celotehan anak sebegitu banyaknya, sanggup tidak menjawab pertanyaan anaknya sebegitu banyaknya dan seringkali diulang-ulang. ch