Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Proteksi Diri dari Ancaman Gangguan Mental

9 Oktober 2019   12:55 Diperbarui: 10 Oktober 2019   12:59 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Getty Images/iStockphoto

Film Joker seperti memberikan gambaran bagi saya, bagaimana seseorang yang baik dan tulus menjadi seorang psikopat karena tekanan sosial dan situasinya, yang kemudian membuatnya begitu memendam banyak kekecewaan dan kemarahan, serta kesedihan, sehingga memunculkan karakter dirinya yang jahat.

Menurut saya, setiap manusia memiliki dua sisi, baik dan jahat. Ketika lingkungan keluarga dan sosial memperlakukan kita dengan begitu baik, maka sisi positif kita akan muncul. 

Sebaliknya, bila kita diperlakukan tidak baik dan kondisi pun malah mendukung untuk menyerang kita, tanpa sadar sifat-sifat jahat atau negatif kita akan muncul dan bisa jadi mendominasi diri kita.

Ketika pribadi kita yang jahat ini muncul, orang di lingkungan sekitar kita akan cenderung menjauhi dan bahkan malah tambah mengata-ngatai, dengan begitu pribadi jahat ini akan semakin muncul dan muncul.

Seperti kasus Marshanda yang ternyata mengidap penyakit bipolar karena bully-an teman-temannya. Ketika dirinya bercerai dengan mantan suaminya, Ben Kasyafani, ada komentar dari salah satu netizen, "Siapa yang betah dengan orang aneh kayak elu (Marshanda)."

Memang itu kalimat sederhana, tapi menurut saya, itu adalah olokan. 

Kalau Marshanda memasukkan kalimat tersebut dalam hatinya, bisa jadi penyakit bipolarnya kambuh. Walau orang mengatakan "Sudah tidak perlu dipikirkan", bagi orang yang sudah menderita gangguan mental, apalagi yang sedang mendapatkan terapi, hal ini tentu tidak mudah ditanggapi dengan "Ahh cuek aja".

Disini saya ingin berbagi pengalaman pribadi dengan Anda, siapa tahu Anda bisa memberitahu anak, saudara ataupun lingkungan sekitar untuk saling menghargai dan tidak menjauhi orang yang bermasalah, melainkan merangkulnya agar bisa kembali ke jalan yang benar. 

Juga, mungkin yang memiliki rasa rendah diri dan tidak berharga, ataupun emosional berlebihan bisa menguraikan segala emosinya sehingga tidak menciptakan gangguan mental tanpa disadari.

Gangguan mental, menurut saya tidak melulu seperti gila ataupun yang down syndrome. Ada juga gangguan mental seperti bipolar, manipulatif, tidak memiliki rasa sayang, kejam terhadap seseorang, tega membunuh, menyiksa anak dan sebagainya. Karena apabila dibiarkan akan menjadi pribadi yang psikopat, seperti Joker.

Saya pribadi kalau tidak ada dukungan dari keluarga, sahabat, dan pasangan, terutama kebaikan Tuhan, ada kemungkinan saya memiliki gangguan mental yang parah.

Diawali dari keluarga
Bagi orangtua yang telah memiliki anak atau yang belum, ada baiknya mempelajari lebih banyak tentang parenting.

Maaf bukan saya sok tahu, karena tidak mudah mendidik anak. Terkadang anak yang terlalu lincah dan kita sendiri sudah lelah, akhirnya malah memarahi atau memukul sang anak, padahal menurut si anak, dia tidak bersalah dan bingung kenapa dia dipukul. 

Bila itu terus terjadi, bisa jadi sang anak malah bertumbuh menjadi orang yang sangat keras dan bisa juga malah berbalik menyerang orang tua. 

Saya dididik dengan begitu keras oleh kedua orangtua saya. Kalau saya salah, pasti saya akan dihukum dan dipukuli. Bila saya memberikan pembelaan diri, karena saya tidak merasa diri salah, maka saya akan dipukul lebih kencang.

Setelah sudah dewasa dan bisa mengobrol dengan Ibu saya, saya baru tahu bahwa beliau bermaksud mendidik saya, supaya saya tahu batasan mana yang benar dan mana yang salah. Ibu saya masih terbawa cara mendidik zaman dahulu, menurutnya itulah cara mendidik yang benar.

Sedangkan, ayah saya jarang sekali mau berbicara dengan saya. Sekalinya bicara, pasti menceritakan tentang penderitaannya dan membandingkan saya dengan adik.

Saat itu saya tidak tahu kalau saya sangat cuek, ayah bermaksud supaya saya menjadi orang yang lebih perhatian seperti adik. Tapi karena saya tidak paham, saya merasa saya tidak layak disayang dan saya bukanlah bagian dari keluarga ini.

Saya pun tidak pernah mendapatkan pujian ketika nilai ulangan saya bagus. Berbeda kalau adik saya mendapatkan nilai bagus, ayah dan ibu saya pasti selalu memujinya depan saya, bahkan adik mau minta apa pasti dibelikan. 

Belakangan saya baru tahu, kalau saya dipuji, saya pasti akan malas belajar lagi, karena saya tipe yang malas belajar. Hehe..

Karena tidak ada penjelasan, selalu dipukul dan dihukum, dibanding-bandingkan, bahkan tidak pernah ada pujian, menjadikan saya menjadi anak yang tidak memiliki rasa sayang pada orang lain, tidak punya rasa kasihan, saya didunia ini adalah salah dan parahnya saya membenci kedua orangtua saya.

Lucunya, hasil konseling saya dengan guru, atasan ataupun teman-teman yang bekerja dibidang psikolog, mereka mengatakan kalau saya tidak memiliki figur ayah. 

Kemudian lingkungan sekolah
Sekarang sedang marak kasus pembullyan siswa oleh teman-temannya, sebenarnya ini sudah terjadi sejak dulu. Mirisnya, jarang sekali ada guru yang mau turun tangan membantu. Kalau ini saya kurang paham, mengapa para guru jarang mau terlibat bila melihat salah satu siswa di bully.

Kejadian yang saya alami di sekolah, ternyata menjadi faktor utama yang membuat saya mengalami gangguan mental di kemudian hari. 

Maaf, saya disini menceritakan hal yang agak sensitif, bukan bermaksud mengadu domba akan tetapi ingin memberikan gambaran, bahwa kita tidak pantas untuk menilai seseorang dari hal-hal yang berbau SARA.

Saya keturunan campuran etnis keturunan Tionghoa dan Palembang asli, agama yang tertera di kartu keluarga adalah Islam. Saya pribadi diperkenalkan berbagai agama, karena masing-masing anggota keluarga saya memiliki agama yang berbeda dan semuanya baik-baik saja. 

Ibu dan ayah saya memberikan saya kebebasan untuk belajar. Kata Ibu, kalau saya sudah mantap di satu agama nanti, saya baru boleh memilih, sehingga jalan yang saya tempuh didunia benar-benar berdasarkan kebenaran Tuhan.

Selama saya bersekolah, saya pernah mendapatkan bully-an sewaktu TK. TK tersebut mayoritas memeluk agama Islam dan karena kulit saya paling putih, saya selalu dikatai "Cina" oleh teman-teman saya. 

Beruntung, guru di sana sangat memperhatikan murid-muridnya, kami ditanamkan untuk saling menyayangi antar teman. Sehingga pem-bully-an yang terjadi tidak berlarut-larut.

Bully-an berikutnya terjadi ketika saya bersekolah yang mayoritas siswa dan gurunya beretnis keturunan Tionghoa dan beragama Kristen. Nah, kalau ini parah sekali.

Wali kelas saya ternyata orang yang sangat fanatik pada agamanya. Ketika mengetahui agama saya Islam, ia menjadi tidak suka pada saya. Ia tidak pernah bertanya, saya di keluarga bagaimana saja, diajarkan agama apa di keluarga, dan sebagainya. 

Sekolah yang saya tempati ini, level pelajarannya sangat jauh di atas tempat saya bersekolah biasa. Jadi, sangat sulit bagi saya beradaptasi dengan level pelajarannya. Akibatnya nilai saya selalu buruk.

Karena sebal melihat nilai ulangan saya selalu buruk, didepan kelas, dengan senang hati sang wali kelas berbicara dengan lantang, "Dasar Islam, anak kampung, bego lagi." 

Kalau kata bego itu saya tidak terlalu masalah, karena sudah sering mendengarnya, logat Ibu saya Betawi, jadi kata bego itu hal biasa. Yang agak mengherankan bagi saya ketika wali kelas meledek saya Islam dan anak kampung.

Ada apa dengan Islam dan anak kampung? Saya tidak pernah dikatai ataupun dimarahi karena agama dan warna kulit. Tapi kata anak kampung, mungkin karena kulit saya saat itu sangat hitam akibat sering main di luar. Saya sering main di luar supaya menghindar dari pukulan-pukulan.

Kemudian, ada tambahan sebutan untuk saya, yakni miskin. Karena ternyata, sudah jadi kebiasaan orangtua yang mau nilai anaknya bagus harus memberikan hadiah untuk wali kelas. 

Semakin mahal, maka semakin tinggi nilainya. Semakin sering diberi, wah itu sudah pasti juara kelas. Ibu saya pun memberikan hadiah, tapi karena ekonomi kami saat itu sangat pas-pasan, maka Ibu memberikan hadiah yang ternyata untuk wali kelas tidak bernilai. Maka itu, saya pun dikatai miskin.

Saya sama sekali tidak mengadukannya sekali pun ke orangtua saya, karena saya merasa kalau saya memberitahu mereka percuma saja, saya yang akan dipukul. Maka, disinilah pentingnya orangtua memberikan penjelasan pada anak, mengapa anak dihukum. 

Hal ini menghindarkan kejadian seperti yang saya alami, saya lebih baik diam memendam kemarahan saya daripada ada tambahan luka lagi.

Dari ejekan wali kelas, mulai siswa yang laki-laki ikut mengejek, bahkan senior pun juga ikut mengejek. Istirahat dan pulang sekolah, ejekan selalu menjadi makanan sehari-hari saya. Saya diam saja dan hanya bisa menahan sedih. Kemudian, mulai membentuk teman berkhayal, saya merasa hidup saya paling indah itu ketika tidur. 

Dari ejekan, naik menjadi pengeroyokan. Hampir setiap hari para siswa laki-laki memukul dan menonjok saya, kemudian menginjak dan menyeret saya. 

Hanya OB yang langsung melindungi saya kalau saya diperlakukan seperti itu, tapi kalau OB sudah pergi, saya akan kembali diincar. Saking marahnya, akhirnya saya memukul salah satu anak laki-laki sampai kacamatanya retak. 

Wali kelas yang melihat, langsung memarahi depan teman-teman yang lain, "Heh! Ini kacamata mahal, kamu jual diri juga ga akan sanggup beli ni kacamata!"

Kaget, apa itu jual diri? Belum sempat terpikirkan, saya pun kembali dikeroyok. Dan tidak ada satupun guru yang membela.

Ketika pulang dirumah, ibu saya ternyata memperhatikan kalau seragam saya sering ada bercak darah dan kulit saya banyak terkelupas. Ibu pun menanyai saya dengan cara menyentak. Karena takut dipukuli, saya pun hanya diam saja. Sampai saya dipukul pun, saya tetap tidak menceritakannya. 

Saya baru tahu belakangan, Ibu memukul itu supaya saya mau menceritakannya dengan segera, karena kalau menunggu saya benar bercerita, pasti itu tidak akan terjadi. Tapi saat itu saya memilih tetap diam. Bahkan saya ingin cepat-cepat tidur, rasanya lelah sekali saya hidup, 

Suatu hari saya membaca buku agama yang mengatakan Tuhan pasti mendengarkan keluh kesah anak-Nya. Maka saya pun berdoa, permintaan saya sangat sederhana kala itu, walau saya bukan anak-Nya, tapi mungkin Tuhan mau berbaik hati, saya tidak mau dipukul lagi. Saya lelah. 

Kelas VI SD, doa saya terjawab. Saat itu ada rolling guru. Saya memiliki wali kelas yang baru dan ternyata orang yang sangat bijaksana. Guru olahraga dan guru musik pun sayang sama saya. Wali kelas adik saya pun yang terkenal galak, juga perhatian terhadap saya.

Suatu hari, wali kelas baru saya lewat dan saya sedang dikatai "Islam". Wali kelas pun langsung menjewer salah satu siswa yang berteriak paling lantang dan menyuruh mereka duduk di kelas. 

Mereka semua harus menulis "Bhineka Tunggal Ika, artinya berbeda-beda tetapi tetap satu" pada buku tulis halus sebanyak satu buku dan harus selesai hari itu juga.

Waktu pulang pun tiba, bila ada siswa yang belum selesai, maka ia tidak boleh pulang. Saya sangat berterima kasih sekali pada sang wali kelas. Sejak itu tidak ada orang yang berani menghina saya. Bahkan kalimat Bhineka tersebut harus selalu ditulis saat pelajaran Bahasa Indonesia.

Dan memukul pun juga tidak ada yang berani, karena pernah satu kali saya dipukul ramai-ramai disatu ruangan. Teman-teman saya yang perempuan takut sekali karena ada darah yang keluar dari pintu. 

Ada juga adik saya yang sudah bersekolah melihat, kemudian memanggil para guru. Saya benar-benar merasakan mukjizat ketika pintu tersebut didobrak. Saya lupa mereka dihukum apa oleh para guru, hanya saja yang saya ingat, saya bisa bernafas lega. 

Nilai saya pun jauh menjadi lebih baik, karena ibu saya mengatakan kalau nilai saya bagus, saya pasti punya banyak teman. Akhirnya ibu saya tahu kalau saya itu sering sekali dipukul dan dikeroyok, serta sama sekali tidak memiliki teman. Sejak nilai saya lebih baik, banyak orang yang mau menjadi teman saya karena ingin dapat contekan.

***

Setelah lulus, saya pikir semuanya akan jauh lebih baik. Saya pun pindah sekolah lagi dan saya merasa bahagia. 

Ternyata ada dampak lain yang muncul karena rasa kecewa, sedih, khawatir yang sama sekali tidak pernah saya ungkapkan. Mood saya bisa berubah sesuka hati dalam hitungan menit. 

Kemudian, ketika saya emosi, saya akan menjadi sangat beringas. Saya akan menonjok orang sampai orang tersebut mengeluarkan darah. Tapi ketika saya sudah tenang, saya sendiri lupa kalau saya menonjok orang tersebut. 

Bahkan penyebab apa yang menjadikan saya marah, saya pun lupa. Itu hanya terjadi saat sekolah saja. Kalau dirumah, saya kembali tenang dan diam.

Semua orang di sekolah hanya tahu bahwa saya emosional. Saya pribadi sama sekali tidak menyadarinya. Ketika saya terlalu merasakan kesedihan, bunuh diri akan menjadi solusi pertama di kepala saya. Sudah tiga kali saya melakukan percobaan bunuh diri.

Saya sendiri juga menjadi manipulatif. Bila saya tidak suka seseorang, saya bisa membuat orang-orang membenci orang yang tidak saya suka, tanpa orang sadar kalau saya itu yang menghasut mereka. Ketika orang tersebut dibenci, saya merasa sangat bahagia. 

Semakin dewasa, saya pun menjadi orang yang sangat tenang di luar. Tidak ada yang tahu, bahkan keluarga, apa yang berkecamuk dalam diri saya. Saya tidak pernah mau berdekatan dengan orang lain secara emosional. 

Ada berbagai macam kejanggalan lain yang tidak bisa sebutkan satu-persatu karena panjang. Akan tetapi, beruntung, saya sendiri tipe yang sangat suka tentang hal-hal yang berbau psikologi, jadi saya banyak mencari tahu hal-hal aneh dalam diri saya. 

Saat mempelajari psikologi dari sana saya baru tahu apa saja keanehan dari diri saya, dan menelusuri penyebab saya seperti ini.

Tentu ini tidak mudah, saya dibantu oleh adik dan atasan saya untuk menelusuri penyebab dan cara supaya saya bisa berdamai dengan masa lalu saya.

Ibu saya pun sudah mengubah pola komunikasinya dengan saya semenjak saya ketahuan akan bunuh diri. Disana beliau baru tahu bahwa saya membencinya dan ada hal yang membuat saya kaget, ibu saya meminta maaf pada saya. Itu seperti meruntuhkan benteng pertahanan saya yang pertama. 

Pertama kalinya saya merasa bisa sayang pada keluarga. Itu terjadi saat saya berusia 25 tahun sampai sekarang, saya tidak lagi membenci ibu dan almarhum ayah saya. Tapi tetap, saya tidak bisa berkomunikasi layaknya ibu dan anak yang saling bisa mencurahkan isi hati.

Semakin ke sini, sudah banyak perubahan yang terjadi pada diri saya. Saya memiliki ibu, adik, dua sahabat, pasangan yang rela membantu dan sama sekali tidak bersikap mengasihani ataupun menghakimi saya, karena tahu saya ada gangguan ketika emosional. 

Mereka selalu memancing saya untuk bercerita semua hal yang berkecamuk dalam pikiran saya, walau tidak bisa semuanya saya deskripsikan.

Bahkan menulis, menjadi salah satu cara saya untuk mengobati diri saya menjadi pribadi yang lebih baik. Dari menulis, saya banyak membaca, mendapatkan wawasan baru dan menyadari bahwa dunia saya ini masihlah kecil. 

Jauh di luar saya, banyak yang lebih menderita dan memerlukan bantuan supaya jangan sampai memiliki gangguan mental tanpa disadari dan akhirnya hal tersebut, malah membuat emosi saya jauh lebih stabil. 

***

Bagi orangtua dan lingkungan sekitar
Sangat penting bagi kita untuk memiliki rasa menghargai dengan anak kecil sekali pun. Anak kecil memiliki memori yang sangat kuat dan bisa ditanam dalam alam bawah sadarnya. 

Walaupun kita memiliki perbedaan dengan orang lain, rasa menghakimi atau mengejek, ada baiknya dihindarkan. Akan lebih baik memberikan saran dan kritik yang membangun.

Pola asuh pun juga bisa menentukan kepribadian anak nantinya bagaimana, sehingga menurut saya, sangat penting bagi orangtua untuk banyak memperluas wawasan tentang parenting, bukan hanya makanan ataupun ASI saja yang diperhatikan tapi kejiwaan anak pun perlu mendapatkan perhatian. 

Karena pola asuh yang bisa jadi kita anggap baik, tapi malah tidak cocok untuk karakter sang anak akan berdampak nanti saat sudah dewasa. 

Bagi Anda yang merasa tidak berharga, terkena bully, emosional, dan sebagainya.
Kita tidak pernah bisa menghindari diri dari pem-bully-an sebenarnya, karena dunia ini terisi banyak sekali karakter orang. Akan tetapi, perlu disadari yang pertama adalah diri kita berharga. 

Walau saya bukan orang yang religius, seiring berjalannya waktu, saya baru menyadari bahwa Tuhan pasti memiliki alasan mengapa kita harus lahir. Ini sangat sulit dilakukan, tapi kita harus banyak menanamkan hal ini pada diri kita sendiri.

Kita juga harus membiarkan kekecewaan, kesedihan, dan kemarahan sebagai sesuatu yang harus dipelajari hikmahnya. Seperti pengalaman saya, mendapatkan pendidikan yang sangat keras dari orangtua, menjadikan saya bisa berempati dengan anak-anak yang tidak merasa percaya diri karena merasa tidak disayang oleh orang tuanya. 

Dari rasa empati tersebut, anak-anak tersebut malah sekarang memiliki rasa percaya diri dan menyadari bahwa orangtuanya sayang pada mereka.

Ketika rasa sedih itu datang dan tidak bisa diungkapkan, ada baiknya kita menulis atau mengerjakan hal-hal yang berbau seni, bahkan bila kita tidak memiliki jiwa seni. 

Karena dengan adanya suatu kreativitas, mau itu hasilnya bagus ataupun buruk bisa mengurai segala emosi, baik itu kemarahan dan kesedihan, serta kekecewaan yang ada di hati kita.

Intropeksi diri juga harus dilakukan. Ketika banyak orang yang berani menghakimi ataupun menghina, kita mesti belajar dari sana mengenai apa yang salah dengan diri saya. 

Tapi bukan berarti diri kita tidak berharga, melainkan kita mesti terdorong untuk mencari tahu apa yang membuat kita dihakimi atau dihina, dan bagaimana memperbaikinya. 

Bukan hanya menangis dan merenungi nasib, percaya sama saya, itu hanya membuat diri kita jauh lebih terpuruk karena saya pernah mengalaminya. 

Jangan takut mencari bantuan dari orang lain. Tapi carilah orang yang bijaksana, tidak ember, dan memiliki empati untuk memahami apa yang terjadi dengan diri kita. 

Orang yang paling dekat ataupun pintar belum tentu menjamin bisa memahami kondisi jiwa kita, malah mungkin memberi ceramah yang tidak kita butuhkan dan membuat kita semakin menutup diri. Akan lebih baik, mencari yang benar bisa membuat kita nyaman untuk bercerita dan memiliki pemikiran yang bijaksana.

Mari jaga kesehatan mental kita dan orang-orang sekitar kita.

Salam :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun