Ketika aku masih kecil, aku senang sekali berkhayal. Ketika ada waktu luang, aku akan segera memejamkan mata dan mulai mengkhayal, memiliki ibu yang pengertian, memiliki sahabat yang sangat baik, dan memiliki banyak teman.
Tidak ada sama sekali pikiran untuk memiliki seorang ayah, karena untukku, sosok ayah hanya bisa merusak hidup anak, itu pikiran yang salah. Tapi itulah gambaran ayahku ketika aku masih kecil.
Khayalanku muncul dimulai dari aku pindah sekolah. Sekolahku tadinya bisa dibilang sekolah biasa saja, kemudian harus pindah ke sekolah unggulan yang berada di Jakarta. Hehe. Ternyata bobot pelajarannya sangat jauh berbeda, aku hampir tidak diterima, karena tidak bisa mengerjakan ujian masuk sekolah dasar dengan baik
Karena bantuan ibuku, aku diterima sekolah dasar itu, dengan syarat harus mengikuti bimbingan belajar.
Sekolahku disana bukanlah awal yang baik. Aku menjadi murid paling bodoh di kelas, apalagi saat itu kulitku sangat kusam dan hitam akibat sering bermain diluar. Berbeda dengan siswa yang berada di sekolah sana, putih bersih dan sangat terawat. Terlihat sekali mereka tidak pernah bermain diluar. Ketika waktu istirahat, mereka akan menertawakanku, sambil mengejek "Anak kampung".
Setiap pelajaran, aku tidak pernah bisa menjawab pertanyaan dengan benar, karena aku tidak paham apa yang wali kelasku tanyakan.
Sampai suatu hari, mungkin wali kelasku sangat kesal karena nilaiku selalu jelek. Didepan kelas ia berkata, "Dasar anak kampungan, sudah jelek, bodoh, hitam, memaksa sekolah disini lagi". Rasanya aku ingin menangis kala itu, tapi aku tahan.
Mulai dari sana, teman-teman yang lain mengejekku semakin parah, bahkan mulai memukulku. Di kelasku ada 19 orang siswa laki-laki, dan 8 orang perempuan, termasuk aku. 15 orang siswa akan segera menonjok aku kalau sudah waktunya istirahat. Teman-teman perempuan, tidak ada yang berani membela, 4 orang siswa laki-laki lainnya, hanya bisa diam-diam memberi semangat, agar tidak ikut dipukul.
Tidak ada guru yang membela, karena ibuku tidak pernah memberikan mereka hadiah. Ternyata sudah menjadi tradisinya, orang tua murid harus memberikan hadiah agar nilai anaknya bagus. Semakin mahal hadiahnya, maka nilainya akan semakin bagus. Karena guru akan memberikan bocoran jawaban untuk nilai tugas dan ujian sebagai balasannya.
Yang membelaku hanyalah penjaga sekolah, dan pemilik warung, itupun bila mereka berkesempatan melihat. Kalau tidak, aku pasti habis dipukuli dan diinjak.
Itu berlangsung sampai kelas 5 SD. Ketika aku pulang ke rumah dalam keadaan lebam, ibuku akan bertanya mengapa lebam, aku bingung bagaimana harus menjawab. Ketika aku diam, ibuku akan langsung memukulku supaya aku berbicara.
Rasanya ingin sekali aku mengakhiri hidupku agar bebas dari rasa sakit.
Suatu hari, aku melihat ada majalah Bobo di perpustakaan. Aku membacanya, dan ada rubrik mengenai daya imajinasi. Aku mulai senang dengan imajinasi.
Setiap aku pulang sekolah dan selesai menangis dalam diam karena dipukuli teman dan ibuku, aku akan segera memejamkan mata untuk berimajinasi. Rasa sakit ditubuhku tiba-tiba tidak terasa sama sekali. Indah sekali imajinasiku.
Aku memiliki banyak teman, aku bisa bermain bahagia. Kemudian, pulang sekolah bisa mengobrol dengan sahabatku sambil saling bertukar buku. Karena pada masa itu, aku lihat teman yang bersahabat pasti akan saling bertukar buku.
Ibuku juga akan menyambutku ketika pulang sekolah dengan pelukan, kemudian menyediakan makan, mengajak masak bersama, membacakanku dongeng, dan mengobrol bersamaku tanpa omelan dan pukulan.
Itu terus terjadi sampai aku kelas 5 SD. Sampai pada akhirnya ibuku tahu aku sering dipukuli oleh teman-teman. Beliau langsung mendatangi sekolah dan memarahi anak-anak yang sering memukulku.
Didepan mereka, aku diminta untuk bersaksi. Tapi aku sangat takut, karena aku khawatir akan dipukuli lebih parah oleh siswa-siswa itu. Karena aku tidak mengaku, aku ditempeleng oleh ibuku. Setelah ibuku pulang, nerakaku kembali dimulai, wali kelasku bilang "Dasar tukang ngadu, berani kamu ngadu sekali lagi, keluar kamu dari sekolah ini, dasar miskin, bodoh lagi!",
Siswa lain, kalau itu tidak perlu ditanya, aku habis dipukuli di ruang perawatan gigi. Kemudian, aku merasa seperti dibantu oleh para malaikat, 7 orang teman perempuanku, merasa tidak tega, langsung melapor pada adikku agar segera melaporkan kejadian pada satu guru paling galak di sekolah, karena melihat banyak darah yang keluar dari pintu ruangan.
Beruntung kepala sekolah dan guru tersebut langsung datang mendobrak pintu dan membantuku. Mereka memarahi para siswa yang memukulku, dan lukaku segera diobati di ruangan kepala sekolah.
Aku pulang ke rumah dengan rasa takut, karena aku pasti akan kembali dipukul oleh ibuku karena tidak berani mengaku. Dan benar saja, ketika pulang ibuku sudah mempersiapkan pentungan karena dianggap aku sudah mempermalukannya depan orang banyak, tidak berani mengaku. Rasanya badanku sudah kebal rasanya terhadap pukulan, aku benar-benar berharap hari itu adalah hari terakhir aku hidup.
Melihat aku sedang dipukuli habis-habisan sampai darah di hidungku keluar, adikku langsung datang membantu dan menjelaskan apa yang terjadi padaku di sekolah setelah ibuku pergi.
Ibuku langsung terdiam. Aku pun disuruh membersihkan badan, sudah tidak kuat lagi menangis rasanya. Kemudian tidur, kembali berimajinasi. Ibuku yang pengertian, memiliki sahabat yang sangat baik dan memiliki banyak teman.
Malam harinya, ibuku datang menghampiriku, "Ibu minta maaf karena terlalu keras, Ibu pikir kamu sudah berbohong sama Ibu. Belajar yang benar, ya, Nak! Kalau kamu pintar dan nilainya bagus, pasti akan punya banyak teman. Dulu Ibu juga begitu", sembari tersenyum
"Benar, Bu, bisa?" tanyaku tidak percaya, lebih tepatnya putus asa.
"Pasti bisa!" kata ibuku yakin, "Jangan cerita kepada ayah, karena ayahmu pasti akan mengamuk nanti, menambah masalah kita nantinya".
Aku diam saja, tidak perlu ibu beritahu juga aku tidak akan memberitahukan pada ayah. Bukan karena ayah akan mengamuk, tapi aku tahu ayah tidak akan peduli, beda kalau kejadian yang aku alami itu terjadi pada adikku, beliau pasti sudah mengobrak-abrik sekolah tersebut.
Dengan ibuku berkata seperti itu, aku benar-benar bersemangat, aku sudah lelah sekali dipukuli. Aku berusaha belajar dengan keras, bila aku tidak mengerti aku akan pergi ke perpustakaan dan mencari buku yang akan membuatku paham apa yang sedang aku pelajari. Bila masih tidak mengerti juga aku akan hafal mati.
Aku tidak bertanya pada guruku, karena aku sudah tahu jawaban apa yang akan diberikan "Jelek, bodoh, kampungan dan miskin". Perbendaharaan kata-kata guru padaku tidak akan pernah jauh dari situ.
Setiap harinya aku tetap masih akan dipukuli, tapi suasana agak berbeda karena teman-teman perempuan lain sudah mau berteman denganku, sejak kejadian aku dipukuli sampai berdarah banyak. 4 orang teman laki-laki pun sudah mulai berani mengobrol terbuka denganku.
Ada satu anak laki-laki paling pintar di kelas, ia sering datang padaku dan mengajariku matematika kalau terlihat aku tidak paham sama sekali.
Akhirnya kelas 6 SD tiba, aku memiliki guru baru, guru olahraga dan wali kelas 6 SD. Mereka sangat sayang pada temanku yang paling pintar itu. Karena aku sering diajak ngobrol oleh temanku itu, mereka juga akhirnya terlihat perhatian kepadaku. Apalagi nilai-nilaiku sudah ada kemajuan.
Aku belajar dari pulang sekolah sampai malam. Lupa makan, lupa mandi. Bobotku turun jauh, tapi aku tidak merasa lapar sama sekali. Tujuanku, aku ingin ranking 10 besar dan tidak dipukuli lagi.
Lama-kelamaan, hasil kerja kerasku berbuah dengan baik, aku bisa mengejar pelajaran yang tertinggal jauh. Berkat orang-orang yang mau menjadi temanku juga, aku paham apa yang aku pelajari. Karena bila terlihat tidak paham, mereka akan segera mengajariku tanpa aku minta.
Guru olahraga dan wali kelasku yang baru juga sering memujiku depan kelas.
Tidak ada yang berani juga memukulku lagi dikelas karena nilaiku sudah berada jauh diatas mereka.
Dan belakangan aku baru tahu, wali kelasku yang baru ini tidak mau menerima hadiah dari para orang tua murid, karena beliau berprinsip nilai bagus bukanlah tolak ukur keberhasilan anak, tapi perjuangan untuk mendapatkan nilai yang baik, serta kejujuranlah yang akan membuat sang anak berhasil.
Kalau ada yang terlihat menyontek, tugas dan ulangan akan dirobek, kemudian siswa tersebut akan disuruh menulis "Saya tidak akan berani lagi menyontek" sebanyak satu buku, dan itu harus dikumpulkan keesokan harinya.
Dengan begitu, tidak ada siswa yang pintar karena bocoran jawaban, tetapi pintar karena memang benar hasil usahanya sendiri.
Pak Suradi, itulah nama wali kelas kesayanganku. Beliaulah guru pertama yang menyelamatkanku dari neraka dunia.
Teringat Pak Suradi dan Ibuku pernah berkata padaku dalam waktu yang berbeda, "Jangan pernah takut kepada orang lain, ketika kamu memiliki kemampuan, tidak akan ada yang pernah berani padaku, dan kamu akan dihargai sebagai dirimu sendiri, tidak peduli apa kekuranganmu"
Hal itu selalu aku ingat.
Anak-anak yang sering memukulku dulunya, sering mencoba mengajakku mengobrol, supaya mau mengajari mereka. Ada rasa bangga dalam diriku, dan rasanya ingin balik menghina, "Rasain lo!", tapi aku tahan. Tidak bagus juga kalau tahu-tahu nilaiku jelek, dan mereka kembali memukulku.
Aku sangat berterima kasih pada Tuhan, Ibuku, adikku, teman-temanku yang perempuan, 3 teman laki-laki dan teman yang paling pintar, guru olahraga, serta Pak Suradi, karena mereka, neraka duniaku telah berakhir dan telah menemukan titik terang. Aku kembali bisa tertawa dengan ceria. Aku tidak pernah mengendorkan semangat belajarku lagi,
Aku tidak mau jadi bulan-bulanan manusia lagi, karena bodoh, jelek, dan kampungan, serta miskin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H