Rasanya ingin sekali aku mengakhiri hidupku agar bebas dari rasa sakit.
Suatu hari, aku melihat ada majalah Bobo di perpustakaan. Aku membacanya, dan ada rubrik mengenai daya imajinasi. Aku mulai senang dengan imajinasi.
Setiap aku pulang sekolah dan selesai menangis dalam diam karena dipukuli teman dan ibuku, aku akan segera memejamkan mata untuk berimajinasi. Rasa sakit ditubuhku tiba-tiba tidak terasa sama sekali. Indah sekali imajinasiku.
Aku memiliki banyak teman, aku bisa bermain bahagia. Kemudian, pulang sekolah bisa mengobrol dengan sahabatku sambil saling bertukar buku. Karena pada masa itu, aku lihat teman yang bersahabat pasti akan saling bertukar buku.
Ibuku juga akan menyambutku ketika pulang sekolah dengan pelukan, kemudian menyediakan makan, mengajak masak bersama, membacakanku dongeng, dan mengobrol bersamaku tanpa omelan dan pukulan.
Itu terus terjadi sampai aku kelas 5 SD. Sampai pada akhirnya ibuku tahu aku sering dipukuli oleh teman-teman. Beliau langsung mendatangi sekolah dan memarahi anak-anak yang sering memukulku.
Didepan mereka, aku diminta untuk bersaksi. Tapi aku sangat takut, karena aku khawatir akan dipukuli lebih parah oleh siswa-siswa itu. Karena aku tidak mengaku, aku ditempeleng oleh ibuku. Setelah ibuku pulang, nerakaku kembali dimulai, wali kelasku bilang "Dasar tukang ngadu, berani kamu ngadu sekali lagi, keluar kamu dari sekolah ini, dasar miskin, bodoh lagi!",
Siswa lain, kalau itu tidak perlu ditanya, aku habis dipukuli di ruang perawatan gigi. Kemudian, aku merasa seperti dibantu oleh para malaikat, 7 orang teman perempuanku, merasa tidak tega, langsung melapor pada adikku agar segera melaporkan kejadian pada satu guru paling galak di sekolah, karena melihat banyak darah yang keluar dari pintu ruangan.
Beruntung kepala sekolah dan guru tersebut langsung datang mendobrak pintu dan membantuku. Mereka memarahi para siswa yang memukulku, dan lukaku segera diobati di ruangan kepala sekolah.
Aku pulang ke rumah dengan rasa takut, karena aku pasti akan kembali dipukul oleh ibuku karena tidak berani mengaku. Dan benar saja, ketika pulang ibuku sudah mempersiapkan pentungan karena dianggap aku sudah mempermalukannya depan orang banyak, tidak berani mengaku. Rasanya badanku sudah kebal rasanya terhadap pukulan, aku benar-benar berharap hari itu adalah hari terakhir aku hidup.
Melihat aku sedang dipukuli habis-habisan sampai darah di hidungku keluar, adikku langsung datang membantu dan menjelaskan apa yang terjadi padaku di sekolah setelah ibuku pergi.