Perdebatan tak berujung pun terjadi. Bahkan si bodoh membuat taruhan. Jika ia yang salah maka dia akan memenggalkan lehernya sendiri dan jika putih yang salah, maka ia harus rela melepas topi lambang kehormatannya.
Guru bijak pun mereka perankan sebagai penentu jawaban. Guru bijak mengatakan bahwa 8x3=23. Mendengar jawaban itu, betapa kecewa hati putih. Ia merasa dibohongi oleh fakta yang bahkan terucap dari guru kesayangannya.
Ia pun pergi dari asrama dengan kurang sopan. Gurunya berpesan, "jika berkenan kamu mendengar ucapan ini, apabila hujan lebat dan kamu menemui pohon besar nan rindang, jangan kamu berteduh dibawahnya."
Putih tetap pergi. Tiba tiba cuaca menjadi mendung di tengah perjalanan. Benar saja hujan lebat turun dan pohon besar yang ia temui mendadak roboh. Untung saja dia selamat. Rupanya benar apa yang diakatakan sang guru.
Iapun memutuskan kembali ke asrama untuk kembali belajar kepada guru tersebut. Sang guru benar benar bukan orang sembarangan.
Si putih menemui sang guru. Kemudian gurunya berkata bahwa jika ia berkata 8x3=24, maka si putih akan menyesal seumur hidup karena ia pasti kehilangan saudara seperguruannya, si bodoh.
Guru bijak memberi pengertian bahwa, 8x3=24 adalah kebenaran kecil diantara banyak kebenaran. Sedangkan, 8x3=23 adalah kebenaran besar yang juga dapat menyelamatkan jiwa seseorang.
Bagaimana saudara?
Bukankah kisah tersebut menguak hikmah bahwa murid mungkin bisa saja memiliki kepandaian, tapi belum tentu pemikiran dalam tentang kebijaksanaan. Iya kan?
Satu lagi cerita. Kali ini didapat dari guru penulis sendiri.
Ada seorang santri. Ia berguru kepada seorang Kyai. Saat salat berjamaah, si santri meragukan bacaan surah fatihah dari sang Kyai yang menurut si santri kurang fasih.