Mohon tunggu...
Nayla I. Hisbiyah
Nayla I. Hisbiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - 🎓 2021. Dalam pengabdian.

🍁 Worship | Work | Word | Worth | World 🦩 Menulis yang terbaik dari apa yang pernah dibaca, didengar, dilihat, dan dirasa || Freelancer || Tentang Pesantren.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Belajar dari Kisah 8X3=23, Guru adalah Orang yang Hebat

21 Juni 2022   00:29 Diperbarui: 21 Juni 2022   07:56 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ada seorang yang belum punya pekerjaan tetap, sebut saja dia "jobless". Sore - sore ia berjalan luntang luntung di dekat trotoar, melihat seorang laki - yang sedang duduk  ia coba dekati bermaksud cangkruk an saja lah, cari teman ngobrol. Rupanya laki- laki itu adalah tukang bakso yang sedang mangkal. Ngobrollah mereka berdua.

Menyadari hal itu, jobless akhirnya tergiur dengan dagangan si lelaki. Dipesanlah oleh jobless semangkuk bakso solo minumnya es jeruk manis. Si tukang bakso melayaninya dengan ramah. 

Jobless memakan dengan lahap. Menurutnya, cita rasa bakso itu cocok di lidahnya. Ia pun tertarik punya usaha bakso juga. Mintalah jobless nomer WA si tukang bakso supaya dia bisa sedikit belajar punya usaha bakso mengingat dirinya masih kerja serabutan.

Oke, singkat cerita, jobless berjodoh dengan usaha bakso yang dirintisnya setelah belajar dari si tukang bakso trotoar tadi. Bahkan jobless bukan sekedar bakso gerobak an, dia mampu membangun sebuah warung bakso yang berkembang pesat dan banyak pelanggannya.

Nah, dari ilustrasi di atas, ibaratnya adalah jobless sebagai murid, dan si tukang bakso adalah guru. Banyak sekali fenomena murid yang lebih sukses daripada gurunya. Kita sadari atau tidak, di lingkungan tempat kita tinggal, adakan yang demikian?

Bahkan jika kita sekarang sudah memiliki profesi yang nyaman dan berprospek baik, kitalah orang sukses itu yang merupakan seorang murid dari para guru. 

Lantas, di mana posisi guru kita dan bagaimana kita memposisikan diri di hadapannya?

Dalam bukunya yang berjudul " Bertambah Bijak Setiap Hari 8x3=23!", Xs. Ir. Budi Santoso Tanuwibowo, M.M. menuliskan kisah yang menarik dan menyentuh kalbu.

Begini singkatnya.

Ada seorang Guru yang bijak. Memiliki murid yang banyak, datang dari berbagai suku dan etnis. Salah duanya adalah sebut saja si putih, yaitu yang paling pintar dikelas dan si bodoh.

Si bodoh menantang putih yang pandai untuk menjawab 8x3 jawabnya berapa. Sontak putih menjawab 24. Namun bodoh menyalahkan. Menurutnya 8x3=23. 

Perdebatan tak berujung pun terjadi. Bahkan si bodoh membuat taruhan. Jika ia yang salah maka dia akan memenggalkan lehernya sendiri dan jika putih yang salah, maka ia harus rela melepas topi lambang kehormatannya.

Guru bijak pun mereka perankan sebagai penentu jawaban. Guru bijak mengatakan bahwa 8x3=23. Mendengar jawaban itu, betapa kecewa hati putih. Ia merasa dibohongi oleh fakta yang bahkan terucap dari guru kesayangannya.

Ia pun pergi dari asrama dengan kurang sopan. Gurunya berpesan, "jika berkenan kamu mendengar ucapan ini, apabila hujan lebat dan kamu menemui pohon besar nan  rindang, jangan kamu berteduh dibawahnya."

Putih tetap pergi. Tiba tiba cuaca menjadi mendung di tengah perjalanan. Benar saja hujan lebat turun dan pohon besar yang ia temui mendadak roboh. Untung saja dia selamat. Rupanya benar apa yang diakatakan sang guru. 

Iapun memutuskan kembali ke asrama untuk kembali belajar kepada guru tersebut. Sang guru benar benar bukan orang sembarangan.

Si putih menemui sang guru. Kemudian gurunya berkata bahwa jika ia berkata 8x3=24, maka si putih akan menyesal seumur hidup karena ia pasti kehilangan saudara seperguruannya, si bodoh.

Guru bijak memberi pengertian bahwa, 8x3=24 adalah kebenaran kecil diantara banyak kebenaran. Sedangkan, 8x3=23 adalah kebenaran besar yang juga dapat menyelamatkan jiwa seseorang.

Bagaimana saudara?

Bukankah kisah tersebut menguak hikmah bahwa murid mungkin bisa saja memiliki kepandaian, tapi belum tentu pemikiran dalam tentang kebijaksanaan. Iya kan?

Satu lagi cerita. Kali ini didapat dari guru penulis sendiri.

Ada seorang santri. Ia berguru kepada seorang Kyai. Saat salat berjamaah, si santri meragukan bacaan surah fatihah dari sang Kyai yang menurut si santri kurang fasih. 

Si santri bergumam, nggrundel lah di hatinya. Masa sih aku berguru pada Kyai yang kurang fasih bacaannya.

Mirip dengan cerita si putih dan si bodoh tadi. Akhirnya santri itu pergi meninggalkan pesantren. 

Di tengah perjalanan, ia dihadang oleh seekor harimau besar. Santri pun terpaksa harus berhenti. Antara takut dan berani ia coba mengahadapi harimau itu.

Sia - sia, harimau tak kunjung pergi. Ia pun mengingat akan sang Kyai di pesantren. Ia pun menghadiahkan bacaan fatihah buat sang Kyai berharap Allah SWT. menolong berkat barakah dari fatihah pada sang Kyai.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Seperti terasa apa yang terjadi pada si santri, Kyai pun mendatangi lokasi santri yang sedang di hadang harimau. Tanpa share lokasi seperti sekarang tentunya. 

Tiba di lokasi, si harimau saja tampak mulai gentar dengan kedatangan sang Kyai. Belum apa - apa lo ini. Disitu kemudian sang Kyai membacakan surah al fatihah yang kurang fasih tadi dihadapan harimau. 

Nah lo, harimaunya pergi tanpa paksaan dan perlawanan.

Si santri cuma bisa bengong menyadari karamah sang Kyai. Selama ini ia telah meragukan kealiman sang Kyai. Padahal di dalam sanubari sang Kyai terdapat keikhlasan yang dalam dan wibawa memancar yang selama ini tak pernah pak Kyai tunjukkan.

Betapa menyesal si santri. Ia pun memutuskan kembali belajar dan meminta maaf dengan tulus kepada Kyai.

Kesimpulannya apa dari dua cerita di atas??

Guru bukan orang sembarangan. Kita bisa saja punya ilmu lebih tinggi. Tapi tidak untuk kelebihan yang lain.

Bagaimanapun, Guru itu berada lebih jauh di depan daripada kita. Beliau lebih dahulu mengerti dan memahami ilmu. Baru kita.

Sadari, bahwa guru berada di garis start lebih awal.

Apalagi guru Taman Kanak - Kanak. Sering sekali terlupa jasanya. Padahal dari beliau - beliaulah dasar ilmu tertanam. 

Derajat guru memang tinggi. Keilmuan boleh saja tersaingi oleh murid. Tapi tidak untuk derajatnya. Tidak ada mantan guru, begitupun tidak ada mantan murid. 

Diantara kebaikan seorang guru adalah,

Guru lebih senang jika melihat muridnya lebih sukses daripada dirinya.  Hal ini sebagai pertanda bahwa proses pembelajaran yang ia jalani bersama peserta didiknya berhasil.

"Hormati Guru, Sayangi Teman, Itulah Tanda Murid yang Budiman."

Terimakasih telah membaca tulisan ini sampai akhir. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun