Si santri bergumam, nggrundel lah di hatinya. Masa sih aku berguru pada Kyai yang kurang fasih bacaannya.
Mirip dengan cerita si putih dan si bodoh tadi. Akhirnya santri itu pergi meninggalkan pesantren.
Di tengah perjalanan, ia dihadang oleh seekor harimau besar. Santri pun terpaksa harus berhenti. Antara takut dan berani ia coba mengahadapi harimau itu.
Sia - sia, harimau tak kunjung pergi. Ia pun mengingat akan sang Kyai di pesantren. Ia pun menghadiahkan bacaan fatihah buat sang Kyai berharap Allah SWT. menolong berkat barakah dari fatihah pada sang Kyai.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Seperti terasa apa yang terjadi pada si santri, Kyai pun mendatangi lokasi santri yang sedang di hadang harimau. Tanpa share lokasi seperti sekarang tentunya.
Tiba di lokasi, si harimau saja tampak mulai gentar dengan kedatangan sang Kyai. Belum apa - apa lo ini. Disitu kemudian sang Kyai membacakan surah al fatihah yang kurang fasih tadi dihadapan harimau.
Nah lo, harimaunya pergi tanpa paksaan dan perlawanan.
Si santri cuma bisa bengong menyadari karamah sang Kyai. Selama ini ia telah meragukan kealiman sang Kyai. Padahal di dalam sanubari sang Kyai terdapat keikhlasan yang dalam dan wibawa memancar yang selama ini tak pernah pak Kyai tunjukkan.
Betapa menyesal si santri. Ia pun memutuskan kembali belajar dan meminta maaf dengan tulus kepada Kyai.
Kesimpulannya apa dari dua cerita di atas??
Guru bukan orang sembarangan. Kita bisa saja punya ilmu lebih tinggi. Tapi tidak untuk kelebihan yang lain.