Mohon tunggu...
Najwa Hanifah
Najwa Hanifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB 2 Kasus Asuransi Jiwasraya

3 Juni 2023   14:25 Diperbarui: 3 Juni 2023   14:25 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

* Konflik kepentingan: Dugaan benturan kepentingan antara pihak-pihak, termasuk manajemen dan pihak eksternal, yang terlibat dalam kebijakan investasi.

* Kerugian bagi citra industri asuransi: Peristiwa Jiwasraya mencoreng citra seluruh industri asuransi. Kepercayaan publik terhadap perusahaan asuransi terpengaruh, yang dapat berdampak negatif pada pertumbuhan industri.    

Isu-isu ini menekankan perlunya memperkuat tata kelola perusahaan, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, serta meningkatkan sistem kontrol di industri asuransi. 

PENERAPAN PANOTIKON PADA KASUS JIWASRAYA

Panopticon adalah konsep yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham pada abad ke-18. Konsep ini menggambarkan suatu bentuk lembaga kontrol yang bertujuan untuk mengontrol dan mengatur perilaku individu secara efektif. Istilah "panoptik" terdiri dari kata Yunani "pan" untuk "semua" dan "optikos" untuk "melihat".

Dalam konteks kasus asuransi Jiwasraya, penerapan pemikiran panoptikon yang diajukan Jeremy Bentham dapat memberikan pemahaman terhadap persoalan yang dihadapi. Panopticon adalah konsep arsitektur penjara yang dirancang untuk pengawasan konstan terhadap tahanan. Konsep ini dapat diterapkan dalam kasus Jiwasraya untuk mengidentifikasi beberapa masalah utama. Namun, penting untuk dicatat bahwa penggunaan konsep ini hanya sebagai alat berpikir dan bukan interpretasi yang benar-benar atau sepenuhnya relevan dengan masalah tersebut.

Prinsip-prinsip utama dalam konsep panoptikon adalah sebagai berikut:

* Struktur fisik: Panopticon berisi struktur fisik tersendiri, yaitu bangunan dengan ruang tengah berbentuk lingkaran atau bujur sangkar dengan sel-sel penjara atau ruangan-ruangan yang disejajarkan ke arah tengah. Bangunan ini dirancang agar para sipir dapat memantau sel atau ruangan mana pun di pusat sementara para narapidana atau orang yang diawasi tidak dapat melihat apakah mereka sedang diawasi.

* Kontrol Tak Terlihat: Prinsip utama panoptikon adalah pengawasan tak terlihat. Orang-orang yang diamati dalam panopticon tidak mengetahui apakah dan kapan mereka sedang diamati. Dengan demikian, mereka cenderung berasumsi bahwa mereka sedang diawasi sepanjang waktu, yang memiliki efek psikologis dan mempengaruhi perilaku mereka. Ini mendorong individu untuk mengikuti aturan dan norma yang ditetapkan.

* Ancaman atau janji: Kehadiran pengawasan dalam panopticon menciptakan efek ancaman atau janji. Pengamat merasa terancam ketika mereka melanggar aturan atau norma yang telah ditetapkan karena mereka tidak tahu apakah mereka sedang diamati atau tidak. Di sisi lain, adanya pengawasan menjanjikan keselamatan dan perlindungan bagi mereka yang mengikuti aturan.

* Pembentukan disiplin diri: Panoptikon mendorong individu untuk menginternalisasi aturan dan standar yang ditetapkan oleh manajer mereka. Mereka menjadi lebih disiplin dan mengendalikan perilaku mereka sendiri karena mereka percaya bahwa mereka selalu dapat diawasi. Ini mengarah pada disiplin diri, yang mengurangi kebutuhan akan pengawasan eksternal yang intensif.
Dalam konteks panoptikon, Bentham melihat pengawasan sebagai alat yang ampuh untuk mengatur perilaku dan memelihara tatanan sosial. Konsep ini telah mempengaruhi banyak bidang, termasuk sistem penjara, lembaga pendidikan dan kontrol masyarakat. 

* Kurangnya transparansi dan akuntabilitas: Konsep Panoptikum menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam memantau tindakan dan keputusan. Bagi Jiwasraya, ada ketidakjelasan mengenai kebijakan investasi perusahaan dan hubungannya dengan kesehatan keuangan perusahaan. Kurangnya akuntabilitas dan pengawasan menciptakan peluang untuk praktik yang dipertanyakan.

* Kelemahan sistem kontrol: Konsep Panoptikum juga mengungkap kelemahan dari sistem pengawasan yang ada. Dalam konteks Jiwasraya, muncul pertanyaan tentang efektivitas pengawasan oleh regulator dan lembaga terkait untuk memastikan kepatuhan perusahaan terhadap peraturan dan praktik yang berlaku. Sistem kontrol yang tidak memadai dapat menyebabkan pelanggaran atau kekurangan dalam operasi bisnis perusahaan.

* Konflik kepentingan: Panopticon mencerminkan pentingnya mengidentifikasi dan mengelola konflik kepentingan. Dalam kasus Jiwasraya, diduga ada benturan kepentingan antara para pihak, termasuk manajemen perusahaan, pengambil keputusan, dan badan eksternal yang terlibat dalam kebijakan investasi. Ketidakmampuan untuk mengelola konflik kepentingan dapat menyebabkan tindakan yang merugikan bagi perusahaan dan pelanggan.

Tujuan analisis menggunakan konsep panoptikon dalam kasus Asuransi Jiwasraya adalah:

1. Memahami kegagalan kontrol: Menerapkan konsep panoptisisme, tujuan utamanya adalah untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan pengawasan dalam kasus Jiwasraya. Dengan memahami akar penyebab kegagalan pengendalian, tindakan yang tepat dapat diambil untuk meningkatkan sistem pengendalian dan mencegah insiden serupa terjadi di masa mendatang.

Sebutkan konsekuensi bagi stabilitas perusahaan: Analisis berdasarkan konsep Panopticon juga bertujuan untuk mengetahui dampak kurangnya pengawasan terhadap stabilitas perusahaan. Dengan memahami dampak praktik investasi yang merugikan dan kurangnya pengawasan, tindakan yang diperlukan dapat diidentifikasi untuk memulihkan stabilitas perusahaan dan kepercayaan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun