Dalam hukum Islam, akad (perjanjian atau kontrak) merupakan sebuah kesepakatan yang harus mematuhi prinsip-prinsip syariah agar sah dan dianggap valid. Syarat-syarat yang disebutkan di atas terbagi menjadi dua bagian: syarat sah akad yang harus dipenuhi agar akad itu sah, dan syarat tambahan yang bersifat opsional namun tidak boleh bertentangan dengan hukum syariah.
    1. Syarat Sah Akad
Untuk setiap akad yang dibuat, terdapat empat syarat pokok yang harus dipenuhi agar akad tersebut sah secara syariah:
- Pihak yang Berakad (al-'aqidain): Kedua belah pihak harus memiliki kecakapan hukum, yakni mereka harus baligh (dewasa), berakal (tidak gila), serta mampu memahami konsekuensi akad. Hal ini bertujuan agar mereka bisa bertindak atas dasar pemahaman yang penuh terhadap hak dan kewajiban yang terlibat dalam akad.
- Objek Akad (ma'qud 'alaihi): Objek yang menjadi pokok akad harus jelas, nyata, bisa diserahkan, dan halal menurut syariah. Akad yang melibatkan barang atau layanan yang tidak halal atau tidak pasti (gharar) tidak sah.
- Ijab dan Qabul (Pernyataan Akad): Akad harus diawali dengan pernyataan ijab (penawaran) dari satu pihak dan qabul (penerimaan) dari pihak lain dengan jelas dan tegas, tanpa adanya unsur paksaan. Kedua belah pihak harus secara sukarela setuju dengan syarat-syarat akad tersebut.
- Maqshud al-'aqd (Tujuan Akad): Tujuan akad harus sesuai dengan ketentuan syariah. Akad yang memiliki tujuan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, seperti akad untuk tujuan riba atau barang haram, dianggap tidak sah.
    2. Syarat Tambahan dalam Akad
Selain syarat sah akad, ada juga syarat-syarat tambahan yang bisa ditambahkan untuk menyesuaikan kepentingan masing-masing pihak. Selama syarat tersebut tidak bertentangan dengan hukum syariah, maka syarat-syarat ini sah. Namun, jika syarat tambahan tersebut melanggar hukum syariah atau merugikan salah satu pihak secara tidak adil, maka syarat tersebut dianggap batal, walaupun akadnya bisa tetap sah.
Contoh syarat tambahan yang dibenarkan:
- Syarat waktu pelaksanaan: Misalnya, dalam akad sewa menyewa, disepakati bahwa sewa dimulai pada waktu tertentu dan berakhir pada waktu yang telah ditetapkan.
- Syarat kondisi tertentu: Dalam akad jual beli, bisa ditentukan bahwa barang harus dalam kondisi tertentu, seperti bebas cacat, atau kualitas tertentu.
Contoh syarat tambahan yang tidak dibenarkan:
- Syarat yang mengandung riba: Misalnya, dalam akad pinjaman, terdapat tambahan pembayaran bunga. Ini dilarang karena mengandung unsur riba, yang bertentangan dengan syariah.
- Syarat yang merugikan salah satu pihak secara tidak adil: Contohnya, dalam akad jual beli rumah, penjual mensyaratkan agar pembeli tidak boleh menjual rumah tersebut dalam kurun waktu 10 tahun. Syarat ini tidak adil karena membatasi kebebasan pembeli.
Contoh Akad dengan Syarat:
- Akad Jual Beli (Bai'): Seorang penjual dan pembeli menyepakati harga, kualitas, dan waktu penyerahan barang. Misalnya, disepakati bahwa barang bisa dikembalikan dalam waktu 7 hari jika ditemukan cacat yang tidak disebutkan sebelumnya.
- Akad Nikah: Calon suami atau istri bisa mengajukan syarat tertentu yang tidak bertentangan dengan syariah, seperti calon istri mensyaratkan agar suami tidak berpoligami selama pernikahan berlangsung. Syarat ini sah asalkan disepakati oleh kedua belah pihak.
Akad syariah adalah konsep fundamental dalam transaksi keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan berfokus pada keadilan, kerjasama, dan saling menguntungkan, akad syariah bertujuan untuk menghindari unsur-unsur yang dilarang seperti riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maisir (perjudian).
Berikut adalah beberapa jenis akad syariah dan contohnya:
    1. Akad Jual Beli (Bai')
- Bai' Murabahah: Bank syariah membeli barang dan menjualnya kepada nasabah dengan tambahan margin. Misalnya, bank membeli mobil dan menjualnya dengan harga lebih tinggi.
- Bai' Salam:Â Pembayaran dilakukan di muka, namun barang diserahkan di masa mendatang, misalnya dalam transaksi hasil pertanian.