ABSTRAK
Akad dalam konteks hukum Islam merujuk pada kesepakatan antara dua pihak yang menimbulkan hubungan hukum, melibatkan unsur ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan). Agar akad dianggap sah menurut syariat Islam, beberapa syarat harus dipenuhi, seperti objek yang halal, tidak adanya unsur riba, gharar (ketidakpastian), atau maisir (perjudian), serta kesepakatan antara pihak yang berakal sehat. Akad dalam Islam mencakup berbagai jenis transaksi, seperti jual beli, pernikahan, mudharabah (kerjasama bisnis), dan ijarah (sewa). Selain itu, akad dapat disertai syarat tambahan selama tidak bertentangan dengan syariat. Terdapat perbedaan pandangan dalam berbagai mazhab mengenai aspek tertentu, seperti pernikahan tanpa wali dan jual beli dengan unsur gharar. Prinsip utama dalam akad syariah adalah keadilan, keterbukaan, serta menghindari transaksi yang mengandung unsur yang dilarang seperti riba dan gharar.
Kata Kunci : Akad dalam Islam, Akad jual beli , Akad pernikahan syariah , Akad riba dan gharar , Ijab dan qabul.Â
Kata aqad (akad) dalam bahasa Arab memang merujuk pada sebuah perikatan atau kesepakatan antara dua pihak. Dalam konteks hukum Islam, akad ini merujuk pada ikatan perjanjian yang mengandung elemen ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan), yang dilakukan sesuai syariat dan menghasilkan dampak hukum pada objek perjanjian tersebut.Â
Secara umum, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam akad agar dianggap sah menurut syariat Islam:
1. Objek perikatan harus halal: Barang atau aktivitas yang menjadi objek perjanjian harus sesuai dengan ketentuan syariat. Misalnya, jual beli barang halal seperti makanan, pakaian, atau kendaraan diperbolehkan, sedangkan jual beli barang haram seperti alkohol atau daging babi dilarang.
2. Tidak ada unsur riba, gharar, atau perjudian: Islam melarang transaksi yang mengandung riba (bunga), ketidakpastian yang berlebihan (gharar), atau perjudian. Transaksi yang mengandung salah satu dari unsur-unsur ini dianggap tidak sah.
3. Kesepakatan antara pihak yang berakal sehat: Kedua belah pihak harus memiliki kapasitas hukum, yaitu mereka harus dewasa dan berakal sehat agar perjanjian dapat dianggap sah.
Contoh akad yang halal:
- Jual beli halal: Misalnya, membeli makanan halal di pasar, tanpa melibatkan unsur riba atau gharar.
- Akad pernikahan: Pernikahan yang memenuhi syarat dan rukun, seperti adanya persetujuan kedua belah pihak, mahar, dan saksi.
- Mudharabah: Kerjasama bisnis antara pemilik modal dan pengelola, di mana keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, dan kerugian hanya ditanggung pemilik modal, kecuali terjadi kelalaian dari pengelola.
Contoh akad yang diharamkan:
- Jual beli barang haram: Misalnya, menjual alkohol atau daging babi.
- Transaksi dengan riba: Seperti meminjam uang dengan bunga.
- Akad yang mengandung gharar: Misalnya, menjual sesuatu yang belum ada, seperti menjual ikan yang masih di laut.
Dalam pembahasan mengenai akad dan perikatan, dapat dipahami bahwa akad merupakan kesepakatan yang melibatkan dua pihak yang saling berjanji, yang kemudian menimbulkan suatu hubungan hukum yang disebut dengan perikatan. Perikatan ini memberikan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak.
Perbedaan mendasar antara akad dalam syariat dan akad konvensional terletak pada keterkaitan akad syariah dengan ijab dan qabul yang harus sesuai dengan aturan-aturan syariah. Dalam akad syariah, ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memenuhi syarat sah secara hukum syariah (ahliyyah), seperti memiliki akal sehat dan telah baligh. Selain itu, dalam akad syariah, proses ini bisa dilakukan secara langsung maupun melalui wakil, asalkan ada izin yang sah dari pihak yang diwakilkan.
Dalam akad syariat, syarat-syarat sahnya ijab dan qabul meliputi:
1. Dilakukan oleh pihak yang sah: Kedua belah pihak harus memenuhi syarat hukum, seperti akal sehat dan kedewasaan menurut hukum syariah.
2. Boleh diwakilkan: Jika pihak yang bersangkutan tidak bisa hadir, mereka dapat menunjuk wakil yang sah.
3. Adanya izin jelas dari pihak yang diwakili:Â Wakil harus memiliki izin yang sah dari pihak yang diwakilkan.
4. Kesesuaian antara ijab dan qabul: Tawaran dan penerimaan harus sesuai, tanpa ada perbedaan dalam isi perjanjian.
Contoh penggunaan wakil yang sah:
Dalam pernikahan:Â
Seorang perempuan dapat diwakilkan oleh walinya untuk melakukan ijab kabul. Walinya (seperti ayah) bertindak atas namanya, dengan izin dan persetujuan dari perempuan tersebut.
Dalam jual beli:Â
Seorang pemilik barang yang tidak bisa hadir dapat menunjuk seseorang untuk melakukan transaksi jual beli atas barang miliknya.
Dalam hukum Islam, akad (perjanjian atau kontrak) merupakan sebuah kesepakatan yang harus mematuhi prinsip-prinsip syariah agar sah dan dianggap valid. Syarat-syarat yang disebutkan di atas terbagi menjadi dua bagian: syarat sah akad yang harus dipenuhi agar akad itu sah, dan syarat tambahan yang bersifat opsional namun tidak boleh bertentangan dengan hukum syariah.
    1. Syarat Sah Akad
Untuk setiap akad yang dibuat, terdapat empat syarat pokok yang harus dipenuhi agar akad tersebut sah secara syariah:
- Pihak yang Berakad (al-'aqidain): Kedua belah pihak harus memiliki kecakapan hukum, yakni mereka harus baligh (dewasa), berakal (tidak gila), serta mampu memahami konsekuensi akad. Hal ini bertujuan agar mereka bisa bertindak atas dasar pemahaman yang penuh terhadap hak dan kewajiban yang terlibat dalam akad.
- Objek Akad (ma'qud 'alaihi): Objek yang menjadi pokok akad harus jelas, nyata, bisa diserahkan, dan halal menurut syariah. Akad yang melibatkan barang atau layanan yang tidak halal atau tidak pasti (gharar) tidak sah.
- Ijab dan Qabul (Pernyataan Akad): Akad harus diawali dengan pernyataan ijab (penawaran) dari satu pihak dan qabul (penerimaan) dari pihak lain dengan jelas dan tegas, tanpa adanya unsur paksaan. Kedua belah pihak harus secara sukarela setuju dengan syarat-syarat akad tersebut.
- Maqshud al-'aqd (Tujuan Akad): Tujuan akad harus sesuai dengan ketentuan syariah. Akad yang memiliki tujuan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, seperti akad untuk tujuan riba atau barang haram, dianggap tidak sah.
    2. Syarat Tambahan dalam Akad
Selain syarat sah akad, ada juga syarat-syarat tambahan yang bisa ditambahkan untuk menyesuaikan kepentingan masing-masing pihak. Selama syarat tersebut tidak bertentangan dengan hukum syariah, maka syarat-syarat ini sah. Namun, jika syarat tambahan tersebut melanggar hukum syariah atau merugikan salah satu pihak secara tidak adil, maka syarat tersebut dianggap batal, walaupun akadnya bisa tetap sah.
Contoh syarat tambahan yang dibenarkan:
- Syarat waktu pelaksanaan: Misalnya, dalam akad sewa menyewa, disepakati bahwa sewa dimulai pada waktu tertentu dan berakhir pada waktu yang telah ditetapkan.
- Syarat kondisi tertentu: Dalam akad jual beli, bisa ditentukan bahwa barang harus dalam kondisi tertentu, seperti bebas cacat, atau kualitas tertentu.
Contoh syarat tambahan yang tidak dibenarkan:
- Syarat yang mengandung riba: Misalnya, dalam akad pinjaman, terdapat tambahan pembayaran bunga. Ini dilarang karena mengandung unsur riba, yang bertentangan dengan syariah.
- Syarat yang merugikan salah satu pihak secara tidak adil: Contohnya, dalam akad jual beli rumah, penjual mensyaratkan agar pembeli tidak boleh menjual rumah tersebut dalam kurun waktu 10 tahun. Syarat ini tidak adil karena membatasi kebebasan pembeli.
Contoh Akad dengan Syarat:
- Akad Jual Beli (Bai'): Seorang penjual dan pembeli menyepakati harga, kualitas, dan waktu penyerahan barang. Misalnya, disepakati bahwa barang bisa dikembalikan dalam waktu 7 hari jika ditemukan cacat yang tidak disebutkan sebelumnya.
- Akad Nikah: Calon suami atau istri bisa mengajukan syarat tertentu yang tidak bertentangan dengan syariah, seperti calon istri mensyaratkan agar suami tidak berpoligami selama pernikahan berlangsung. Syarat ini sah asalkan disepakati oleh kedua belah pihak.
Akad syariah adalah konsep fundamental dalam transaksi keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan berfokus pada keadilan, kerjasama, dan saling menguntungkan, akad syariah bertujuan untuk menghindari unsur-unsur yang dilarang seperti riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maisir (perjudian).
Berikut adalah beberapa jenis akad syariah dan contohnya:
    1. Akad Jual Beli (Bai')
- Bai' Murabahah: Bank syariah membeli barang dan menjualnya kepada nasabah dengan tambahan margin. Misalnya, bank membeli mobil dan menjualnya dengan harga lebih tinggi.
- Bai' Salam:Â Pembayaran dilakukan di muka, namun barang diserahkan di masa mendatang, misalnya dalam transaksi hasil pertanian.
     2. Akad Sewa (Ijarah)
- Ijarah: Sewa menyewakan barang atau jasa dengan imbalan. Contoh: sewa rumah selama 1 tahun.
- Ijarah Muntahia Bittamlik: Sewa yang berakhir dengan kepemilikan, seperti leasing kendaraan dengan opsi pembelian di akhir masa sewa.
    3. Akad Bagi Hasil
- Musyarakah: Dua pihak atau lebih bekerja sama dengan modal bersama, keuntungan dibagi sesuai kesepakatan. Contoh: bisnis restoran dengan modal bersama.
- Mudharabah: Satu pihak menyediakan modal, pihak lain menjalankan usaha, keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, dan kerugian ditanggung oleh pemodal.
     4. Akad Tabarru' (Sumbangan)
- Wakaf: Sumbangan aset untuk kepentingan amal, seperti wakaf tanah untuk pembangunan masjid.
- Hibah: Pemberian harta tanpa imbalan.
      5. Akad Al-Wakalah (Perwakilan)
- Kuasa kepada pihak lain untuk bertindak atas nama pemberi kuasa, misalnya kuasa investasi yang diberikan kepada bank syariah.
      6. Akad Al-Kafalah (Jaminan)
- Penjamin menjamin kewajiban pihak lain, seperti jaminan pembayaran utang.
     7. Akad Al-Hawalah (Alih Utang)
- Pengalihan utang dari seorang debitur kepada pihak lain yang disetujui kreditur.
      8. Akad Al-Rahn (Gadai)
- Jaminan berupa barang yang diberikan sebagai pengaman utang, misalnya emas yang digadaikan kepada bank syariah.
     9. Akad Ju'alah (Upah)
- Pemberian upah untuk jasa yang telah disepakati, misalnya upah untuk menemukan barang yang hilang.
     10. Akad Istisna' (Pesanan)
- Pemesanan barang yang harus dibuat sesuai spesifikasi tertentu, seperti pemesanan rumah kepada kontraktor.
     11. Akad Qardh (Pinjaman)
- Pinjaman tanpa bunga, di mana peminjam mengembalikan jumlah yang sama tanpa tambahan bunga, contohnya pinjaman pendidikan tanpa bunga dari bank syariah.
Setiap mazhab memiliki prinsip-prinsip dan metode tersendiri dalam menilai sah atau tidaknya suatu akad. Berikut adalah beberapa poin tambahan dan penekanan dari penjelasan di atas yang dapat membantu lebih memahami aspek-aspek penting dalam perbedaan pendapat tersebut:
1. Akad Jual Beli (Bay')
- Mazhab Hanafi menekankan pada fleksibilitas selama rukun dan syarat akad dipenuhi. Syarat-syarat tambahan dalam jual beli dapat diterima selama tidak menimbulkan kerugian.
- Mazhab Maliki lebih ketat dalam hal syarat-syarat yang bisa membatalkan akad jika syarat itu tidak terpenuhi atau dianggap merugikan salah satu pihak.
- Mazhab Syafi'i berfokus pada kejelasan barang yang dijual serta menghindari ketidakpastian (gharar), di mana jika ada sedikit pun ketidakjelasan, akad bisa dibatalkan.
- Mazhab Hanbali relatif longgar terhadap ketidakpastian kecil, tetapi tetap mengutamakan keridhaan kedua belah pihak.
2. Akad Nikah
- Mazhab Hanafi adalah satu-satunya mazhab yang membolehkan wanita dewasa untuk menikah tanpa wali, dengan catatan pernikahannya dengan pria yang sekufu.
- Mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali menekankan bahwa wali adalah syarat sah pernikahan. Tanpa wali, akad nikah tidak sah. Pendekatan ini sangat memperhatikan aspek perlindungan terhadap perempuan dalam akad nikah.
3. Akad Ijarah (Sewa Menyewa)
- Semua mazhab sepakat bahwa kejelasan dalam hal harga, durasi, dan manfaat barang atau jasa yang disewa merupakan syarat penting. Namun, tingkat kehati-hatian dalam memastikan tidak adanya gharar (ketidakpastian) lebih ditekankan di mazhab Syafi'i dan Hanbali, yang lebih ketat dalam menilai keabsahan akad.
Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) dalam Contoh-Contoh Akad:
     1. Akad Nikah Tanpa Wali:
- Dalam Mazhab Hanafi, pernikahan tanpa wali tetap sah bagi wanita yang sudah dewasa, selama ada kecocokan status sosial dan agama (sekufu) antara pasangan.
- Mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali menolak pernikahan tanpa wali dan menganggap akad tersebut tidak sah, bahkan jika kedua pihak setuju dan telah memenuhi syarat lainnya. Dalam pandangan ini, wali dianggap penting untuk menjaga hak-hak perempuan.
  2. Akad Jual Beli dengan Unsur Gharar:
- Mazhab Syafi'i dan Maliki lebih ketat dalam hal ketidakpastian (gharar). Menjual sesuatu yang belum pasti didapat, seperti ikan di laut, dianggap tidak sah.
- Mazhab Hanafi dan Hanbali lebih fleksibel dalam hal gharar yang kecil dan tidak signifikan. Namun, jika ketidakpastian terlalu besar, seperti dalam contoh penjualan ikan yang masih di laut, akad tetap dianggap tidak sah.
KESIMPULANÂ
Kesimpulan dari teks di atas adalah bahwa akad dalam hukum Islam merupakan sebuah perjanjian atau kontrak antara dua pihak yang harus memenuhi prinsip-prinsip syariah agar sah. Akad terdiri dari ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) yang dilakukan secara sukarela oleh pihak yang berakal sehat dan dewasa. Selain itu, objek perjanjian harus halal, jelas, dan bebas dari unsur riba, gharar (ketidakpastian berlebihan), atau perjudian (maisir).
Jenis akad beragam, mulai dari jual beli, sewa menyewa, bagi hasil, wakaf, hingga pinjaman tanpa bunga, yang semuanya didasari pada keadilan dan kesesuaian dengan ketentuan syariah. Setiap akad bisa memiliki syarat tambahan selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Masing-masing mazhab dalam Islam juga memiliki perbedaan dalam penerapan hukum akad, terutama terkait keabsahan syarat dan rukun yang terlibat dalam berbagai jenis akad.
DAFTAR PUSTAKAÂ
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I (Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 63.
Abi Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyah, Mu'jam Maqayis al-Lughah (Beirut:1994),h. 679.
Abu Zahrah, Muhammad. Al-Ahkam al-Mu'amalat al-Shar'iyyah. Cairo: Dar al-Fikr, 1985.
Ahmad Azhar Basyir. (1987). Hukum Perjanjian Islam. Yogyakarta: UII Press.
Al-Khin, Mustafa. Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madhhab al-Imam al-Shafi'i. Damascus: Dar al-Qalam, 1992.
Al-Qardhawi, Yusuf. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999.
Antonio, M. Syafii. (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Gemala Dewi (et.al), Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Rawa Mangun, 2005), h. 46.
Majelis Ulama Indonesia (MUI). (2000). Fatwa Dewan Syariah Nasional.
Mannan, M. Abdul. (1997). Teori dan Praktik Ekonomi Islam. Jakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Mujahidin, Asep. "Konsep Akad dalam Fikih Muamalah." Jurnal Studi Ekonomi Syariah Vol. 2, No. 1, 2016.
Munir, M. Abdul. Transaksi dalam Fikih Islam: Pendekatan Madzhab Syafi'i dan Hanbali. Jakarta: Pustaka As-Salam, 2013.
Rahman, Fatur. "Jual Beli dalam Perspektif Fikih: Studi Komparatif antara Madzhab Syafi'i dan Hanafi." Jurnal Hukum Islam Vol. 7, No. 2, 2013.
Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011.
Subekti, Hukum Perjanjian (Cet, II; Jakarta: Intermasa, 1998), h.1
TM Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Ed. 2 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, (1997), h.19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H