3) Ijma'
Menurut pahamnya ialah : "tidak diketahui ada perselisihan pada hukum yang dimaksudkan". Beliau berpendapat, bahwa meyakini telah terjadi persesuaian paham segala ulama tidak mungkin.
4) Qiyas
Beliau menolak dasar istihsan dan dasar istishlah. Metodologi ijtihad Imam Syafi'i tidak ada yang menggunakan logika kecuali terbatas pada Qiyas saja.
5) Istdlal
As-Syafi'i dapat memahamkan dengan baik fiqh ulam Hijaz dan fiqh ulama Iraq dan beliau terkenal dalam medan munadharah sebagai seorang yang sukar dipatahkan hujjahnya.
Dalam menetapkan metode urutan hukum di atas, Imam al-Syafi'I meletakkan al-Qur'an dan al-Sunnah sejajar pada urutan yang paling diutamakan, sebagai Gambaran pentingnya sunnah dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an, serta menguatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bertindak sesuai dengan petunjuk Allah SWT. melalui wahyu bukan berdasarkan hawa nafsu, meski perlu diketahui bahwa proses lahirnya hukum tersebut berrbeda (Karim, 2013:189).
Format hirarkis yang disusun oleh Imam al-Syafi'i telah memberikan pengaruh yang signifikan dalam Sejarah pemikiran Islam. Buktinya pada saat itu tidak ada kritik terkait pemikiran al- Syafi'i, para ulama seolah-olah menerimanya begitu saja baik dari pemikir al-Asyariyah maupun Mu'tazilah. Misalnya saja Juwayni dalam kitab al-Burhan yang mengatakan bahwa dalil fiqih adalah teks Al-Qur'an, Sunnah mutawatir dan Ijma'.Â
Bukan hanya itu, dampak epistimologisnya jug sangat besar, misalnya dalam jenis ilmu, semua mesti sesuai dengan standarisasi al-Qur'an. Maka seandainya ada ilmu yang bertentangan dengan Al-Qur'an maka hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ilmu tersebut salah dan  kedua pemahaman terkait al-qur'an itu yang dialah artikan, karena Al-Qur'an mustahil salah. (Syafrin, 2009:242).
Terobosan landasan pengambilan hukum yang ditetapka Imam al-Syafi'I ini sangat mengutamakan kehati-hatian (ikhtiyat) apabila terdapat dua dalil yang sama kuat, Imam al-Syafi' kemudian memberikan suatu sikap yang baik dan bahkan berani merevisi hasil pemikirannya yang lama dengan mengemukakan yang baru, baik karena ditemukannya dalil lain maupun karena pengaruh lingkungan. Dari sikap tersebut dikenal lah adanya dua pendapat yang bersumber dari Imam al- Syafi'i, yakni pendapat lama (qoul qodim) dan pendapat baru (qoul jadid) (Karim, 2013:190).
Pada tataran praktik metode Imam al-Syafi'i dalam berijtihad dan beristidlal sebenarnya tidak hanya terpaku pada sumber dan dalil hukum berupa al-Qur'an, al-Sunnah, Ijma' dan Qiyas, namun beliau juga dalam menggali hukum memakai metode Istishab, Urf, Fatwa Sahabat, Istiqra' dan Akhdzu Aqall Maa Qiyla. Metode Istiqra' dan Ahdzu Aqall Maa Qiyla, dua metode yang tidak digunakan oleh ulama madzhab, baik imam Abu Hanifah, imam Malik bin Anas maupun imam Ahmad bin Hanbal.