Mohon tunggu...
Naily Syafithri
Naily Syafithri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sarjana Akuntansi

-Mahasiswa Sarjana Akuntansi -NIM 43223010046 -Fakultas Ekonomi dan Bisnis -Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB -Dosen : Apollo,Prof. Dr,,M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Quiz 12, Edward Coke: Actus Reus, Mens Rea, dan Relevansinya Pada Kasus Korupsi di Indonesia

5 Desember 2024   09:31 Diperbarui: 5 Desember 2024   10:07 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Korupsi adalah masalah serius yang menggerogoti fondasi pembangunan dan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Di Indonesia, kasus-kasus korupsi melibatkan penyalahgunaan wewenang, suap, dan manipulasi anggaran yang tidak hanya merugikan negara secara finansial tetapi juga merusak moralitas masyarakat. 

Untuk memberantas korupsi secara efektif, diperlukan pemahaman mendalam mengenai elemen-elemen hukum pidana, khususnya tindakan melawan hukum (actus reus) dan niat atau mentalitas pelaku (mens rea).

Konsep actus reus dan mens rea berasal dari tradisi hukum common law dan pertama kali dijabarkan secara sistematis oleh Sir Edward Coke, seorang ahli hukum Inggris abad ke-17. Menurut Coke, tindakan pidana tidak hanya ditentukan oleh perbuatan fisik melawan hukum, tetapi juga oleh keadaan mental pelaku yang mencerminkan kesengajaan atau kelalaian. 

Prinsip ini kemudian dikenal melalui adagium hukum: actus non facit reum nisi mens sit rea ("sebuah tindakan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali pikiran juga bersalah").

Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, prinsip ini memiliki relevansi penting. Untuk menegakkan keadilan, aparat penegak hukum harus mampu membuktikan bahwa pelaku tidak hanya melakukan tindakan korupsi secara fisik (actus reus) tetapi juga memiliki niat atau sikap mental yang mendukung tindakan tersebut (mens rea). 

Artikel ini akan menguraikan konsep-konsep dasar ini, relevansinya dalam kasus korupsi di Indonesia, serta bagaimana penerapannya dapat membantu mengatasi salah satu tantangan terbesar dalam sistem hukum pidana Indonesia.

Dokpri Naily Syafithri
Dokpri Naily Syafithri

What: Definisi Actus Reus dan Mens Rea Menurut Edward Coke

Sir Edward Coke, seorang ahli hukum Inggris abad ke-17, menegaskan bahwa untuk menghukum seseorang secara pidana, harus ada kombinasi actus reus dan mens rea.

1. Pengertian Actus Reus dan Mens Rea

  • Actus Reus: Dalam hukum pidana, actus reus adalah tindakan fisik atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku. Dalam konteks korupsi, ini mencakup perbuatan nyata yang melanggar hukum, seperti menerima suap, menggelapkan uang negara, atau memanipulasi dokumen anggaran.

  • Mens Rea: Mens rea adalah niat atau kesengajaan di balik perbuatan melawan hukum. Dalam kasus korupsi, ini merujuk pada kesadaran atau kehendak pelaku untuk melakukan tindakan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.

2. Relevansi Prinsip Actus Reus dan Mens Rea dalam Korupsi

Dalam tindak pidana korupsi, kedua prinsip ini harus dibuktikan untuk menentukan kesalahan pelaku:

  • Actus Reus menunjukkan adanya perbuatan korupsi yang nyata dan spesifik.
  • Mens Rea memastikan bahwa pelaku melakukan tindakan tersebut dengan sengaja atau dalam keadaan lalai yang berat (culpa).
  • Actus Reus: Tindakan fisik yang melanggar hukum. Ini mencakup semua perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menipu, atau menyalahgunakan wewenang.
  • Mens Rea: Keadaan mental atau niat pelaku saat melakukan tindakan tersebut. Ini mencakup kesengajaan, kelalaian, atau motif untuk melakukan tindakan ilegal.

Coke menekankan bahwa "an act does not make a person guilty unless the mind is also guilty" (actus non facit reum nisi mens sit rea). Prinsip ini menggarisbawahi pentingnya niat sebagai elemen kunci dalam menentukan kesalahan pidana.

Why: Pentingnya Prinsip Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonesia sering kali terjadi dalam bentuk-bentuk yang kompleks, seperti suap, penggelapan, dan penyalahgunaan wewenang. Menggunakan prinsip actus reus dan mens rea, pengadilan dapat:

  1. Memastikan keadilan: Prinsip ini membantu membedakan antara pelaku yang benar-benar memiliki niat jahat dan mereka yang terjebak dalam situasi tanpa niat melawan hukum.
  2. Menentukan tingkat kesalahan: Dengan membuktikan mens rea, jaksa dapat menilai tingkat kesalahan pelaku, apakah itu sengaja atau akibat kelalaian.
  3. Mencegah kriminalisasi tidak adil: Tanpa adanya bukti mens rea, seseorang yang melakukan tindakan secara tidak sengaja dapat terhindar dari hukuman yang tidak proporsional.

Dokpri Naily Syafithri
Dokpri Naily Syafithri

How: Penerapan Prinsip Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus Korupsi di Indonesia

1. Identifikasi Actus Reus (Tindakan Melawan Hukum yang Terjadi)

  • Langkah 1: Pengumpulan Bukti Perbuatan
    Penegak hukum seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), kepolisian, atau kejaksaan mengumpulkan bukti yang menunjukkan adanya tindakan korupsi. Contohnya:

    • Dokumen palsu, seperti laporan keuangan yang dimanipulasi.
    • Transaksi keuangan, seperti transfer dana ilegal atau penerimaan uang suap.
    • Kesaksian saksi terkait perbuatan, misalnya pemberi suap atau rekan pelaku.
  • Langkah 2: Analisis Perbuatan Fisik Pelaku
    Penyidik menentukan apakah tindakan yang dilakukan melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001). Fokusnya adalah apakah perbuatan itu:

    • Merugikan keuangan negara.
    • Dilakukan oleh pejabat negara atau pihak yang bekerja sama dengannya.

2. Pembuktian Mens Rea (Niat atau Kesengajaan di Balik Tindakan)

  • Langkah 1: Mengidentifikasi Motif dan Kesengajaan Pelaku
    Untuk membuktikan mens rea, penyidik mencari indikasi bahwa pelaku sadar akan perbuatannya yang melanggar hukum. Ini dilakukan melalui:

    • Bukti percakapan, seperti pesan atau email terkait perencanaan korupsi.
    • Pengamatan pola tindakan, misalnya pembagian keuntungan ilegal.
    • Penelusuran dokumen, seperti keputusan yang dibuat dengan sengaja untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
  • Langkah 2: Menentukan Tingkat Kesalahan (Intent atau Negligence)
    Penegak hukum mengklarifikasi apakah pelaku bertindak dengan:

    • Kesengajaan: Pelaku secara sadar berniat melakukan tindak pidana.
    • Kelalaian berat (culpa): Pelaku mengetahui potensi kerugian tetapi tidak mengambil langkah pencegahan.

3. Proses Penegakan Hukum

  • Langkah 1: Penyidikan dan Penuntutan
    Berdasarkan bukti actus reus dan mens rea, jaksa menyusun dakwaan di pengadilan. Dakwaan biasanya menyebutkan:

    • Tindakan spesifik yang dilakukan pelaku.
    • Niat jahat di balik tindakan tersebut.
    • Kerugian negara akibat tindakan itu.
  • Langkah 2: Persidangan dan Putusan
    Hakim memutuskan apakah kedua unsur (actus reus dan mens rea) telah terbukti berdasarkan fakta hukum yang diajukan. Jika terbukti, pelaku dijatuhi hukuman sesuai undang-undang.

  1. 4. Peran Undang-Undang dan Pendekatan Pembuktian

    • Pendekatan Strict Liability
      Dalam beberapa kasus, pelaku dapat dijerat tanpa perlu pembuktian mens rea yang mendalam. Cukup dengan membuktikan adanya perbuatan (actus reus) yang merugikan negara.

    • Penerapan Pasal-Pasal Terkait
      Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 sering digunakan untuk menjerat pelaku. Pasal ini menekankan unsur kerugian negara sebagai komponen utama dari actus reus.

Dokpri Naily Syafithri
Dokpri Naily Syafithri

Analisis kasus korupsi

Catatan Hukum (Anotasi) Putusan Kasus Korupsi KTP ElektronikBayu Utomo1, Mas Agus Priyambodo

Pembahasan

Kasus  korupsi  e-KTPdilakukan  oleh  Setya  Novanto  yang  telahdiputus  oleh  Pengadilan Tipikor.  Komisi  Pemberantasan  Korupsi (KPK)sempat  mengalami  kendala  untuk  menjerat politikus itu. Setya Novanto sempat lolosdari  penetapan  tersangka  kasus  korupsi  KTP sebagai dampak dimenangkannya sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 29 September 2017. 

Namun ia kembali ditetapkan sebagai tersangka dengan kasus yang sama pada 10 November 2017. Perjalanan kasus dari politikus ini berawal pada tanggal 17 Juli 2017 yakni penetapan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP oleh KPK

Setya  Novanto  memberi  keterangan  dalam  sidang  lanjutan  pada tanggal  22  Maret  2018. Dia mengatakan jabatannya sebagai Ketua DPR saat itu telah dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk memperkaya diri. Dalam pengakuannya,Setya Novanto   mengatakan   adanya   aliran dana  diterima  oleh  politikus  partai  PDIP sebesar  US$  1  juta.  

Setelah melalui  beberapa  siding pemeriksaan  pada  tanggal  29  Maret  2018  jaksa menuntut  Setya  Novanto  dengan  hukuman  16 tahun  penjara  dan  denda  1 miliar  rupiah  subsider  6  bulan  kurungan.  

Dalam  kasus  ini,  Setya Novanto dinilai menguntungkan diri dengan menerima dana sebesar US$ 7,3 jutadanjamtanganRichardMillesenilaiUS$135ribu.Tanggal13April2018SetyaNovantomembacakannotapembelaan. Dalam pledoinya,Setya  Novanto  membantah  tuduhan  jaksa,  dia  menyebut  mantan menteri dalam negeri Gamawan Fauzi punya peran lebih besar dalam penganggaran  proyek sebesar 5,8 tmtriliun rupiah itu.

Anotasi Putusan Kasus Korupsi KTP elektronik

Salah satu pejabat yang paling menyita perhatian dan kini telah berstatus terpidana adalah Setya  Novanto.  Pada  April  2018  lalu,  majelis hakim  Pengadilan  Tipikor  telah  menjatuhi  vonis pidana penjara selama 15 tahun dan denda 500 juta subsidair kurungan 3 bulan. Tidak hanya itu, Setya Novanto juga diganjar dengan pencabutan hak menduduki jabatan publik selama 5 tahun.

Namun,banyak hal yang menjadi catatan terkait proses pembuktian selama persidangan kasus Setya Novanto berlangsung. Terkait hal ini, Ada tiga bagian, yaitu terkait keabsahan cara perolehan alat bukti(admissibility),minimal alat bukti,dan keabsahan alat bukti

Dalam putusan pun Setya Novanto dinyatakan terbukti melanggar ketentuan Pasal 3 UU Tipikor  tersebut.  Tetapi,  menurut  Topo, majelis hakim seharusnya mampu membedakan kewenangan Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Partai Golkar dengan kewenangannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar. 

Topo setuju jika Setya Novanto dianggap  menyalahgunakan kewenangannya sebagai ketua fraksi, bukan sebagai ketua umum Golkar. Namun   sayangnya   putusan   ini   mencampur adukkan   antara   kedua kewenangan itu."Sebenarnya jauh lebih tepat jika Setya Novanto dianggap memperdagangkan pengaruh (tradingininfluence), namun sayangnya kita belum memasukkan itu kedalam UU Tipikor.  

 

 

Dokpri Prof Apollo
Dokpri Prof Apollo

Dokpri Prof Apollo
Dokpri Prof Apollo
  1. Studi Kasus: Kasus Setya Novanto
    Mantan Ketua DPR RI ini terlibat dalam kasus korupsi proyek e-KTP.

    • Actus Reus: Penyalahgunaan wewenang untuk mengarahkan proyek demi keuntungan pribadi.
    • Mens Rea: Bukti percakapan dan dokumen menunjukkan kesengajaan Setya dalam merancang skema korupsi untuk memperoleh suap besar.
  2. Dengan membuktikan kedua elemen ini, pengadilan dapat menetapkan vonis secara sah dan adil.

Disidang perdana pokok perkara Setya Novanto didakwa memperkaya  diri  dengan menerima aliran dana e-KTP sebesar US$7,3 juta. Namun dalam sidang perkara itu Setya Novanto mengaku sakit diare. Pada sidang eksepsi kuasa hukum Setya Novanto menilai dakwaan jaksa tidak cermat  terkait  jumlah  kerugian  negara  dan  hilangnya  sejumlah nama  penerima  korupsi  e-KTP. 

Namun Majelis Hakim menolak eksepsi Setya Novanto dan menilai materi dakwaan jaksa terhadap Setya  Novantotelah  memenuhi  syarat  formil  dan  materil.  Pada  tanggal  25  Januari  2018jaksamenggelarsidangdenganagendapemeriksaansaksi.

Daftar Pustaka

  1. Coke, Edward. Institutes of the Lawes of England. London: William Lee, 1628.
  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
  3. Andi Hamzah. Pemberantasan Korupsi: Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2019.
  4. Hutabarat, Ricard. "Analisis Prinsip Actus Reus dan Mens Rea dalam Tindak Pidana Korupsi." Jurnal Hukum dan Keadilan, 2020.
  5. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Laporan Tahunan KPK 2023." Jakarta: KPK, 2023.
  6. 79J-CEKI: Jurnal Cendekia IlmiahVol.2, No.1, Desember2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun