“Sudah Sya! Memang kenapa Ka, Ngga, kalau ketosnya perempuan?”
“Gendermu itu perempuan, Nay. Lebih baik bantu-bantu di rumah. Sudah sepantasnya laki-laki yang memimpin,” jawab Angga penuh percaya diri.
Itulah permasalahan yang sering kita temui. Ketidakadilan gender. Kondisi tidak adil yang dialami oleh seseorang individu hanya karena latar belakang/statusnya.
“Kamu jangan salah paham. Gender itu bukan jadi penentu, Ngga. Gender juga bukan tentang jenis kelamin laki-laki atau perempuan.”
“Lalu?”
“Gender adalah suatu sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang membedakan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor sosial dan budaya setempat. Secara seksual memang berbeda, begitu pula secara perilaku dan mentalitas. Namun, perannya di masyarakat dapat disejajarkan dengan batasan-batasan tertentu.”
Sebelum Angga dan Raka menanggapi penjelasan dari Naya, Asya pun ikut menambahi.
“Gender juga terdapat dua istilah. Mau tahu nggak?” tanya Asya sambil menaik turunkan alisnya. Karena mereka diam, maka Asya menganggap itu sebagai jawaban iya.
“Istilah itu adalah identitas gender dan ekspresi gender. Identitas gender merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali dirinya sebagai perempuan atau laki-laki. Kenapa aku nyebutnya perempuan dulu? Karena biar tidak laki-laki terus yang didahulukan,” ucapnya sambil menekankan kata perempuan.
“Oke, lanjut! Sedangkan ekspresi gender merupakan cara individu mengekspresikan gendernya melalui cara berpakaian, potongan rambut, suara, hingga perilaku. Bukankah begitu, Bu Naya?” tanyanya dengan bangga dan dihadiahi empat jempol dari Naya.
“Tidak menutup kemungkinan perempuan bisa menjadi pemimpin. Ketika ada kemampuan kenapa tidak? Kalian tentu masih ingat dengan Presiden Indonesia yang kelima kan? Ibu Megawati. Beliau bukan hanya memimpin satu dua kota, tapi se-Indonesia.”