Mohon tunggu...
Nahar Ayu Muthmainnah
Nahar Ayu Muthmainnah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Walisongo State Islamic University | Math Education XXI | My Scout My Life

Bukan tentang siapa tapi tentang apa Ig: @naharayu_ Email: nanaynahar20@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ada Apa dengan Perempuan?

19 Juni 2023   14:41 Diperbarui: 19 Juni 2023   14:52 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.pngdownload.id/png-smno53/

“Ini keyakinan mendalam yang aku rasakan bahwa kita semua harus merasa layak dan berani untuk mengekspresikan hak kita seutuhnya, tidak dibatasi oleh apa pun, tanpa memandang suku, etnis, identitas gender, seksualitas, kemampuan, agama, atau identitas lain yang kita pilih.” Yana Shahidi.

Udara pagi menyapa setiap indra penduduk Desa Asri. Nyata dengan namanya. Desa ini mempunyai pemandangan yang indah dan sedap dipandang mata. Warganya juga mempunyai rasa gotong royong yang tinggi. Contohnya pagi ini, Bapak Kepala Desa Asri mempunyai program kerja mengadakan hari bersih satu bulan sekali yang diikuti semua penduduk Desa Asri.

“Bersyukur ya sya, kita bisa tinggal di pedesaan,” ungkap seorang gadis bernama Naya sambil menghirup udara pagi dalam-dalam.

“Iya, sih. Tapi rasanya lebih menyenangkan lagi kalau kita bisa tinggal di kota. Ada bioskop, mal, sekolah negeri, dan masih banyak lagi.”

Naya pun tersenyum. “Kamu benar, Sya. Tapi tinggal di desa juga nggak kalah menyenangkan. Kita mau sayur-sayuran yang segar tinggal metik di kebun. Bahkan kita bisa menghirup udara bersih yang belum terkontaminasi asap kendaraan dan pabrik. Kita juga masih bisa menempuh pendidikan. Ada saatnya kita ke kota, kok Sya. Nanti ....”

“Saat kuliah,” sambung Asya sambil tertawa dan diikuti Naya.

Di tengah-tengah kegiatan kerja bakti, mereka berdua mendapati Raka yang kesusahan mengangkat kayu seorang diri. Mereka pun datang untuk membantu. Namun, bantuannya ditolak Raka dengan alasan mereka perempuan.

“Hanya laki-laki yang bisa mengangkat ini. Kalian nyapu jalan saja, sana!”

Asya merasa tersinggung dengan ucapan Raka. “Kamu pikir perempuan gak bisa ngangkat kayu, hah?! Kita bukan perempuan lemah ya, Ka!”

“Tetap saja, kalian itu perempuan. Tidak seharusnya melakukan ini!” tegas Raka.

“Ka, niat kami baik buat bantu kamu. Kenapa kamu malah mencerminkan ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki?”

“Kenapa malah bawa keadilan, sih? Gak nyambung Nay!” tanya Raka heran.

Sebelum Naya menjawab, Angga datang menyapa mereka.

“Nih lagi Angga, kenapa baru datang? Lihat tuh, temanmu yang lemah lagi kesusahan!” sindir Asya yang ditujukan kepada Raka.

Raka mulai tersulut emosi dan mencoba menahannya. Sedangkan Naya menyenggol bahu Asya sambil memberi peringatan.

“Selemah-lemahnya Raka, masih lemah kalian kali! Hahaha.”

Ucapan Angga dihadiahi tatapan tajam yang menusuk dari Asya. Naya menyadari situasi ini, lalu mengajak Asya pergi. Namun baru selangkah, terdengar lagi suara Angga.

“Eh, ketua osis mau kemana?”

Naya yang merasa pun menoleh. “Tidak ada lagi kan, yang harus kita lakukan disini?”

Angga tersenyum tipis, namun meremehkan. “Memang tidak ada sih, cuma aku penasaran aja kenapa seorang Naya bisa menjadi ketua osis. Iya nggak, Ka?”

“Iya. Mana perempuan lagi, hahaha.”

“Iri? Bilang bos!”

“Sudah Sya! Memang kenapa Ka, Ngga, kalau ketosnya perempuan?”

“Gendermu itu perempuan, Nay. Lebih baik bantu-bantu di rumah. Sudah sepantasnya laki-laki yang memimpin,” jawab Angga penuh percaya diri.

Itulah permasalahan yang sering kita temui. Ketidakadilan gender. Kondisi tidak adil yang dialami oleh seseorang individu hanya karena latar belakang/statusnya.

“Kamu jangan salah paham. Gender itu bukan jadi penentu, Ngga. Gender juga bukan tentang jenis kelamin laki-laki atau perempuan.”

“Lalu?”

“Gender adalah suatu sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang membedakan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor sosial dan budaya setempat. Secara seksual memang berbeda, begitu pula secara perilaku dan mentalitas. Namun, perannya di masyarakat dapat disejajarkan dengan batasan-batasan tertentu.”

Sebelum Angga dan Raka menanggapi penjelasan dari Naya, Asya pun ikut menambahi.

“Gender juga terdapat dua istilah. Mau tahu nggak?” tanya Asya sambil menaik turunkan alisnya. Karena mereka diam, maka Asya menganggap itu sebagai jawaban iya.

“Istilah itu adalah identitas gender dan ekspresi gender. Identitas gender merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali dirinya sebagai perempuan atau laki-laki. Kenapa aku nyebutnya perempuan dulu? Karena biar tidak laki-laki terus yang didahulukan,” ucapnya sambil menekankan kata perempuan.

“Oke, lanjut! Sedangkan ekspresi gender merupakan cara individu mengekspresikan gendernya melalui cara berpakaian, potongan rambut, suara, hingga perilaku. Bukankah begitu, Bu Naya?” tanyanya dengan bangga dan dihadiahi empat jempol dari Naya.

“Tidak menutup kemungkinan perempuan bisa menjadi pemimpin. Ketika ada kemampuan kenapa tidak? Kalian tentu masih ingat dengan Presiden Indonesia yang kelima kan? Ibu Megawati. Beliau bukan hanya memimpin satu dua kota, tapi se-Indonesia.”

“Mau bukti lagi? Merry Riana. Ia merupakan motivator handal. Dalam keterbatasannya, ia mampu sukses di Singapura. Jadi, masihkah kalian ragu kalau perempuan bisa memimpin?”

“Sorry. Aku memang bodoh,” sesal Angga.

“Aku juga minta maaf ya?” timpal Raka.

“Kami sudah memafkan kalian.”

“Dan ingat kalian tidak bodoh. Kita punya hak yang sama untuk belajar dan melawan kebodohan,” ucap Asya.

“Ayo, kita harus menanamkan kesetaraan gender!” seru Angga.

“Eits, tapi ingat! Kesetaraan gender tidak harus di pandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan lagi, ya. Tidak semuanya harus mutlak sama dengan laki-laki. Karena pada dasarnya, perempuan tidak akan siap jika harus melakukan suatu hal berat yang biasa di tanggung laki-laki” jelas Naya.

“Jadi kita harus berusaha seimbang, kita tahu konsepnya dan belajar mengaplikasannya juga di kehidupan sehari-hari. Setuju?” tambah Asya.

“Setuju!” jawab mereka kompak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun