Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kleptomania: Tidak Mampu Kendalikan Dorongan Mencuri

19 Agustus 2022   13:01 Diperbarui: 19 Agustus 2022   19:15 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramai berita tentang seorang ibu yang mengambil coklat dan barang lainnya di sebuah minimarket. Perilakunya diabadikan dalam video lalu tersebar luas di dunia maya. Konon si pelaku malu karena video itu, lalu mendatangkan pengacara dan meminta pegawai minimarket tersebut minta maaf. Kasus itu berakhir damai setelah kehebohan nitizen direspon oleh pihak manajemen minimarket dan seorang pengacara kondang. 

Nitizen menduga ibu itu mengidap kleptomania (link beritanya di sini dan di sini). Benarkah si ibu menderita kleptomania? Tentu saja dugaan itu tidak bisa disematkan begitu saja, karena individu yang bersangkutan harus diperiksa secara psikologis. Dengan Pemeriksaan Psikologis (PPsi) lengkap dan menyeluruh, barulah diagnosis dapat ditegakkan. 

Mengapa dugaan nitizen langsung ke kleptomania?

Kemungkinan karena perilaku mengutil itu tidak sesuai dengan kemampuan pelaku. Pelaku mampu membayar barang yang diambil karena tampak kalau pelaku mengendarai mobil. Kedua, nilai barang tidak seberapa, sehingga harus dicuri.  Ketiga, kemungkinan nitizen melihat bahwa pelaku tidak melakukan dengan sengaja. 

Lalu apakah ketiga hal itu membuktikan bahwa si ibu mengidap kleptomania? Wah, ya belum tentu. Sekali lagi si ibu harus menjalani PPsi dulu sebelum memastikan jenis gangguan psikologisnya. 

Apa sih Sebenarnya Kleptomania itu?

Istilah kleptomania sebenarnya sudah diperkenalkan pada tahun 1838 oleh 2 Psikiater dari Perancis (Guerdjikova dan McElroy, 2015). Jean-Etienne Esquirol (1772 - 1840) dan C.C. Marc (1771 - 1841) menciptakan istilah tersebut untuk menggambarkan perilaku beberapa Raja yang mengalami dorongan tidak tertahankan untuk mencuri benda-benda tidak berharga. 

Berdasarkan pengamatan mereka berdua, tindakan pencurian itu bukan termasuk ranah kriminal. Heran ya.. Udah jadi Raja, kok masih mencuri? Hingga saat ini, penyebab pasti kleptomania belum jelas sih. 

Pada tahun 1952, tindakan kleptomania itu dimasukkan dalam DSM I (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders). Beberapa tahun kemudian, kleptomania sempat dikeluarkan dari DSM, tapi kini sudah tercatat kembali di DSM-5 di dalam kategori Disruptive, Impulse-Control, and Conduct Disorders (APA, 2013). Artinya tindakan mencuri pada kleptomania termasuk tindakan yang berkaitan dengan pengendalian dorongan. 

Istilah Kleptomania berasal dari bahasa Yunani yaitu kleptes = pencuri, mania = sesuatu yang membuat kegilaan (madness)/berlebihan (Nevis, Rathus, dan Greene, 2018) yang ditandai dengan tindakan pencurian kompulsif berulang kali, sebagai akibat ketidakmampuan menahan diri dari dorongan untuk mengambil barang (APA, 2013; Reichenberg & Seligman, 2016; Nevis, Rathus, dan Greene, 2018). 

Penderita kleptomania tidak bisa menahan dan mengendalikan dorongan untuk mencuri, meskipun mereka sebenarnya tahu kalau perilaku itu salah, tidak masuk akal, dan bertentangan dengan norma sosial (APA, 2013; Zhang, Huang, dan Liu, 2018). 

Barang-barang yang diambil biasanya tidak bernilai ekonomi besar dan tidak dibutuhkan oleh pelakunya. Andaikata dalam kondisi biasa, barang-barang tersebut bisa dibayar oleh pelaku (Nevis, Rathus, dan Greene, 2018; Zhang, Huang, dan Liu, 2018). Lebih lanjut, Zhang dkk mendeskripsikan individu dengan kleptomania biasanya memiliki pekerjaan baik, punya penghasilan stabil, status sosial tinggi, tingkat pendidikan tinggi. Karakteristik itulah yang membuat orang awam heran, 'Kenapa harus mencuri kalau bisa bayar?' Masalahnya bukan pada tidak mampu bayar, tapi pada ketidakmampuan mengendalikan dorongan. 

Dari pengamatan kasus, kemungkinan pengidap kleptomania lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio 3 : 1 (APA, 2013). Rasio tersebut didukung oleh hasil penelitian Zhang dkk terhadap 108 kleptomanik; 68 orang diantaranya perempuan. 

Hal ini bisa terjadi karena perbedaan perlakuan. Kalau laki-laki kedapatan mencuri barang di toko, mereka langsung diproses hukum, dan dimasukkan ke penjara. Sedangkan kalau pelakunya perempuan, mereka akan ditanya lebih detail dulu, sebelum diproses, sehingga akhirnya ketahuan kalau individu tersebut mengidap kleptomania (Zhang, Huang, dan Liu, 2018). 

Ilustrasi Kleptomania (Sumber : Wanita Mencuri Celana Panjang Di Butik. istockphoto.com)
Ilustrasi Kleptomania (Sumber : Wanita Mencuri Celana Panjang Di Butik. istockphoto.com)

Lalu barang-barang yang dicuri itu diapain sih? 

Karena tindakan kleptomania itu bukan ditujukan untuk menggunakan barang-barang tersebut, maka ada beberapa hal yang dilakukan pelakunya mulai dari membuangnya, mengembalikan secara diam-diam, memberikan pada orang lain, merusaknya, atau menyimpan di tempat tertentu. Lha.. susah payah mencuri, kenapa tidak digunakan? Itulah bedanya antara kleptomania dan tindakan pencurian kriminal pada umumnya.

Individu dengan kleptomania tidak berniat untuk menggunakan barang-barang tersebut dalam aktivitas sehari-harinya. Mereka tidak membutuhkannya karena mereka tidak fokus pada bendanya, tapi pada pelepasan ketegangannya. Tapi tindakan pencurian kriminal, fokus pada barangnya karena tujuan mencuri adalah penggunaan barang-barang tersebut. 

Gejala dan Ciri Khas Tindakan Kleptomania

Menurut DSM-5 (APA, 2013) ada 5 hal yang harus dipenuhi agar seseorang tersebut dapat dikatakan mengidap kleptomania yaitu :

1. Kegagalan berulang kali untuk menahan dorongan mencuri barang yang tidak dibutuhkan untuk keperluan personal atau tidak bernilai ekonomi besar. 

2. Mengalami peningkatan ketegangan sebelum melakukan pencurian. 

3. Adanya kenikmatan, kepuasan, dan kelegaan saat melakukan pencurian. 

4. Pencurian tidak ditujukan unruk mengekspresikan kemarahan atau balas dendam, dan bukan tanggapan dari halusinasi atau delusi. 

5. Pencurian itu tidak terkait dengan gangguan psikologis lainnya. 

Artinya tindakan pencurian kompulsif itu dilakukan berulang, bisa jadi bertahun-tahun lamanya. Ada yang mencuri sekali, lalu perilaku itu menghilang dalam jangka waktu lama, ada yang hilang timbul, dan ada yang cukup intensif melakukan pencurian (APA, 2013). 

Bahkan ada yang kambuh ketika individu dalam kondisi tertekan secara psikologis (Zhang dkk, 2018). Perilaku mencuri yang vakum dalam jangka waktu lama itu menyebabkan keluarga atau orang di sekitarnya tidak menganggap hal itu sebagai bentuk gangguan perilaku, apalagi kalau mereka beranggapan bahwa nilai barang yang diambil tidak besar. 

Perilaku tersebut biasanya muncul pada masa dewasa awal, tapi tidak menutup kemungkinan sudah terlihat sejak masih anak-anak atau remaja, dan sangat jarang muncul pada masa usia tua (APA, 2013). Bila terjadi pada anak-anak atau remaja, perilaku itu harus segera ditangani. Kalau tidak, kleptomanianya akan bertambah buruk seiring dengan usia dan tidak bisa sembuh sendiri, dan bisa berkembang menjadi pencurian patologis (Prabowo dan Karyono, 2014; Zhang, Huang, dan Liu, 2018). 

Di dalam melakukan tindakannya, individu dengan kleptomania tidak bekerjasama dengan orang lain, atau merencanakan tindakannya (dilakukan secara spontan) (Nevid, Rathus, dan Greene, 2018; APA, 2013). Hal ini yang membedakan dengan tindakan pencurian kriminal yang terencana, ada observasi target sasaran, dan bekerjasama dengan beberapa orang. 

Individu dengan kleptomania akan menghentikan tindakannya kalau mereka tahu bahwa mereka sedang diawasi oleh security atau diingatkan oleh orang lain; karena sebenarnya mereka merasa takut (takut tertangkap juga) dan tahu kalau perbuatannya salah, hanya saja mereka tidak mampu mengendalikan. Jadi adanya security atau peringatan dari orang lain berfungsi sebagai rem perilaku bagi mereka. 

Secara psikologis, pelaku akan mengalami ketegangan sebelum melakukan pencurian. Pada saat mereka mencuri, muncul perasaan lega dan puas. Tetapi setelah itu, mereka merasakan kecemasan, malu, dan merasa bersalah. 

Hampir semua individu yang mengidap kleptomania terganggu dengan kebiasaan itu, mereka merasa tertekan dan depresif, namun mereka tidak mencari bantuan karena malu (Reichenberg dan Seligman, 2016; Prabowo dan Karyono, 2014; APA, 2013). Seringkali mereka juga menolak didiagnosis kleptomania karena beranggapan perilakunya hanya melanggar norma moral, bukan gangguan psikologis (Christianini, dkk, 2015). 

Rasa malu baik dari diri individu tersebut atau dari keluarganya yang menjadi penghambat bagi penderita untuk mendapatkan bantuan tenaga profesional. Namun hal ini bisa dipahami karena perilaku mencuri dianggap sebagai aib keluarga. 

Kalau mereka mengerti bahwa kleptomania adalah gangguan psikologis, bukan kriminalitas, mungkin mereka akan bergegas mencari bantuan. Inilah salah satu tujuan tulisan ini, agar pembaca yang menemukan atau mengetahui anggota keluarganya mempunyai kemiripan gejala dengan kleptomania, segera membantu orang-orang tersebut untuk menyembuhkan diri. 

Apakah mengutil di toko merupakan bentuk kleptomania? 

Mengutil (shoplifting) memang bentuk paling umum dengan prosentase sekitar 11% (Reichenberg dan Seligman, 2016). Bentuk lainnya mencuri barang di tempat yang tidak biasa, misalnya di acara pernikahan (banyak sekali pernak pernik menarik kleptomanik), acara pelatihan atau seminar (bolpen narsum yang bermerk, warnanya mengkilat, atau peralatan pendukung acara), tempat kerja (souvenir, wadah permen, dan sebagainya), dan berbagai ruang publik lainnya. 

Bila dinilai dari harganya, mungkin benda-benda tersebut murah. Mungkin Anda pernah bertemu dengan mereka secara tidak sengaja, dan ketika mereka mengambil barang, Anda tidak berpikir bahwa mereka menderita kleptomania. Anda melihat bendanya, dan berpikir, "Halah.. Cuman penjepit kertas biasa aja.." 

Namun sebenarnya perilaku kleptomania itu kasus yang sangat jarang, hanya sekitar 0,3% - 0,6% (Reichenberg dan Seligman, 2016). Sebagian besar memang shoplifting. Tapi jangan dibalik ya. Mengutil bukan selalu klepto, tapi kalau individu tersebut dinyatakan klepto, maka bentuk perilakunya bisa jadi terdiri dari shoplifting dan pencurian dari tempat lain. Perbedaan mendasar adalah pada tujuan perilaku mencurinya. 

Karakteristik Kepribadian Penderita Kleptomania

Saya mengutip dari hasil penelitian Zhang dkk terhadap 108 penderita kleptomania tersebut sebagai berikut :

  • Kurang punya empati terhadap orang lain
  • Kalau sudah punya keinginan, mereka bersikeras untuk melakukan apa yang mereka inginkan
  • Cenderung tidak mempertimbangkan perasaan orang lain
  • Cuek terhadap orang lain
  • Jarang berinteraksi akrab dengan orang lain
  • Kurang punya self-respect dan self-esteem rendah
  • Tidak mampu mengambil keputusan dengan hasil baik
  • Kebutuhan psikologis dan emosional yang tidak terpenuhi dari orang-orang signifikan
  • Berasal dari keluarga dengan parenting permisif atau penuh tekanan (otoriter), tidak bisa menghargai anak, pengasuhan tidak konsisten, perpecahan kedua orangtua yang tidak diselesaikan dengan baik, dan kurang adanya hubungan emosional antara orangtua dan anak. 

Sepertinya karakteristik kepribadian di atas umum sekali ya? Suatu kondisi yang bisa dialami siapa saja. Ya, memang ciri kepribadian di atas tampak umum, namun bentuk reaksi individu berbeda-beda, antara lain kleptomania. 

Penyebab dan Pendorong Munculnya Kleptomania

Dari berbagai literatur dan jurnal yang saya baca, penyebab tunggal dan pasti dari kleptomania belum ditemukan. Namun kombinasi dan interaksi antara berbagai faktor diduga menjadi penyebab dan pendorong perilaku mencuri kompulsif tersebut. Berikut ini faktor penyebabnya :

1. Faktor Genetik 

Kerabat dekat atau tingkat pertama ada yang mengalami gangguan psikologis berupa gangguan suasana hati, gangguan afeksi, gangguan kepribadian, gangguan obsesi-kompulsi, penyalahgunaan zat terlarang, atau kleptomania juga (Zhang dkk, 2018). Guerdjikova dan McElroy (2015) meneliti 103 kerabat dekat dari 20 penderita kleptomania dan memperoleh hasil bahwa 21% mengalami gangguan suasana hati (mood), 20% pengguna obat-obat terlarang, 13% gangguan cemas, dan 2% pengidap kleptomania. 

2. Faktor Biologis 

Beberapa peneliti menemukan penderita klepto mengalami ketidakstabilan jalur neurotransmiter yaitu serotonin, dopamin, dan sistem opioid, atropi serebral, dan/atau kekacauan fungsi sistem limbik (APA, 2013; Prabowo dan Karyono, 2014; Zhang dkk, 2018). 

Satu penelitian dengan MRI dilakukan Grant, Odlaug, dan Wozniak (2007) terhadap 10 penderita kleptomania diperoleh hasil bahwa ada penurunan integritas area white matter microstructural pada area ventral lobus frontal otak. Hasil penelitian itu sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan kaitan antara peningkatan perilaku impulsif (yang disebabkan ketidakberfungsian sistem executive function pada area pre frontal cortex) dengan kleptomania. 

Kelainan biologis lainnya yang diduga berperan mendorong munculnya perilaku mencuri patologis adalah adanya tumor, epilepsi, kerusakan otak (brain injury), retardasi mental, dementia, dan efek dari penggunaan zat terlarang (alkohol, misalnya). 

3. Perspektif Psikodinamika

Dari sudut pandang Psikodinamika, perilaku mencuri kompulsif itu merupakan mekanisme pertahanan dari hubungan yang tiba-tiba hilang, perpisahan dengan sosok berarti secara paksa, atau kehilangan figur yang sangat berarti baginya. Semua peristiwa tersebut terjadi saat masa kanak-kanak. Namun saat itu, orang dewasa beranggapan kalau anak kecil tidak perlu ditanggapi atau diberikan pengertian, karena mereka tidak akan mengerti. 

Anak-anak perempuan yang kehilangan figur ayah, atau sosok maskulin yang sangat bermakna baginya, akan mengambil benda-benda yang mencerminkan maskulinitas, seperti bolpen, pisau, coklat batangan, lipstik, dan sebagainya. 

Sedangkan anak-anak yang mengalami kehilangan mendadak, kurang kasih sayang, dan sentuhan emosional, biasanya lebih menyukai benda-benda yang bernuansa feminim, misalnya sepatu bayi, baju, pernak pernik miniatur manusia, dan berbagai benda 'lembut' lainnya. Tapi kalau benda yang dicuri itu berupa laptop, handphone, cincin emas, itu namanyaaa.... niat! Niat mencuri.. hahahaha.. 

4. Faktor Sosial 

Lingkungan sosial di sekitar individu sejak masih kecil kurang bisa memberikan contoh yang bagus. Model orang dewasa di sekitarnya kurang tepat dalam menangani masalah. 

Saya teringat salah satu klien saya yang ingin sekali keluar dari pondok. Berulang kali dia mengatakan pada orangtuanya untuk dipindahkan. Tapi tidak ditanggapi serius oleh kedua orangtuanya. Suatu kali, anak terlibat masalah pencurian dan kepalanya digundul. 

Barulah orangtua bertanya lebih dalam pada anak. Ternyata anak itu mencuri karena dia ingin membalas teman-temannya. Selama ini barang-barangnya sering hilang karena diambil teman-temannya, dan dia tidak bisa melawan. Muncullah ide untuk melakukan hal yang sama. Dan akhirnya dia tertangkap karena memang dia tidak berniat mencuri. Setelah itu, orangtua setuju untuk memindahkan anak ke tempat lain. 

Pengasuhan orangtua diduga memengaruhi kemunculan perilaku mencuri patologis ini. Cara orangtua yang sangat keras, tidak konsisten, adanya figur pengasuh lain yang berbeda caranya (pengasuhan kakek nenek), serta lebih banyak hukuman dibandingkan pujian merupakan faktor-faktor psikososial yang berperan dalam pertumbuhan pribadi anak. 

Tekanan pekerjaan yang menyebabkan ketegangan, lalu individu mencari outlet untuk melepaskan ketegangan juga bisa menjadi pendorong. Situasi tekanan semacam itu memunculkan emosi negatif, seperti cemas, depresi, dan gelisah. 

Individu membutuhkan sarana untuk melepaskan emosi negatif itu. Karena tidak ada orang di sekitarnya yang mengajarkan dan memberikan contoh bagaimana mengatasi emosi negatif itu dengan cara produktif, individu akhirnya memilih cara yang familiar dengannya. 

Dampak dan Penanganan Kleptomania

Berdasarkan paparan di atas, pembaca sudah bisa memperkirakan dampaknya, baik pada individu itu sendiri, keluarga, relasi sosial, pekerjaan/karir, kerugian tempat usaha (yang menjadi tempat pengutilan), dan juga terkena masalah hukum. Oleh karena itu, penderitanya harus segera diajak untuk mencari bantuan untuk menyembuhkan perilakunya. Memang proses terapi membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit, namun perlu diupayakan agar individunya memperoleh kualitas hidup lebih baik. 

Dengan penanganan tepat, individu dengan kleptomania dapat kembali bekerja, relasi dengan keluarga membaik, hubungan dengan orang lain membaik, dan terlepas dari permasalahan hukum. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terapi medis dengan obat-obatan mampu menurunkan dorongan untuk mencuri dan disertai dengan terapi psikologis dalam jangka panjang. Layak dicoba untuk mencapai tujuan positif bagi individunya. 

Sekian artikel ini. Semoga memberikan pencerahan dan bermanfaat. 

Referensi

American Psychiatric Association (APA), 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5TM). 5th edition. Arlington : American Psychiatric Association. 

Christianini, A.R., Conti, M.A., dkk., 2015. Treating Kleptomania : Cross-cultural Adaptation of the Kleptomania Symptom Assessment Scale and Assessment of an Outpatient Program. Comprehensive Psychiatry, 56(2015) : 289 - 294. 

Grant, J.E., Odlaug, B.L., dan Wozniak, J.R., 2007. Neuropsychological Functioning in Kleptomania. Behavior Research and Therapy, 45 (2007) : 1663 - 1670. 

Guerdjikova, A.I., dan McElroy, S.L., 2015. Kleptomania. Dalam The Encyclopedia of Clinical Psychology. 1st edition. Cautin, R.L., dan Lilienfield, S.O (editor). New Jersey : John Wiley and Sons. 

Nevid, J.S., Rathus, S.A., dan Greene, B., 2018. Abnormal Psychology : In a Changing World. 10th edition. New York : Pearson. 

Prabowo, B.A., dan Karyono, 2014. Gambaran Psikologis Individu dengan Kecenderungan Kleptomania. Jurnal Psikologi Undip, 13(2) : 163 - 169. 

Reichenberg, L.W., dan Seligman, L., 2016. Selecting Effective Treatments : A Comprehensive Systematic Guide to Treating Mental Disorders. 5th edition. New Jersey : John Wiley and Sons. 

Zhang, Z., Huang F., dan Liu, D., 2018. Kleptomania : Recent Advances in Symptoms, Etiology, and Treatment. Current Medical Science, 38(5) : 937 - 940. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun