4. Pencurian tidak ditujukan unruk mengekspresikan kemarahan atau balas dendam, dan bukan tanggapan dari halusinasi atau delusi.Â
5. Pencurian itu tidak terkait dengan gangguan psikologis lainnya.Â
Artinya tindakan pencurian kompulsif itu dilakukan berulang, bisa jadi bertahun-tahun lamanya. Ada yang mencuri sekali, lalu perilaku itu menghilang dalam jangka waktu lama, ada yang hilang timbul, dan ada yang cukup intensif melakukan pencurian (APA, 2013).Â
Bahkan ada yang kambuh ketika individu dalam kondisi tertekan secara psikologis (Zhang dkk, 2018). Perilaku mencuri yang vakum dalam jangka waktu lama itu menyebabkan keluarga atau orang di sekitarnya tidak menganggap hal itu sebagai bentuk gangguan perilaku, apalagi kalau mereka beranggapan bahwa nilai barang yang diambil tidak besar.Â
Perilaku tersebut biasanya muncul pada masa dewasa awal, tapi tidak menutup kemungkinan sudah terlihat sejak masih anak-anak atau remaja, dan sangat jarang muncul pada masa usia tua (APA, 2013). Bila terjadi pada anak-anak atau remaja, perilaku itu harus segera ditangani. Kalau tidak, kleptomanianya akan bertambah buruk seiring dengan usia dan tidak bisa sembuh sendiri, dan bisa berkembang menjadi pencurian patologis (Prabowo dan Karyono, 2014; Zhang, Huang, dan Liu, 2018).Â
Di dalam melakukan tindakannya, individu dengan kleptomania tidak bekerjasama dengan orang lain, atau merencanakan tindakannya (dilakukan secara spontan) (Nevid, Rathus, dan Greene, 2018; APA, 2013). Hal ini yang membedakan dengan tindakan pencurian kriminal yang terencana, ada observasi target sasaran, dan bekerjasama dengan beberapa orang.Â
Individu dengan kleptomania akan menghentikan tindakannya kalau mereka tahu bahwa mereka sedang diawasi oleh security atau diingatkan oleh orang lain; karena sebenarnya mereka merasa takut (takut tertangkap juga) dan tahu kalau perbuatannya salah, hanya saja mereka tidak mampu mengendalikan. Jadi adanya security atau peringatan dari orang lain berfungsi sebagai rem perilaku bagi mereka.Â
Secara psikologis, pelaku akan mengalami ketegangan sebelum melakukan pencurian. Pada saat mereka mencuri, muncul perasaan lega dan puas. Tetapi setelah itu, mereka merasakan kecemasan, malu, dan merasa bersalah.Â
Hampir semua individu yang mengidap kleptomania terganggu dengan kebiasaan itu, mereka merasa tertekan dan depresif, namun mereka tidak mencari bantuan karena malu (Reichenberg dan Seligman, 2016; Prabowo dan Karyono, 2014; APA, 2013). Seringkali mereka juga menolak didiagnosis kleptomania karena beranggapan perilakunya hanya melanggar norma moral, bukan gangguan psikologis (Christianini, dkk, 2015).Â
Rasa malu baik dari diri individu tersebut atau dari keluarganya yang menjadi penghambat bagi penderita untuk mendapatkan bantuan tenaga profesional. Namun hal ini bisa dipahami karena perilaku mencuri dianggap sebagai aib keluarga.Â
Kalau mereka mengerti bahwa kleptomania adalah gangguan psikologis, bukan kriminalitas, mungkin mereka akan bergegas mencari bantuan. Inilah salah satu tujuan tulisan ini, agar pembaca yang menemukan atau mengetahui anggota keluarganya mempunyai kemiripan gejala dengan kleptomania, segera membantu orang-orang tersebut untuk menyembuhkan diri.Â