Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sudah Berbagi tapi Tetap Miskin, Salahnya di Mana?

5 November 2015   20:33 Diperbarui: 6 November 2015   13:35 2192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ibu bawa berapa uang sekarang ini?” saya hendak memastikan jumlah uangnya.

“300 ribu,” jawabnya.

“Kalau gitu, 200 ribu bisa disumbangkan untuk beli makanan di dekat sini, lalu ibu pergi ke panti asuhan di sana, sumbangkan semuanya. Gimana, Bu?”

“Wah, saya masih harus beli bensin nanti pulangnya. Ada biaya servis komputer yang harus dibayar,” dalih si ibu.

Dengan cepat saya turunkan tantangannya, “Kalau gitu, 100 ribu saja. Ibu bisa beli susu dan beberapa makanan kecil di minimarket depan, lalu Ibu kirimkan ke panti asuhan itu”.

Menurut Anda apakah dia mau melakukannya? Tepat sekali. Tidak mau! Ia tidak mau berpisah dengan uangnya, melekat bagaikan lem super kuat. Padahal kami berdua (temannya dan saya) sudah memberikan banyak cerita kesaksian betapa ikhlas itu akan diganti Allah dengan berlipat-lipat. Tantangan saya turunkan ke angka 50.000, tapi dia tetap tidak mau. Ya sudah.

Berbagi dengan Barang Terbaik atau Hal Paling Penting

Banyak orang mirip dengan ibu itu. Tidak siap berpisah dengan materi atau hal-hal yang dianggapnya paling penting. Terlalu mencintai sesuatu, bahkan kadang melebihi rasa cinta pada Tuhannya. Bagaimana bisa mendapatkan rejeki kalau seseorang menempel ketat pada materi atau hal-hal duniawi lainnya? Ini bukan ceramah agama kok, hanya sekadar akal sehat saja. Kemelekatan itu membuat orang lupa bersyukur. Tidak mampu melihat hal-hal baik di sekitarnya.

Orang-orang berkata kalau dirinya sudah berbagi, tapi kondisi tetap sama. Tidak kunjung ‘kaya raya’. Karena apa yang mereka bagikan itu bukan sesuatu yang mereka sayangi. Mereka berbagi dengan sesuatu atau barang yang memang mereka tidak suka atau sudah tidak dipakai lagi. Artinya bekas. Sampah.

Kalau barang-barang atau hal-hal yang sungguh-sungguh mereka sayangi itu dibagikan, dilepaskan tanpa pamrih dan tanpa rasa ‘eman’, saya yakin rejeki (berupa apapun) akan datang. Sayangnya, orang cenderung membagikan sesuatu yang bukan disayangi dan tidak butuh upaya. Misalnya ungkapan : ‘Tak doakan saja ya’. Itu cuman omongan saja. Tapi kalau ditanya lebih lanjut, mereka berkilah, ‘lho doa itu penting. Kalau nggak, masalahnya nggak bisa selesai’. Ya lah.. terserah. Sesungguhnya selain doa, mereka bisa memberikan sesuatu yang lain, misalnya waktu, tenaga, dana dan sumbang pikir. Bisa jadi.

Intinya, berbagilah dengan sesuatu yang Anda anggap paling penting. Dulu Nabi Abraham siap mengorbankan anaknya, yang dicintainya, maka Allah langsung menggantinya. Begitu juga kisah Habel yang mempersembahkan korban dengan hewan paling bagus. Allah berkenan pada persembahannya. Beda dengan saudaranya, si Kain, yang memilih hewan paling buruk untuk dipersembahkan. Jelaslah Allah tidak sudi menerima persembahannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun