Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sudah Berbagi tapi Tetap Miskin, Salahnya di Mana?

5 November 2015   20:33 Diperbarui: 6 November 2015   13:35 2192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - berbagi (Shutterstock)

Sudah Berbagi, Tapi Tetap ‘Miskin’. Salahnya Dimana?

Tulisan ini bukan menyindir mereka yang miskin finansial ya. Pengertian miskin luas cakupannya. Meskipun materi cukup, tetapi selalu merasa kurang. Itulah ‘miskin’. Saya sendiri belum jadi konglomerat, jadi nggak beranilah menyindir orang lain..

Suatu kali saya mendengar seorang ibu mengeluh pada temannya kalau usaha makanannya tidak laku. Padahal ia sudah berbagi dalam bentuk memberikan makanan pada anak-anak yatim. Tiap pagi dan siang hari, terutama bila ada sisa makanan di depotnya. Hal itu dilakukannya selama hampir 2 bulan. Menilik dari ceritanya, ibu itu membagikan makanan hampir setiap hari. Keluhannya berlanjut pada omelannya terhadap janji Tuhan. Upayanya berbagi tidak mendatangkan rejeki. Bahkan pada akhirnya, ia harus menutup depotnya. Bangkrut.

Pembicaraan akhirnya melibatkan saya (yang tadinya sibuk sendiri dengan pekerjaan), ketika teman curhatnya tampak kewalahan menasihati ibu itu agar ikhlas dalam memberi. Bukan itung-itungan dengan Tuhan. Bukan memberikan makan pada anak yatim lalu berharap Tuhan menggantinya dengan limpahan uang. Well, saya setuju dengan pendapat temannya itu. Ibu itu bukan berbagi, tapi ia berdagang dengan Tuhan. Kalau berani berdagang dengan Tuhan, maka apa yang dia berikan kurang sekali. Tidak mengherankan kalau ‘hasil perdagangannya’ sangat sedikit…hehehe…

“Saya sudah berbagi, tapi nggak ada rejeki yang masuk,” keluhnya. Ibu itu single parent. Suaminya sudah meninggal. Anaknya hanya satu orang, laki-laki, sudah kelas 3 SMP. Rumahnya tidak kontrak, miliknya sendiri. Secara keseluruhan, kondisi kesehatan ibu dan anak itu baik-baik saja. Masih ada peralatan elektronik yang mereka miliki. Lalu apa yang kurang ya? Hmmm… Mungkin ibu itu ingin punya koleksi batu akik sekotak atau simpanan uang ratusan juta rupiah..

Berbagi dengan Pamrih

Nasihat yang sering saya dengar sejak kecil dulu adalah ‘kalau berbuat baik, jangan pamrih. Jangan berharap imbalan’. Wah, terus terang saja, hal itu susah sekali. Sepertinya malaikat atau orang sekelas Nabi saja yang bisa melakukannya. Saya sih… Nggak janji!

Manusiawi sekali bila kita melakukan sesuatu, sekecil apapun, berharap ada –minimal- ucapan terima kasih. Bahkan membukakan pintu mobil pun, berharap senyuman dengan kata-kata ‘terima kasih ya’. Ya khan? Salah? Tidak. Justru wajar. Kalau tidak demikian, munafik namanya.

Namun setelah belajar ilmu kebatinan, eh salah, ilmu alam pikiran bawah sadar, ikut pelatihan tentang kekuatan pikiran, tentang manfaat ikhlas, saya menyadari kekuatan dari memberi-tanpa-pamrih itu. Kuncinya : Lakukan saja, lepaskan dan hiduplah seperti biasanya. Tentu saja, niat baik diperlukan.

Kembali ke kisah pilu ibu penjual makanan itu (lebay deh). Saya tantang ibu itu untuk memberikan sedikit uang dalam dompetnya langsung pada saat itu juga ke panti asuhan terdekat.

“Ibu bawa berapa uang sekarang ini?” saya hendak memastikan jumlah uangnya.

“300 ribu,” jawabnya.

“Kalau gitu, 200 ribu bisa disumbangkan untuk beli makanan di dekat sini, lalu ibu pergi ke panti asuhan di sana, sumbangkan semuanya. Gimana, Bu?”

“Wah, saya masih harus beli bensin nanti pulangnya. Ada biaya servis komputer yang harus dibayar,” dalih si ibu.

Dengan cepat saya turunkan tantangannya, “Kalau gitu, 100 ribu saja. Ibu bisa beli susu dan beberapa makanan kecil di minimarket depan, lalu Ibu kirimkan ke panti asuhan itu”.

Menurut Anda apakah dia mau melakukannya? Tepat sekali. Tidak mau! Ia tidak mau berpisah dengan uangnya, melekat bagaikan lem super kuat. Padahal kami berdua (temannya dan saya) sudah memberikan banyak cerita kesaksian betapa ikhlas itu akan diganti Allah dengan berlipat-lipat. Tantangan saya turunkan ke angka 50.000, tapi dia tetap tidak mau. Ya sudah.

Berbagi dengan Barang Terbaik atau Hal Paling Penting

Banyak orang mirip dengan ibu itu. Tidak siap berpisah dengan materi atau hal-hal yang dianggapnya paling penting. Terlalu mencintai sesuatu, bahkan kadang melebihi rasa cinta pada Tuhannya. Bagaimana bisa mendapatkan rejeki kalau seseorang menempel ketat pada materi atau hal-hal duniawi lainnya? Ini bukan ceramah agama kok, hanya sekadar akal sehat saja. Kemelekatan itu membuat orang lupa bersyukur. Tidak mampu melihat hal-hal baik di sekitarnya.

Orang-orang berkata kalau dirinya sudah berbagi, tapi kondisi tetap sama. Tidak kunjung ‘kaya raya’. Karena apa yang mereka bagikan itu bukan sesuatu yang mereka sayangi. Mereka berbagi dengan sesuatu atau barang yang memang mereka tidak suka atau sudah tidak dipakai lagi. Artinya bekas. Sampah.

Kalau barang-barang atau hal-hal yang sungguh-sungguh mereka sayangi itu dibagikan, dilepaskan tanpa pamrih dan tanpa rasa ‘eman’, saya yakin rejeki (berupa apapun) akan datang. Sayangnya, orang cenderung membagikan sesuatu yang bukan disayangi dan tidak butuh upaya. Misalnya ungkapan : ‘Tak doakan saja ya’. Itu cuman omongan saja. Tapi kalau ditanya lebih lanjut, mereka berkilah, ‘lho doa itu penting. Kalau nggak, masalahnya nggak bisa selesai’. Ya lah.. terserah. Sesungguhnya selain doa, mereka bisa memberikan sesuatu yang lain, misalnya waktu, tenaga, dana dan sumbang pikir. Bisa jadi.

Intinya, berbagilah dengan sesuatu yang Anda anggap paling penting. Dulu Nabi Abraham siap mengorbankan anaknya, yang dicintainya, maka Allah langsung menggantinya. Begitu juga kisah Habel yang mempersembahkan korban dengan hewan paling bagus. Allah berkenan pada persembahannya. Beda dengan saudaranya, si Kain, yang memilih hewan paling buruk untuk dipersembahkan. Jelaslah Allah tidak sudi menerima persembahannya.

Ikhlaskan Saja

Suatu kali ada seorang staf saya mengeluh tidak punya uang. Hanya ada uang 2000 rupiah di dompetnya, sehingga dompetnya tampak langsing..hehe… Persediaan uangnya di bank juga menipis. Mengandalkan gaji di kantor, sungguh tidak mungkin. Anaknya masih bayi. Istrinya tidak bekerja karena merawat si bayi.

Teringat dengan pengalaman diri sendiri beberapa waktu sebelumnya, saya anjurkan dia untuk membagikan uang tersisa dalam bentuk makanan ke orang lain.

“Besok pagi, sebelum berangkat ke kantor, kamu beli nasi bungkus dan minumannya. Nggak usah banyak-banyak, cukup 3 nasi bungkus. Lalu kamu bagikan ke siapa saja di jalan, yang kamu anggap butuh makan pagi. Kalau nasi bungkusnya nggak habis, atau kamu nggak mau lakukan ini, besok nggak usah masuk kantor. Konsekuensinya, gajimu saya potong per hari sampai kamu mau lakukan!”. Tegas nian nih saya ini..hahaha… Lha saya khan manager HRD, jadi punya kekuasaan dong. Sesama HRD, dilarang protes ya.

Staf saya tidak berani membantah. Hanya bicara satu kalimat saja, “Bu, saya ini nggak punya uang. Kok malah disuruh beli nasi bungkus? Nggak salah?”. Tidak perlu saya jawab, dengan pelototan mata saja sudah cukup membuatnya diam.

Esoknya dia lakukan persis seperti yang saya tugaskan. Saya tambahkan jumlah nasi bungkusnya, per hari 1 bungkus. Total selama 3 hari berturut-turut. Nggak jelas sebenarnya, staf saya itu percaya penuh dengan saya atau takut…hahaha… Saya bekali juga bagaimana dia harus memberikan makanan itu pada orang lain. Setelah 3 hari, saya hentikan. Sepertinya dia lega deh. Dia kerja seperti biasa.

Tepat 10 hari kemudian, dia menemui saya dengan wajah berseri-seri. “Bu, saya dihubungi teman SMA. Dia minta didesaikan web. Saya dikasih uang muka 10 juta. Kemarin sudah ditransfer, katanya yang 2 juta untuk saya pribadi… Alhamdulillah, Bu…”. Wah, saya ikut senang mendengarnya. Saya hanya pesan agar dia tidak melupakan pekerjaan utamanya di kantor dan tidak boleh menggunakan fasilitas kantor untuk mengerjakan proyek pribadinya itu. Dia setuju dan menepati janjinya. Luar biasa bukan? Kalau ‘berani’ berdagang dengan Tuhan, syaratnya harus ikhlas. Modalnya dikit, tapi imbalannya besar sekali..

Mulailah Berbagi dengan Barang Terbaik

Saya menantang Anda untuk mulai berbagi dengan barang terbaik yang Anda miliki. Eh, jangan salah ya, para Bapak-bapak, barang terbaik itu bukan istri Anda. Ntar para bapak ambil kesempatan dengan bilang kalau istrinya itu yang terbaik…

Sumbangkan baju yang masih bagus, baik, dan layak dipakai. Bukan baju yang sudah sobek-sobek, atau pudar warnanya. Baju seperti itu mendingan dibuat kain lap di rumah. Sumbangkan tas yang masih bisa digunakan, bukan yang rusak kancing atau resletingnya. Mainan anak-anak yang masih bisa dimainkan, bukan yang sudah patah di mana-mana.

Sumbangkan uang terbesar dalam dompet Anda. Eit, jangan pindahkan pecahan uang terbesar ke bawah bantal ya. Tiap kali ke Gereja, atau ke Masjid, ke Vihara, atau ke tempat ibadah lainnya, bila ada persembahan/sedekah, berikan pecahan uang terbesar yang ada di dompet (tidak boleh ngecek dompet sebelum berangkat atau pura-pura lupa bawa dompet ya).

Belilah beberapa nasi bungkus dan minumannya sekalian (Anda khan lebih suka kalau setelah makan, ada minumannya toh? Begitu juga orang lain). Masukkan dalam kantong kresek putih bersih. Bagikan sepanjang jalan dari rumah menuju kantor. Kalau bungkusan itu belum habis, janganlah masuk kantor…hahaha… Tiap hari tambahkan jumlah nasi bungkusnya. Tentukan mau berapa hari, berdasarkan besarkan keterikatan Anda pada uang. Makin terikat, makin lama. Nggak penting jumlahnya, nggak perlu ekstrim. Yang penting konsistensi. Oya, belilah nasi bungkus yang menunya Anda sukai. Ingat! Berbagi dengan apa yang kita sukai, yang kita anggap penting, bukan dengan makanan ‘basi’ atau tidak enak.

Sertai semuanya dengan rasa syukur. Di sisi lain, tetap wajib mengajukan proposal kebutuhan hidup pada Tuhan serinci dan sejelas mungkin. Semoga Tuhan berkenan.

Selamat mencoba!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun