Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kalau Diberi Kesempatan Kedua, Apa Mau Dilakukan?

30 September 2015   00:39 Diperbarui: 30 September 2015   01:14 1826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesempatan kedua untuk apa dulu? Mungkin itu pertanyaan Anda. Kesempatan kedua untuk hidup kembali. Bagaimana? Apa yang mau dilakukan? Bisa dipastikan sebagian besar orang akan menjawab akan berubah hidupnya menjadi lebih baik. Artinya sekarang ini belum menjalani hidup dengan baik? Hehehe...

Saya termasuk manusia yang beruntung karena diberikan kesempatan kedua oleh Tuhan. Sepertinya bukan hanya kedua, tapi ketiga, keempat, dan seterusnya. Huaahh..banyak amat ya. Awalnya saya tidak terlalu memikirkan seperti apa sih saya ingin menjalani hidup ini. Ya, samalah seperti manusia lainnya. Usia muda, karir bagus (tim pendiri F. Psi PTS dan Vice Dean jeh..), penampilan normal, wajah proporsional (jarak antara mata-hidung-mulut pas, nggak kependekan, nggak kepanjangan), kecerdasan lumayan (ya iyalah..lha ngetes sendiri IQ-nya), serasa dunia bisa saya kuasai.. The world is in my hand (kayak slogan handphone aja). Oya, saya perfeksionis habis juga..

Semuanya berubah total ketika tahun 1999 saya mengalami kecelakaan bus. Saat itu saya sedang bertugas mengawal mahasiswa dari luar kota menuju Surabaya bersama rekan dosen lainnya. Bus menabrak pohon besar di pinggir jalan, terguling, berputar sekian derajat, lalu berhenti persis di pinggir jurang! Selama proses tabrakan itu saya mengikutinya. Saya sadar sepenuhnya. Melihat jelas saat bus menabrak pohon, mengikuti gerakan bus terguling dan jatuh ketika bus berputar. Bahu kiri saya patah karena tertimpa papan kayu kaki tiga. Sakitnyaaa.... Ajaibnya, saya tidak luka luar samasekali. Selama itu pula saya masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk berdoa. Ya, berdoa. Sepanjang mengamati tabrakan hingga kami semua keluar dari kaca depan bus, saya masih bisa berdoa. Perasaan tenang dan pasrah seketika melingkupi diri saya. Tahu nggak, saya tidak takut mati. Kata pasrah yang sering saya dengar berupa konsep, saat itu menjelma menjadi realita. Ternyata pasrah itu menyenangkan! Menenangkan. Disaat-saat genting itu, saya sadar, bahwa bukan jabatan yang saya bawa, bukan karir, bukan juga harta yang saya punya. Saya sadar juga bukan sikap perfeksionis yang penting dalam hidup ini. Semuanya hilang..

Titik balik pertama dalam kehidupan saya. Sejak itu saya mencoba mencari tujuan hidup saya. Untuk apa saya hidup dan bagaimana harusnya menjalani hidup ini kalau nanti saat saya mati, semuanya akan hilang? Kenapa Tuhan tidak mengijinkan saya mati dalam kecelakaan bus itu? Jawabannya hanya satu : Hidup Bermakna (Meaningful Life). Usia ini bukan milik kita, kapan tanggal kadaluarsanya pun kita tidak tahu. Maka saya memutuskan menjalani hidup secara lebih sungguh-sungguh. Hidup bertujuan. Agar tidak menyesal dikemudian hari.

Namun manusia itu mudah berubah dan lupa. Saya hidup seperti gaya lama. Rupanya Tuhan tidak menginginkan saya lupa. Peristiwa berikutnya membuat saya kembali pada tujuan hidup bermakna yang sudah saya canangkan. Terperangkap dalam lift dan jatuh dari lantai 5 itu momen kesempatan hidup ketiga (Kado dari Tuhan). Hmm.. hidup memang tidak mudah. Sekali bikin janji dengan Tuhan, bakal diingatkan terus supaya ditepati. Masih ada kesempatan keempat yang diberikan ketika saya selamat dari seretan truk pada motor saya. Waktu itu saya sudah yakin bakal mati beneran, karena motor saya kesangkut dengan ujung truk (besi hiasan bempernya). Ternyata tidak. Uff... Kesempatan hidup lainnya diberikan ketika saya masih tetap bisa bangun setelah beberapa kali operasi. Masih tetap bisa berkarya, masih bisa nulis di Kompasiana..hehe...

Hidup Bermakna

Ada ungkapan favorit saya dari Stephen Covey yang kira-kira bunyinya begini : Eager to learn, to love and to live legacy. Hidup untuk belajar selalu tanpa henti, untuk mencintai kehidupan itu sendiri dan meninggalkan warisan berupa sikap terhadap hidup. Motto yang saya temukan untuk jadi penyemangat.

Ini beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencapai hidup bermakna :

1. Tujuan Hidup

Saya tidak ingin ketika saya mati nanti, orang-orang bilang begini, "Syukurin.. akhirnya mati..". Saya ingin orang-orang bilang, "Naftalia ini pernah mampir dalam hidup saya". Entah mampir itu minta minum, atau sekedar ngobrol, tapi saya ingin bermakna dalam hidup orang lain.

Tanpa tujuan hidup yang jelas, akivitas keseharian tidak bermanfaat. Hampir sebagian besar klien saya tidak punya tujuan hidup sehingga tidak tahu mau berbuat apa ketika ada masalah datang. Seorang klien, pemuda, kaya raya, pendidikan baik, tampang bagus, mengeluh. Ia depresi. Hidupnya hampa, katanya. Dia bercerita sambil menangis bahwa ia ingin mati saja. Haduuuhhh... Ketika saya tanyakan apa tujuan hidupnya, ia menatap saya seolah-olah saya menyuruhnya makan cacing tanah hidup-hidup. "Maksud Ibu?" Lhoo.. ganti saya yang melongo.

Jadi, apa tujuan hidup Anda? Sharingkan ke saya ya, nanti 10 tulisan terbaik akan dapat hadiah dari... Admin!

2. Berpikir akan Mati

Siapa yang tidak mungkin meninggal? Ada nggak ya? Berdasarkan pengalaman berkali-kali bersinggungan dengan maut dan luput, membuat saya selalu berpikir tentang akhir hidup. Sebenarnya yang lebih menakutkan itu bukan kematiannya, tapi bagaimana menjalani hidup ini agar siap menghadapi hari akhir nanti. Berani mati itu biasa. Tapi berani hidup itu luar biasa! 

Ada ungkapan begini : 'Berbuat baiklah hari ini seolah-olah kamu akan mati besok'. Saya paham benar maknanya. Karena saya sudah pernah mengalami. Perjumpaan dengan Malaikat Maut itu tidak bisa direncanakan, ditunda atau dihindari. Siapa yang menyangka kalau sepulang ngajar, saya terjebak di lift dan jatuh? Seorang tetangga saya, satpam pabrik meninggal karena kecelakaan. Dia tertimpa sebuah batu bangunan yang jatuh dari bak truk yang melaju di depannya. Akibatnya motornya terguling, dan bapak satpam tulang punggung keluarga itu meninggal seketika. Batu itu tidak jatuh 1 meter lebih jauh, lebih ke kanan atau ke kiri, tapi persis di atas tubuh tetangga saya itu. Sungguh, maut tidak bisa ditawar.

Karena itu, sebisa mungkin saya berusaha untuk tidak berbuat yang aneh-aneh..hehe.. Saya mikir dulu, apakah tindakan saya bermanfaat tidak. Begitu juga dengan kata-kata. Jangan sampai ketika saya sedang 'memaki-maki' orang lain, trus tiba-tiba dijemput Sang Maut..ihh.. Saya ajarkan juga pada anak-anak saya untuk berusaha selalu 'ngomong yang baik-baik saja', tidak maki-maki, tidak mengumpat, dan hindari bergosip (bayangkan, pas lagi bergosip, nafas berhenti..).

3. Lebih Realistis

Kalau mengikuti keinginan pasti tidak ada akhirnya. Atau mempunyai harapan setinggi gunung, bakalan frustrasi kalau tidak tercapai. Pengalaman mengajarkan saya lebih realistis. Lebih objektif melihat situasi. Kalau memang harus terjadi, ya terjadilah. Bukan berarti saya tidak punya impian, tapi lebih mendekatkan antara impian dan sumber daya yang ada. Tidak berkeinginan berlebihan, misalnya saya tuh inginnya punya Samsung Tab A, eh lha kok lombanya tentang Samsung Galaxy Note 5, ya sudahlah (nggak ada hubungannya deh).

Akibat lebih realistis, saya memandang hidup apa adanya. Ada saatnya gembira, ada saatnya sedih. Ada malam, ada siang. Ada teman baik, ada penipu. Ada lapar, ada kenyang. Ada utang, dan ada saat bayar utang. Hidup itu hanya begitu saja. Yang bikin ruwet bin mumet itu khan keinginan & nafsu. Sudah punya mobil satu, ingin punya 2 tapi tidak punya uang. Lalu kredit. Akhirnya mumet bayar tagihan.

4. Punya Selera Humor

Memandang segala peristiwa dari perspektif humor akan membuat nyaman. Humor membantu kita memiliki persepsi baru terhadap permasalahan sehingga masalah itu tidak terasa berat. Ketika masalah tidak terasa berat, solusi akan datang. Humor di sini bukan lelucon atau tertawa tanpa konteks ya. Kalau hal terakhir itu Anda lakukan, maka Anda perlu konsultasi dengan psikolog terdekat..hehe... Memiliki perspektif baru dan segar dari tiap permasalahan/situasi yang ada merupakan salah satu kunci hidup nyaman.

5. Fokus pada Lingkungan

Suatu masalah akan terasa makin berat kalau terus menerus dipikirkan. Energi psikis untuk memikirkan masalah akan terkuras habis dan efeknya kelelahan psikis. Kalau energi psikis itu dialihkan ke hal lain, maka masalah itu tidak akan terlalu membebani. Saya teringat sebuah judul buku 'Yang Terluka Yang Menyembuhkan'. Hanya orang yang pernah mengalami masalah, sedang menderita yang mampu menolong orang lainnya.

Sewaktu bencana pesawat Air Asia lalu, kami, para psikolog aktif di posko Layanan Psikologi di Juanda dan Polda. Salah seorang rekan sejawat yang bergabung di posko baru saja kehilangan istrinya. Belum genap 40 hari istri tercintanya meninggal dunia, dia bertugas di posko. Saat itu ada keluarga penumpang AA berduka. Rekan saya mendampingi ibu tersebut seharian. Keduanya bisa berbagi rasa duka karena pernah mengalami. Mereka saling mendukung dan menguatkan. Pada akhir hari, ibu itu sudah mampu tersenyum dan rekan saya merasa lebih ringan.

Carilah kegiatan yang bermanfaat, tidak selalu bernilai uang. Misalnya menulis di Kompasiana..haha... Semua orang punya masalah, tapi hanya sedikit orang yang peduli pada orang lain sekalipun dia punya masalah.

Sekian sharing saya. Semoga kita semua bisa menjalani hidup dengan akhir yang baik.

Artikel Lain yang Berkaitan dengan Topik ini :

Kematian dan "Kematian"

Fasilitas Hidup Sebagai Manusia

Ketika Tiba Saatnya Nanti (Puisi)

Mencintai Masa Lalu

Belajar, Berbagi dan Berkarya

Matematika Perbuatan

Sumber Gambar : http://goodlifezen.com/wp-cont

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun