Pada Pasal 12 ayat 1, KHI mengatur peminangan, bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddah-nya. Pada pasal 12 ayat 2, 3 dan 4 menyebutkan larangan peminangan terhadap wanita yang mempunyai karateristik seperti:
a. Â Ayat 2: Wanita yang ditalak oleh suami yang masig berada dalam masa iddah raj'iah haran dan dilarang untuk dipinang.
b. Ayat 3: Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
c. Ayat 4: Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan atau secara diam-diam pria meminang telah menjauhi dan/atau meninggalkan wanita yang dipinang.
Dari pasal tersebut, dapat ditentukan wanita yang termasuk dipinang dalam al quran adalah seperti: wanita yang dipinang bukan istri orang, tidak dipinang dalam keadaan dipinang oleh laki-laki, tidak menjalani massa iddah raj'i, iddah wafat, iddah bain sugra dan kubro.
MAHAR/MASKAWIN
Menurut Pasal 1 huruf d dijelaskan bahwa, mahar merupakan pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, berupa barang, uang dan jasa yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Dalam Pasal 34 KHI, bahwa mahar bukan rukun dalam pelaksanaan perkawinan, melainkan salah satu syarat sahnya hubungan perkawinan antara suami dengan istrinya.
PENCATATAN PERKAWINAN DAN AKTA NIKAH
Meskipun Alquran dan hadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun hal ini sangat penting dilakukan, karena untuk mewujudkan perkawinan masyarkat yang tertib. Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk  menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. Pasal 5 dan 6 Komplikasi Hukum Islam (KHI) mengenai pencatatan perkawinan yang berbunyi:
Pasal 5:
* Agar terjamin ketertiban masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat
* Pencatatanpre
Pasal 6:
* Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
* Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
AKTA NIKAH
Setelah adanya kesepakatan antara pria dan wanita untuk melaksanakan perkawinan, lalu diumumkan oleh pegawai pencatat nikah dan tidak ada keberadaan dari pihak yang terkait dengan rencana, perkawinan dapat dilaksanakan. Dengan memenuhi ketentuan dan tata caranya diatur dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut:
* Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat.
* Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
* Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Jika perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, maga Pegawai Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai hal-hal yang diperlukan.
LARANGAN PERKAWINAN
Larangan perkawinan dalam hukum perkawinan Islam ada dua macam yakni: larangan selama-lamanya terinci Pasal 39 KHI dan sementara Pasal 40 -- 44 KHI.