“lha kamu sendiri mau ngelanjutin kemana Dit?” Tanya Shania.
“papah dipindah tugaskan di Singapura, ya mau enggak mau aku sekeluarga pindah kesana begitu juga dengan kuliahku.” Ucapku.
Tiba-tiba Shania tersedak.
“kamu enggak apa-apa Shan? Minum dulu gih!” ucapku menyodorkan minum.
“makasih Dit.” Jawabnya.
Beberapa menit telah terlewati. Aku mengantarkan Shania pulang karena malam sudah semakin larut.
Sebenarnya aku sulit menerima kenyataan bahwa aku harus pisah denganmu, mungkin hanya waktu yang dapat mempertemukan kita kembali Shan.
Waktu terus berjalan, aku menghempaskan tubuhku di kasur. Sampai kapan rasa ini harus aku pendam, mulut ini tiba-tiba bungkam di depan Shania, satu hal yang paling aku takuti ketika Shania mengucapkan kata “MAAF”.
Hari demi hari, waktu demi waktu telah terlewati. Ujian Nasional pun telah usai. Kini tinggal menunggu hasil kelulusan. Ini yang aku takuti, berpisah dengan kamu, ya kamu yang membuat jantung ini bisa bedegup kencang, kamu yang mampu melelehkan hati ini, kamu yang bisa membuat mata ini terhipnotis walau hanya dengan senyumanmu.
“Dit, hari kamis kita berangkat ke Singapura! Barang-barang mu segera di packing.” Ucap papa dari ruang keluarga.
“lhoh pah Adit kan belum lulusan?” jawabku sambil duduk di sofa samping papah.