Dan, cerita semacam ini bukan hanya dialami teman-temanku, melain banyak lagi para pejuang keluarga, pejuang devisa diluaran sana yang menanggung beban pikiran, bahkan ada sebagian yang mentalnya down sehingga stress dengan berbagai masalah. Kalau ada yang terlihat hura-hura menjadi penghuni club dan mabuk-mabukan itu hanya sebagian dari para migran, karena tidak semua bernasib baik, seperti mereka.
Setelah mengetahui masalah teman-teman yang merasakan kesedihan karena tuntutan,tekanan, aku lebih bersyukur lagi dan lagi, karena tidak dituntut siapapun untuk mencukupi kebutuhan. Bahkan, ibu yang menjadi tanggung jawabku selalu menolak untuk aku jatah setiap bulannya, melainkan menasihati bahwa ada yang lebih berhak menerima selagi aku bisa memberi, ialah; mereka anak yatim,  kaum duapa yang membutuhkan saudara sekitar yang  memang harus dibantu.
Maka, pelajaran yang dapat kita simpulkan, kita ambil adalah jangan kalian yang punya istri, anak, suami, orang tua, yang lagi berjuang merantau di negeri orang, hanya mengharap bisa mencukupi kebutuhan, tapi, tolong luangkan waktu kalian untuk memberi perhatian, semangat, menanyakan bagaimana keadaanya, perasaan hatinya, jadilah  tempat nyaman untuk sekadar meringankan pikiranya. Dan, jangan melihat menterengnya kesuksesan seseorang saja. Lihatlah juga bagaimana perjuangannya hingga mencapai ke titik itu. Dan jadikan tamparan, bahwa semua para Migran yang bekerja keras untuk kehidupannya yang lebih baik.
Taiwan, 30 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H