"Ir, aya naon jenk, wajah kelihatan lesu? kamu baik-baik saja kan?"tanyaku dengan nada berbisik.
"Hemmmmm, jawabnya begitu singkat."Dan, kulihat rinai dari matanya merambas membasuh pipinya yang tirus.
"Ir, please! Ceritakan apa yang mengganjal di hati, jangan kamu pendam sendiri, berbagilah, sini aku akan menjadi pendengar yang baik,"rayuku.
Tanpa kusadari, Ais, ternyata memperhatikan percakapanku dengan Irma. Aku terima satu pesan masuk ke Watshapku, dengan pesannya yang alay. pesan itu dari Ais.
"Nadyaaaaaaaaaa! Irma kenapa?"
Kuabaikan pesan singkat itu, dan hanya menoleh kearahnya sembari tersenyum. Aku lanjutkan mendengarkan cerita Irma yang terbata-bata, betapa terperanjatnya aku, ternyata selama ini Irma menyimpan beban berat, kita sebagai teman dekat tak peka atas apa yang dirasakan. Sungguh semua diluar dugaan. Kesedihan yang dirasakan memaksaku ikut bersedih dan menangis, karena andai itu terjadi padaku belum tentu aku bisa kuat menyimpan bertahun-tahun. Tekanan, dari keluarga yang mengharuskan mengirim biaya kehidupan orang tua dan adiknya, belum lagi pasien yang di jaga sering marah-marah tak jelas menghancurkan harapan dan asanya. Padahal keinginan Irma hanya perhatian dari keluarganya, dengan menanyakan keadaanya, baik atau tidak, sudah makan atau belum? itu menjadi semangat untuk menjalani kehidupannya di rantau. Bukan, hanya dinanti gajinya untuk direncanakan membeli ini, itu.
Isak tangis yang tak terbendung, akhirnya tak luput, terdengar oleh Ais yang sedari tadi memperhatikan kami yang sedang  duduk berdua. Ais, pun beranjak dari tempat dan menghampiri Irma  yang tersedu-sedu. Sedang Ima dan Lissa masih terlihat  asiiik menikmati rujak dan sisa kerupuk miskin yang tinggal remahan.
Ais, dengan sigap memeluk Irma mencoba menenangkan, tanpa sepatah kata pertanyaan. Meski aku tahu dalam hatinya bertanya-tanya apa yang terjadi sehingga Irma air matanya tak henti mengalir.
Ima, yang tanpa sengaja menoleh ke arah kami pun menjadi panik, segera berlari menghampiri, Lissa pun tak kalah terkejut melihat Ais, Ima dan Irma berpelukan. Aku sembari menatap kearah Lissa memberi isyarat untuk ikut berpelukan.
Aku pejamkan mata, dan menghela napas panjang, sembari berpelukan erat.
Dan, berkata pada Irma, bahwa dia tidak sendiri ada kami teman yang siap menjadi tempat keluh kesah. Menyemangati agar lekas bangkit dari kesedihan.
Ternyata hal itu pun serupa dialami  Ima. Wajahnya yang selalu ceria hanya semata untuk menghibur diri sendiri. Dia yang harus berjuang sendiri, setelah diceraikan suaminya, menjadi tulang punggung anak gadis semata wayangnya, juga orang tuanya, bahkan harus membantu anak saudaranya yang berkebutuhan khusus, bedanya Ima tidak ditekan harus mengikuti aturan.