Kisah Para  Migran
#PerempuanKopi
Sejenak kunikmati waktu senggangku, duduk di kursi sembari membiarkan Sepoi angin berembus menerpa rambutku. Tetapi, nada dering ponselku yang sudah kusetting lirik Sial, sungguh! sungguh mengagetkanku. Sehingga membuat berantakan  lamunanku. Segera kuraih ponselku yang di atas meja, tak kuragukan lagi seperti dugaanku, pasti  yang menghubungiku, Irma.
"Hall..., Â sebelum kulanjutkan menjawab, suara Irma yang lembut dari dalam ponsel, ia, lebih dulu bertanya; Dy, bisa keluar gak, nanti sore?"
"Bisa, ada apa sih? jawabku ketus."
"Okay! Kita ketemuan di tempat basket, ya?"sahutnya, sembari menutup percakapan.
Segera kukabarkan ke teman-teman lewat watshap grup, kalau kita sore nanti keluar di tempat biasa.
Sore ini suasana mendukung, hawa yang redup, mata hari tidak terik membuat perjalanan tanpa keringat.
Terlihat, Ais, Ima, dan Lissa begitu asiiik saling  mengobrol, sembari mendorong kursi roda pasien mereka masing-masing. Kulambaikan tangan mengisyaratkan aku dan Irma sudah menunggu.
Berkumpullah kita, dengan berbagai kehebohan, saling berbagi makanan apa yang kita bawa masing-masing. Ada rujak buah, ada minuman kotak, ada kerupuk sambal. Bahkan tak ketinggalan sekotak mika mie goreng Indomie buatan Ima, yang super pedas dan enak sekali karena berlimpah toping.
Tapi, kegembiraan, euforia itu tidak terlihat di wajah Irma, melainkan muram durja, matanya yang sayu dan lipatan bibirnya yang terkunci, seolah tertekan pikiranya. Sedikit aku bergeser mendekat menghampiri Irma yang termangu sembari memegang sekotak minuman yang hanya dilihatin.
"Ir, aya naon jenk, wajah kelihatan lesu? kamu baik-baik saja kan?"tanyaku dengan nada berbisik.
"Hemmmmm, jawabnya begitu singkat."Dan, kulihat rinai dari matanya merambas membasuh pipinya yang tirus.
"Ir, please! Ceritakan apa yang mengganjal di hati, jangan kamu pendam sendiri, berbagilah, sini aku akan menjadi pendengar yang baik,"rayuku.
Tanpa kusadari, Ais, ternyata memperhatikan percakapanku dengan Irma. Aku terima satu pesan masuk ke Watshapku, dengan pesannya yang alay. pesan itu dari Ais.
"Nadyaaaaaaaaaa! Irma kenapa?"
Kuabaikan pesan singkat itu, dan hanya menoleh kearahnya sembari tersenyum. Aku lanjutkan mendengarkan cerita Irma yang terbata-bata, betapa terperanjatnya aku, ternyata selama ini Irma menyimpan beban berat, kita sebagai teman dekat tak peka atas apa yang dirasakan. Sungguh semua diluar dugaan. Kesedihan yang dirasakan memaksaku ikut bersedih dan menangis, karena andai itu terjadi padaku belum tentu aku bisa kuat menyimpan bertahun-tahun. Tekanan, dari keluarga yang mengharuskan mengirim biaya kehidupan orang tua dan adiknya, belum lagi pasien yang di jaga sering marah-marah tak jelas menghancurkan harapan dan asanya. Padahal keinginan Irma hanya perhatian dari keluarganya, dengan menanyakan keadaanya, baik atau tidak, sudah makan atau belum? itu menjadi semangat untuk menjalani kehidupannya di rantau. Bukan, hanya dinanti gajinya untuk direncanakan membeli ini, itu.
Isak tangis yang tak terbendung, akhirnya tak luput, terdengar oleh Ais yang sedari tadi memperhatikan kami yang sedang  duduk berdua. Ais, pun beranjak dari tempat dan menghampiri Irma  yang tersedu-sedu. Sedang Ima dan Lissa masih terlihat  asiiik menikmati rujak dan sisa kerupuk miskin yang tinggal remahan.
Ais, dengan sigap memeluk Irma mencoba menenangkan, tanpa sepatah kata pertanyaan. Meski aku tahu dalam hatinya bertanya-tanya apa yang terjadi sehingga Irma air matanya tak henti mengalir.
Ima, yang tanpa sengaja menoleh ke arah kami pun menjadi panik, segera berlari menghampiri, Lissa pun tak kalah terkejut melihat Ais, Ima dan Irma berpelukan. Aku sembari menatap kearah Lissa memberi isyarat untuk ikut berpelukan.
Aku pejamkan mata, dan menghela napas panjang, sembari berpelukan erat.
Dan, berkata pada Irma, bahwa dia tidak sendiri ada kami teman yang siap menjadi tempat keluh kesah. Menyemangati agar lekas bangkit dari kesedihan.
Ternyata hal itu pun serupa dialami  Ima. Wajahnya yang selalu ceria hanya semata untuk menghibur diri sendiri. Dia yang harus berjuang sendiri, setelah diceraikan suaminya, menjadi tulang punggung anak gadis semata wayangnya, juga orang tuanya, bahkan harus membantu anak saudaranya yang berkebutuhan khusus, bedanya Ima tidak ditekan harus mengikuti aturan.
Dan, cerita semacam ini bukan hanya dialami teman-temanku, melain banyak lagi para pejuang keluarga, pejuang devisa diluaran sana yang menanggung beban pikiran, bahkan ada sebagian yang mentalnya down sehingga stress dengan berbagai masalah. Kalau ada yang terlihat hura-hura menjadi penghuni club dan mabuk-mabukan itu hanya sebagian dari para migran, karena tidak semua bernasib baik, seperti mereka.
Setelah mengetahui masalah teman-teman yang merasakan kesedihan karena tuntutan,tekanan, aku lebih bersyukur lagi dan lagi, karena tidak dituntut siapapun untuk mencukupi kebutuhan. Bahkan, ibu yang menjadi tanggung jawabku selalu menolak untuk aku jatah setiap bulannya, melainkan menasihati bahwa ada yang lebih berhak menerima selagi aku bisa memberi, ialah; mereka anak yatim,  kaum duapa yang membutuhkan saudara sekitar yang  memang harus dibantu.
Maka, pelajaran yang dapat kita simpulkan, kita ambil adalah jangan kalian yang punya istri, anak, suami, orang tua, yang lagi berjuang merantau di negeri orang, hanya mengharap bisa mencukupi kebutuhan, tapi, tolong luangkan waktu kalian untuk memberi perhatian, semangat, menanyakan bagaimana keadaanya, perasaan hatinya, jadilah  tempat nyaman untuk sekadar meringankan pikiranya. Dan, jangan melihat menterengnya kesuksesan seseorang saja. Lihatlah juga bagaimana perjuangannya hingga mencapai ke titik itu. Dan jadikan tamparan, bahwa semua para Migran yang bekerja keras untuk kehidupannya yang lebih baik.
Taiwan, 30 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H