Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Sebuah Musim yang Hilang

1 Desember 2019   16:20 Diperbarui: 2 Desember 2019   06:02 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vincent van Gogh, The Starry Night (1889) on mutualart.com

"Penolakan-penolakan cinta, kegagalan-kegagalan mewujudkan bahagia telah membawa sang pelukis insanity depresi dalam jiwa penuh perih. Sehingga berapa kali mencoba bunuh diri. Kejadian memotong satu telinganya. Hingga pada akhirnya Van Gogh mengakhiri hidupnya.    Beberapa mengatakan tertembak dan beberapa memberitakan menembak diri.

Hingga berujung pada kematiannya. Setelah itu lukisannya banyak diburu orang, mengalami masa keemasan justru ketika dia telah tiada. Ketertegunan dan keharuan dunia atas kisahnya, sehingga membuat musisi Don McLean menggubah lagu untuknya."

Iya. Lagu yang hits di era 1970-an di Inggris dan sekitarnya, juga di Amerika. Ya, lagu ini lagu yang begitu kau gilai. Terbayang percakapan di awal pertemuan dan perkenalan kita.

Di latari lagu tua kegemaranmu itu. Sorot matamu dalam, dingin, dan muram. Seperti baik arwah sang pelukis maupun kekuatan magis lagu itu yang menghanyutkanmu menjadi pribadi yang penuh misteri. Lelah mengisimu dari mengurai kisah sangat pilu. Sungguh gelapnya bayangan, meski senyuman tetap kau ulas dalam paksaan.

Penolakan cinta yang begitu besar dalam hidupmu. Kekecewaan mendalam mendapati dia, perempuan yang menolakmu itu melenggang bersama ia, lelaki yang kau tahu berperangai sangat buruk. Kemudian kehidupan perkawinan kita yang tak lain dari lajumu berpelampiasan. Pengalihan perasaanmu darinya kepadaku.

Aku yang kau tahu sangat mengagumimu dari sejak pertama bertemu. Aku yang sangat mendambakanmu dengan kebesaran cintaku sepanjang program belajarku pada seni lukis. Kebersamaan kita sebagai guru dan murid yang kemudian kita bungkus dalam suatu ikatan agung, pernikahan. Bersama mengarungi bahtera seni di sebuah negeri rupawan di benua lain yang selalu kau sebut sebagai negeri bayangan.

Engkau yang mendatangiku demi mengalihkan luka cintamu. Engkau tak bisa menggapai dia. Engkau mengkhawatirkan dia dari ia yang mendapatkannya. Kesemua itu yang menanggungkan penderitaan bagimu. Kekecewaan, kehancuran, atasnya. Juga rasa bersalah karena tak juga sungguh bisa mencintaiku sebagaimana mestinya.

Semakin berkobar rasa bersalahmu manakala karena sebuah salah-paham, dia dihabisi oleh besarnya kecemburuan ia yang menuduh dia dan engkau telah melakukan pengkhianatan atas sebuah pertemuan kalian yang didapati ia. Dia wanita pujaan hidupmu tewas tragis di tangan ia di hadapanmu tanpa berhasil kau hindarkan. Terlebih oleh sebabmu sendiri. Rasa bersalah yang amat besar dan mendalam menyeretmu pada keterguncangan. Tragedi hitam itu begitu keras menghantam benteng pertahanan jiwamu. Sehancur reruntuhan yang melahirkan sunyi. Tak ada lagi sisa-sisa jiwa. Telah mati di sepanjang waktu kita. Engkau dan ia yang berkebalikan namun sepelataran rubuhnya jiwa. Ia yang meraung dalam rusaknya. Sementara engkau berkelung sunyi, hancur tergerus, mati suara.

Mendapatkan dan memperoleh adalah sama-sama sebuah pintu untukmu dan ia menuju kehilangan. Begitupun penerimaanku adalah tak lain dari lubang-lubang penantian tak terjelaskan ukuran. Salah dan dosa bagai bayangan jiwa cinta yang meruap, meraup keadaan. Melukis kenyataan. Menjelaskan, betapa kematian sesungguhnya selalu mengalungi setiap hembusan nafas. Juga tentang ikatan yang tak sungguh mampu menjerat hati, mengatur perasaan, mendadani jiwa dari runcingnya kebebasan.

Pernikahan kita tak serta-merta mengikat hatimu pada hatiku dari hatinya. Pernikahan mereka tak serta-merta membuat ia yakin telah memiliki dia tanpa bayang-bayang kehadiranmu yang terus mendambanya.

Harus bagaimana lagi aku melukiskanmu kini? Kekasih. Guru kehidupanku. Tak lagi ada pewarna atau pemulas yang berkendaraan kuas. Sebab, darahku telah tuntas dalam masih mengaliriku nafas. Aromamu akan selamanya tinggal, sehingga pastilah nafasku selamanya tersengal. Sebagaimana untaian kisah itu mengisi bilik-bilik ingatan yang terpenggal, nyalang terpental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun