Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Sebuah Musim yang Hilang

1 Desember 2019   16:20 Diperbarui: 2 Desember 2019   06:02 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vincent van Gogh, The Starry Night (1889) on mutualart.com

"Setelah ini aku pasti akan sangat merindukanmu" peluhmu membenamkanku dalam lelah yang paling indah. Sehingga lelapku begitu menggantung. Percintaan di ambang sadar. Matimu yang bangkit. Nafasku yang terhimpit. Tak sempat segala tanya menjerit. Jawabanpun hanya melintas, hadir seketika lalu pergi tak sempat pamit.

Tersentak kembali aku mengingat semua itu. Bagaimana dalam semalam semua berubah. Engkau dan aku bukan lagi diri kita di hari-hari sebelumnya. Kau tiba-tiba sembuh dari lumpuhmu. Bangkit dari jiwamu yang rubuh. Hilang, berakhir, ataukah bermula kembali? Bergegas aku mencarimu, kekasih, di mana? Namun langkahku terhenti di ruang tengah.

Sebuah lukisan menatapku gundah. Lubang gelap menyedot jiwaku lenyap dari sebuah bahasa nganganya luka. Mencegat nafasku seketika. Rasaku mati. Hidupku berhenti. Dalam kanvas itu bicara, engkau yang terhisap hamparan ombak yang bergulung. Dari gelombang tinggi yang menjemputmu siap mengulum dalam utuh.

Sementara aku mengejarmu dalam terlambat. Seolah jarak tak pernah teraih seberapa banyakpun langkah kakiku mengayuh. Langit memayungi dalam gurat pekat. Samudera itu tetap menelanmu penuh rindu. Aku tak lagi mendapati airmata mengikuti rasaku. Tangisku terlalu penuh, hingga yang ada hanya kelu. Langkah kakiku berlari tak terperi, namun sesungguhnya hanya kesadaran yang terpaku. 'Di mana kamu? Dan lukisanmu ini, apa?

Benar, bahwa hari ini musim telah benar-benar hilang. Bukanlah musim yang bertahun ini aku harapkan untukmu bangun dari tumbang. Sebuah musim yang melenggang. Entah berhenti, bermula ataukah berganti? Kita telah saling melepaskan, demi ketakutan akan rasa kehilangan yang tak pernah sungguh ada menghampiri di hamparan kenyataan.
Tiba-tiba, aku teringat sebuah lagu. Seketika terngiang di pendengaranku tanpa nyata suara. Syairnya mengabarkan cerita. Kisah seorang pelukis insanity yang mati bunuh diri.

"Ini lagu kegemaran saya. Lagu yang didedikasikan untuk Vincent van Gogh" Ya aku tahu. Seorang pelukis aliran ekspresionisme. Aliran pasca-impresionisme Belanda. Kematiannya tragis dalam kondisi sakit jiwa membuat lukisan-lukisannya menjadi karya seni yang terbaik, paling terkenal, dan mahal, tapi justru karena ia sudah tak ada.

Van Gogh dianggap sebagai salah satu pelukis terbesar dalam sejarah seni Eropa justru setelah atau karena kematianya. Dia si pelukis skizofrenia yang menjelang akhir hidupnya tinggal di sebuah rumah sakit jiwa karena kehancuran jiwanya oleh penolakan-penolakan cinta serta karya-karyanya yang tak tergubris sebelumnya. Artis lukis insanity itu akhirnya menyudahi nafasnya, memangkas pendek perjalanan hidupnya. Ataukah memang naskah hidupnya begitu. Tewas menembak diri ataukah tertembak. Yang jelas kau mengagumi penderitaan serta jalannya menuju mati.

Lagu itu terngiang kembali.

 Ya, diiringi lagu itu. Lagu Vincent. Lagu tua yang terasa sangat dalam maknanya bagimu dalam ketika itu yang entah. Engkau pernah menceritakan kisah itu ketika pertama kali kita bertemu dan saling mengenal sebagai seorang murid dan guru lukisnya, pada musim gugur pertamaku di sebuah negeri di mana musim banyak berganti. Wahai engkau, seorang lelaki sepi pada permukaan diri.

Kisah pelukis insane yang akhirnya suicide, begitu membekas dalam pengamatan dan penghayatanmu. Perjalanan hidup penuh badai Vincent van Gogh yang kemudian diabadikan pada sebuah lagu berjudul nama itu sendiri, Vincent.

Dan ternyata, pada akhirnya engkau sendirilah kisah itu.
Engkau kudapati berakhir dengan menembak diri di ladang bunga, setelah membuat karya untuk terakhir kali, sebuah lukisan kematian. Engkaulah kisah itu sendiri, kini, duhai kekasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun