Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Sebuah Musim yang Hilang

1 Desember 2019   16:20 Diperbarui: 2 Desember 2019   06:02 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vincent van Gogh, The Starry Night (1889) on mutualart.com

Manalah kutahu sikap daripada waktu. Menukik ataukah menanjak? Berlari ataukah terengah merangkak? Kali ini terasa dunia memberengutku beda. Betapa alam telah mengkhianatiku saat ini. Lihatlah, aku terlambat bangun. Aku mendapati sinar matahari sudah hampir penuh dan meninggi. Bangunku sungguh kesiangan kali ini.

Seperti tidur yang diberatkan mabuk anggur. Tetapi sesungguhnyalah mabuk yang melebihi keindahan puisi atau apapun yang bisa melukisi. Sehingga segenap kesadaranku gugur. Membuat malam yang baru saja tandas telah melumpuhkanku sehingga alarm waktuku tak berfungsi kali ini.

Kudapati tubuhku masih polos dalam balutan selimut. Aroma tubuhmu yang tertinggal. Tetapi, justru di sini aku terkesiap. Seperti mimpi yang membawaku terpental. 'Kamu. Di mana berada? Tak kudapati di sampingku, di sisiku terbaring seperti biasanya. Apakah sekedar mimpi, semalam yang kualami? Namun tidak. Semuanya nyata. Sebab bangunku terlambat. Dan tak lagi kudapati engkau di sampingku dalam lelap atau terbangun menatap atap.

Bergegas aku bangkit merapihkan diri. Tentunya rutinitas mengelap-menyeka tubuhmu dengan air hangat setiap pagi dan mengajakmu berjemur sinar matahari telah terlambat. Cemas tentu menghias. Namun tak urung mataku tertumbuk pada sesuatu di meja sudut kamar, setangkai mawar merah, segar.

"Sungguh aku malu, sebab telah membiarkan waktu berlalu dari besarnya cintamu" selembar surat, sebuah kalimat singkat mencucuk perasaan. Sekelebat getar menjalar. Mencoba menguarkan kabar. Meruapkan lisut penjelasan, bahwa bahagia begitu menyatu dengan derita, seperti seikat misteri nan memburamkan pandangan kenyataan. Semakin langut rasaku ingin segera mendapatimu. Debar ini begitu memburu. Degubku berdengung menjauh.

Bahwa hari ini segala catatan kita tentang hari-hari sebelum ini telah poranda. Perubahan yang tak pernah terlintaskan. Debarku semakin menjalar, seperti ingin menghajar. Degubku semakin menguat, segala pandangan memburam menuju pekat.

Simpul-simpul penjelasan lesat di kepalaku. Ketibaan ini mengingatkan akan keterkejutanku yang tak bisa kuhindarkan dalam semalam. Sebuah keadaan menjulangkan kenyataan asing yang tak sempat bisa kutanyakan. Isyarat yang kelambu ataukah kelabu? Firasat yang tak terunggah dalam ungkapan alamat di kemudian. Bagaimana mata yang mati itu hidup kembali.

Menyorot membicarakan bahasa rasa yang bangkit. Bagaimana garis bibir datar itu mampu menarik lekuk di kedua sudutnya lagi, menjelaskan senyuman. Telah sanggup meringkas ataukah meringkus bibirku dalam kehangatan paling lembut. Dan tangan-tangan diam itu telah beranjak bicara. Menyentuh menggetarkan tubuhku menjadi, kita.

"Aku sangat merindukanmu" engkau meraihku, merengkuhku, tak menyisakan lagi jarak. Sungguh sekali lagi bukan mabuk anggur. Tetapi melebihi itu. Sesuatu baur, sebuah lebur.

Menumbangkan segala kesadaran. Membekapkan segala pertanyaan. Mengaburkan segala pemikiran. Bahwa keadaan telah mendatangiku paksa yang indah. Dalam gagapnya tak siap. Dalam buncahnya harap.

"Jangan lagi memilikiku, agar kau tak pernah kehilangan. Barangkali ini saatnya untuk kita saling melepaskan dalam utuhnya ikatan" nafasmu telah menjadi nafasku, sehingga malam tumpah dengan sangat penuh. Bungah. Sebegitu hidupnya rasa sehingga tak lagi bisa kubedakan warna hidup dan kematian. Percintaan yang terlalu indah itu sesungguhnya mendenyutkan lagi-lagi kesuraman. Seperti alamat pekat yang tak terjabarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun