Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Sebuah Musim yang Hilang

1 Desember 2019   16:20 Diperbarui: 2 Desember 2019   06:02 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vincent van Gogh, The Starry Night (1889) on mutualart.com

                                    ***

"Sampai kapan engkau sesunyi ini kekasih? Sementara ada orang lain yang meraung menangisi dia. Engkau yang diam karena tak mendapatkannya. Sementara ia meraung-raung karena telah mengerti bagaimana memperolehnya" matamu nanar. Merunut kisah dalam samar. Tentang pupusnya harapan bahagia cinta. Menorehkan rasa jatuh. Betapa hidup sia-sia kehilangan segala makna dan tertutupnya guna.

Betapa manusia menderita atas hal yang didapatkan dan hal yang tidak diperoleh. Isi daripada hati itu bisa tumpah sekaligus bisa beku tak terkuak ke permukaan. Sepanjang musim hidupmu setelah itu, diam. Dibisukan kata, dikaburkan bahasa. Bahkan ketika musim itu    menghilang, dan musim lainnya menggantikan.

Kegelisahanmu yang beku dilembutkan cairan-cairan penenang. Lemah tubuhmu harus disokong penguat dan vitamin penyemangat. Sebab redupmu berkarat. Seperti sebuah tidur yang dilupakan bangun atas wajah peristiwa yang pekat.

Begitupun dengan ia, yang semenjak itu pula, sepanjang terjaga akan terus meraung menangisi dia dalam riuhnya rasa luka yang tumpah, kemarahan yang tak berarah. Histerisnya baru akan reda apabila terlelap. Juga oleh cairan penenang yang disuntikan. Dan akan kembali gentar dalam gerahnya jiwa manakala ia kembali terjaga dan merusak segala yang ada.

"Aku menginginkanmu, tetapi engkau hanya menginginkannya. Dia yang tak pernah sungguh melihatmu ada. Tidakkah kau lelah diam begitu?" Aku menyeka keringat dinginmu. Butir-butir itu bahasa yang beku. Barangkali iya, aku tak pernah ada bagimu. Sebagaimana dirimu yang tak pernah terasa ada baginya. Dia yang tak teraih itu. Betapa isi hati kerap dirumitkan oleh karena buntu dalam bertujuan.

"Sementara ia yang kebalikanmu menjadi seperti itu ketika telah mendapatkan dia. Memperoleh dia. Bahwa cinta dia yang pembahagia itu ternyata pecah tak hanya untuk ia. Dan kamu, mencintainya utuh yang tak pernah disadarinya nyata dalam bentuk. Tidakkah kau terima kenyataan itu?! Engkau dan ia sama-sama mencintai dia dan sama-sama menderita. Sementara aku?! Mengejarmu yang terus berlari meski engkau dalam pelukanku setiap hari"

Aku menyuapimu. Sambil bersiap untukmu berjemur di sinaran matahari pagi. Setelah sebelumnya menyeka tubuhmu sebagai pengganti mandi. Tubuhmu yang semakin kurus dimakan asa yang tergerus. Engkau masih tetap sepi. Seakan suaramu telah lama tak berlaku lagi. Matamu menatap pada tak sungguh di sana. 

Sebuah jauh yang tak terukurkan jarak nyata. Sebuah kosong yang meluas memburamkan lintas. Hanya ngilu apabila beranjak kukitarinya.          Makanmu, seperti biasa, hanya sedikit saja. Meskipun menu masakan setiap harinya kurubah kupadu-padan sebaik-baiknya agar menggugah selera. Kuusap wajahmu, membersihkan sebutir nasi yang tersisa di pipi. Tirus wajahmu membenamkan kisah. Dalam, gelap dan perih.

"Istirahatlah kekasih. Nanti sore dokter akan datang untuk memeriksamu kembali. Obat dan vitaminmu telah habis" kupijat sedikit telapak kaki hingga betismu. Keperkasaan yang telah lama tumbang. Sebuah runtuh.

Sementara ia di sana, sedang meraung dan dilumpuhkan oleh orang-orang di sekitarnya, di sebuah rumah sakit jiwa, setelah hakim memutuskan bahwa ia mengalami gangguan kejiwaan, sering mengalami halusinasi dan delusi hingga meyakini dia si wanita itu berkhianat cinta dan akhirnya tewas di tangan ia. Wanita yang ia dapatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun