Tentu tidak mengenakkan mendapat respon seperti itu.
Kamu akhirnya memutuskan menceritakan kesedihan mu itu ke Ibu-mu, lalu dibalas dengan “Ya sudah. Ayo cepat direvisi agar bisa wisuda semester ini ya, Nak.”
Berharap hati dan pikiran bisa lebih tenang setelah curhat ke Ibu, malah jadi tertekan dengan pesan tersirat darinya.
Lalu muncul pikiran, “Memang tersiksa jadi aku. Tidak ada yang peduli dengan penderitaan aku. Tidak ada yang mau mendengarkanku dan mendukungku.” Kemudian kamu menangis seminggu dalam kamar, alhasil skripsimu tidak tersentuh. Menurut Marcus Aurelius, itu bukan respon yang tepat.
Nah inilah poin utama dari kalimat Marcus Aurelius tersebut. Kita tidak bisa mengharapkan orang lain untuk menegakkan atau membangkitkan kita. Kita tidak boleh menggantungkan keterbangkitan dan kebahagiaan kita pada support dari orang lain. Bukan tugas orang lain untuk menghapuskan kesedihan dan kemurungan kita, melainkan tugas diri kita sendiri.
Jika mengambil contoh lain dengan kasus yang berbeda, maka akan maksud kalimat ini akan semakin jelas. Kamu mungkin punya teman atau mengenal seseorang yang sering sedih dan menangis padahal seluruh teman maupun keluarganya selalu ada dan menghiburnya. Namun mengapa sedihnya tidak kunjung selesai? Itu karena dia sendiri yang memilih tenggelam dalam sedihnya itu dan tidak berniat diri untuk bangkit sama sekali.
Percayalah, kata-kata orang seperti:
“Kamu pasti bisa aku yakin kamu bisa…”
“Aku sangat yakin bahwa kamu bisa melakukan semuanya dengan baik.”
Atau bahkan perkataan orang seperti:
“Kamu payah dan tidak akan berhasil.”