Sentuhannya seperti bisikan sedingin es, namun di dalamnya, Kanaya merasakan percikan pengakuan. Air mata mulai jatuh di wajahnya, campuran kesedihan dan kelegaan menguasai dirinya.
-Itu kamu? —dia bertanya, suaranya pecah.
Sosok itu menurunkan tudungnya perlahan, memperlihatkan wajah yang tidak akan pernah dilupakan Ana. Itu adalah Hans, tapi bukan Hans yang dikenalnya. Kulitnya pucat, matanya gelap, kusam, seakan-akan nyawanya telah dicabut darinya.
"Aku mencarimu..." bisik Hans, dengan suara yang sepertinya datang dari suatu tempat yang jauh, seolah dia berbicara dari dunia lain. Kita berjanji tidak akan pernah berpisah... Namun kini aku terjebak di sini... Antara hidup dan mati.
Kanaya memandangnya, hatinya hancur berkeping-keping. Aku ingin memeluknya, memberitahunya bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi aku tahu tidak ada jalan untuk kembali. Hans bukan lagi milik dunia ini.
"Aku tidak bisa pergi tanpamu," lanjutnya, dengan rasa sakit yang sangat terasa. Setiap malam, aku kembali ke sini, menunggumu datang, agar kita bisa bersama lagi.
Kanaya merasakan hawa dingin menyelimuti dirinya, udara menjadi berat. Dia tahu apa yang diminta Hans darinya. Dia ingin dia menemaninya ke sisi lain, untuk bergabung dengannya dalam kematian. Cintanya pada pria itu begitu kuat sehingga untuk sesaat, dia mempertimbangkan untuk melakukannya. Pegang tangannya, biarkan dirimu terbawa bayang-bayang, dan bersamanya selamanya.
Namun sesuatu dalam dirinya menghentikannya. Percikan kecil kehidupan, keinginan untuk maju, untuk hidup, meski hanya dengan kenangan Hans.
"Aku tidak bisa, Hans," katanya dengan hati yang hancur. Saya tidak bisa mengikuti Anda.
Wajah Hans berubah menjadi ekspresi kesedihan yang mendalam. Perlahan, dia melepaskan tangannya dari pipi Kanaya, dan rasa dingin di sekitarnya tampak semakin meningkat.
"Aku akan selalu mencintaimu," bisiknya, sebelum mundur ke dalam kegelapan.