Di bawah langit tanpa bintang Kanaya sudah mendengar tentang jembatan tua itu sejak dia masih kecil. Itu adalah tempat yang tidak berani dikunjungi siapa pun setelah matahari terbenam. Legenda mengatakan bahwa setiap malam tanpa bintang, sesosok tubuh yang mengenakan bayangan berjalan di jembatan, menunggu seseorang yang tidak akan pernah tiba. Meskipun seluruh penduduk kota menghindari tempat itu, Kanaya selalu merasakan ketertarikan yang aneh terhadap tempat itu, seolah-olah ada sesuatu di tempat itu yang berhubungan dengan kehidupannya sendiri.
Sudah setahun sejak Hans, cinta dalam hidupnya, menghilang. Mereka bertemu di kota ketika mereka masih remaja, dan sejak saat itu, kehidupan mereka saling terkait. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam bersama di bawah langit, saling menjanjikan cinta abadi, selalu memimpikan masa depan di mana mereka tidak akan pernah terpisah. Namun suatu hari, Hans pergi. Dia berangkat lebih awal untuk perjalanan kerja dan tidak pernah kembali. Tidak ada panggilan, tidak ada jejak, tidak ada satu pun petunjuk tentang apa yang terjadi padanya.
Kanaya telah mencoba untuk move on, namun ketidakpastian menguasai dirinya. Hari demi hari berlalu, hatinya dipenuhi kehampaan yang gelap, seolah bayang-bayang jembatan yang sangat ia takuti sedang menjangkau dirinya. Rumah mereka yang dulunya penuh tawa dan mimpi bersama, kini menjadi surga kesunyian.
Suatu malam, tanpa mengetahui alasannya, dia memutuskan untuk pergi ke jembatan. Saat itu malam tanpa bulan, langit bagaikan kanvas hitam tak berujung. Bintang-bintang, yang tersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan dunia dalam kegelapan total. Angin dingin menerobos pepohonan, membisikkan kata-kata yang Kanaya tidak mengerti, tapi sepertinya itu memanggilnya.
Saat kami sampai di jembatan, udara terasa semakin tebal. Setiap langkah bergema di atas kayu tua yang berderit, dan suara sungai di bawahnya nyaris tak terdengar seperti gumaman. Dia berhenti di tengah jembatan, tempat di mana menurut legenda sosok itu muncul. Kesedihan di hatinya seakan menyatu dengan kegelapan yang menyelimutinya.
"Hans..." bisik Ana, suaranya pecah. Kamu ada di mana?
Angin berhenti bertiup. Seluruh dunia seakan berhenti pada saat itu. Dan kemudian dia melihatnya. Sesosok tubuh tinggi kurus berpakaian hitam muncul di ujung jembatan. Wajahnya tertutup bayangan tudung, tapi Kanaya bisa merasakan tatapan tajam ke arahnya.
Teror seharusnya melumpuhkannya, tetapi bukannya melarikan diri, dia malah merasakan ketenangan yang aneh. Ada sesuatu yang familiar pada sosok itu. Cara dia bergerak, lambat tapi tegas. Jantung Kanaya mulai berdetak lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena harapan.
"Hans..." ulangnya, hampir tidak bisa bernapas.
Sosok itu tidak berkata apa-apa, tapi mendekat, langkah kaki diam yang sepertinya tidak bergema di malam hari. Kanaya tak bisa bergerak, kakinya seperti terpaku pada kayu jembatan. Ketika sosok itu sudah cukup dekat, dia berhenti di depannya. Dia mengangkat tangan pucat dan dingin dan menyentuh pipinya.
Sentuhannya seperti bisikan sedingin es, namun di dalamnya, Kanaya merasakan percikan pengakuan. Air mata mulai jatuh di wajahnya, campuran kesedihan dan kelegaan menguasai dirinya.
-Itu kamu? —dia bertanya, suaranya pecah.
Sosok itu menurunkan tudungnya perlahan, memperlihatkan wajah yang tidak akan pernah dilupakan Ana. Itu adalah Hans, tapi bukan Hans yang dikenalnya. Kulitnya pucat, matanya gelap, kusam, seakan-akan nyawanya telah dicabut darinya.
"Aku mencarimu..." bisik Hans, dengan suara yang sepertinya datang dari suatu tempat yang jauh, seolah dia berbicara dari dunia lain. Kita berjanji tidak akan pernah berpisah... Namun kini aku terjebak di sini... Antara hidup dan mati.
Kanaya memandangnya, hatinya hancur berkeping-keping. Aku ingin memeluknya, memberitahunya bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi aku tahu tidak ada jalan untuk kembali. Hans bukan lagi milik dunia ini.
"Aku tidak bisa pergi tanpamu," lanjutnya, dengan rasa sakit yang sangat terasa. Setiap malam, aku kembali ke sini, menunggumu datang, agar kita bisa bersama lagi.
Kanaya merasakan hawa dingin menyelimuti dirinya, udara menjadi berat. Dia tahu apa yang diminta Hans darinya. Dia ingin dia menemaninya ke sisi lain, untuk bergabung dengannya dalam kematian. Cintanya pada pria itu begitu kuat sehingga untuk sesaat, dia mempertimbangkan untuk melakukannya. Pegang tangannya, biarkan dirimu terbawa bayang-bayang, dan bersamanya selamanya.
Namun sesuatu dalam dirinya menghentikannya. Percikan kecil kehidupan, keinginan untuk maju, untuk hidup, meski hanya dengan kenangan Hans.
"Aku tidak bisa, Hans," katanya dengan hati yang hancur. Saya tidak bisa mengikuti Anda.
Wajah Hans berubah menjadi ekspresi kesedihan yang mendalam. Perlahan, dia melepaskan tangannya dari pipi Kanaya, dan rasa dingin di sekitarnya tampak semakin meningkat.
"Aku akan selalu mencintaimu," bisiknya, sebelum mundur ke dalam kegelapan.
Kanaya, dengan air mata mengalir di wajahnya, menyaksikan Hans menghilang ke dalam bayang-bayang, sosoknya menghilang di udara, hingga tak ada yang tersisa selain malam.
Dia diam di jembatan selama berjam-jam, hingga fajar mulai menerangi langit. Meski hatinya hancur, dia tahu dia harus terus maju. Hans akan selalu bersamanya, dalam ingatannya, dalam cintanya. Tapi malam itu di jembatan, dia kehilangan dia selamanya.
Di bawah langit yang perlahan dipenuhi bintang, Kanaya berjalan pulang ke rumah, dengan jiwa yang hancur, namun dengan kepastian bahwa, meski cinta telah menyatukan mereka, takdir telah memisahkan mereka selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H