Di dalam kelas, Hayrin merebahkan kepalanya ke atas meja. Sesekali Hayrin memejamkan mata. Tubuhnya bergerak gelisah, kepalanya dipenuhi banyak tanya. Bagaimana reaksi orang tuanya nanti soal Gerald? Laki-laki yang baik dan sopan, sekaligus sahabatnya sedari kecil. Tapi satu yang membuat hati Hayrin gelisah. Mereka tidak seiman. Dan tidak ada yang tahu, bahwa cinta telah tumbuh di antara keduanya.
Hayrin memutar kepalanya ke samping, menatap sahabatnya Feli yang sedang sibuk memperbaiki rambutnya. Padahal sudah sangat rapi.
"Fel?" Panggil Hayrin
"Hmm."
"Lihat sini dulu dong, bentar aja," bujuk Hayrin menggoyangkan tangan sahabatnya.
"Ada apa sahabatku yang cantik?" Feli memutar kursinya menghadap Hayrin
"Aku itu takut."
"Hah? Gimana-gimana? Aku nggk paham." Feli cengengesan dengan muka yang langsung berubah serius.
"Enggak jadi, deh." Pasrah Hayrin sambil berdiri dari tempat duduk menuju kantin.
"Yahh, kok gitu? Nyebelin banget, sih!" sungut Feli mengikuti langkah Hayrin menuju kantin.
Tidak ada pembicaraan di sepanjang koridor. Hayrin yang sibuk dengan pikirannya. Dan Feli yang sibuk menata rambut.
Di kantin, Hayrin sama sekali tidak selera makan. Dia mengingat pertemuannya kemaren dengan Gerald di parkiran sekolah.
*****
"Hayrin."
"Hmm, ya? Ada apa?"
"Bolehkah aku ngomong sebentar?"
"Hahaha, ngomong aja, biasanya kamu nggak pernah minta izin."
"Tapi kamu harus janji."
"Iya, iya, aku janji. Emang ada apa sih?"
"Aku juga enggak tahu, apakah kamu juga punya perasaan yang sama dengan aku atau bukan? Pernah terbesit di pikiranku, kenapa kamu? Dan kenapa itu harus kamu?"
"Ihh, ada apa sih? Ngomong intinya langsung dong."
"Aku sayang kamu, tapi enggak usah dijawab, aku sudah tahu jawabannya." Pasrah Gerald langsung menaiki motornya, meninggalkan Hayrin berdiri mematung di parkiran sekolah.
*****
Tapi, semenjak kejadian itu, Hayrin tidak pernah lagi bertemu Gerald. Entah apa yang terjadi dengan sosok tampan itu.
Satu notifikasi masuk. Hayrin segera mengecek ponselnya. Satu pesan, dua pesan. Begitu banyak pesan masuk dari satu nomor yang tidak kenal.
"Gerald?"
Hayrin tersentak kaget saat bayangan Gerald berjalan menjauhi kantin.
"Ada apa?" Feli hampir saja menelan satu bulat bakso.
"Aku harus pergi, Izinkan aku enggak bisa masuk kelas nanti ya, Fel." Buru-buru Hayrin berlari menuju kelasnya, mengambil tas dan segera memesan gojek.
*****
POV Gerald
Cinta? Lima kata yang tidak pernah ada dalam hidupku setelah kematian Mama dan Papa. Apalagi mencintai sahabat sendiri. Â
Tapi, semuanya seolah berubah setelah aku mengenal sosok perempuan anggun dan ceria. Â
Aku mencintainya. Dan aku tidak pernah mungkin bisa bersatu dengannya.
Aku mengendarai motorku memecah kesunyian jalan Jakarta. Sudah lama sekali aku tidak menginjakkan kaki di tempat ini. Tempat yang pernah aku masuki dua tahun lalu saat kematian Mama dan Papa.
Satu jam lamanya aku di dalam sana. Aku beranjak keluar dari tempat itu setelah merasa tenang.
"Argghhh!" Aku memukul kepalaku kuat.
Kenapa harus dia? Kenapa harus dia yang mengisi kekosongan hati ini?
"Hayrin, kita tidak seiman! Kita tidak akan pernah bersatu." Aku melampiaskan emosiku ditengah jalanan kota Jakarta.
Bayangan Hayrin yang tertawa. Senyum manis itu. Dan tutur kata lembut itu. Semuanya memenuhi isi kepalaku.
Dari arah berlawanan, melaju kencang satu mobil sedan. Aku yang sedang sibuk dengan pikiran yang tak henti-hentinya meracau soal Hayrin, saat itu pula mobil itu menabrak motorku.
Tubuhku terpelanting jauh dari motor. Sedetik, dua detik kemudian. Pandanganku gelap. Semuanya gelap.
*****
Sambil berjalan perlahan, Hayrin mengatur degup jantungnya. Sampai langkah Hayrin terhenti tepat di depan sebuah pintu yang memperlihatkan sosok tampan yang sedang ditangani dokter.
'Jangan nangis, Rin, nanti cantiknya hilang'
Hayrin mengusap air matanya kasar. Gerald selalu berkata seperti itu kepadanya saat dia lagi ada masalah.
'Gerald, bertahanlah!' Hayrin menatap sendu ke dalam ruangan.
Hayrin berjalan masuk ruangan setelah dokter mempersilahkannya masuk. Sementara Gerald, dia tidak menyadari kehadiran Hayrin.
"Rald." Panggil Hayrin tercekat
Gerald susah payah memutar kepalanya menghadap suara yang sangat familiar. Dia tersenyum tulus. Ingin sekali dia menghapus air mata itu. Ingin sekali dia memeluk gadis itu.
"Apanya yang sakit?" Hayrin tidak kuat lagi bertanya. Dia menangis menutup wajahnya.
"Hey, jangan nangis, nanti cantiknya hilang, Rin." Canda Gerald disela-sela sakitnya.
"Apa kamu mau dengar jawabanku? Jawaban dari pertanyaan kemaren?"
"Tidak, tidak perlu Rin." Gerald menggelengkan kepalanya pelan. Menatap Wajah Hayrin dipenuhi air mata.
"Kamu cepat sembuh."
"Tidak lagi Rin, kamu harus belajar mandiri. Mungkin udah saatnya aku pergi. Bilang sama Ayah dan Bunda. Aku minta maaf nggak bisa menjaga putrinya terlalu lama lagi. Aku minta maaf untuk semuanya Rin."
Hayrin terisak, dia tidak sanggup kehilangan Gerald. Kenapa? Ada apa?
Hayrin dan Gerald adalah sahabat sejak kecil. Meski beda Agama, persahabatan mereka tetap utuh. Tapi satu yang membuat Gerald menyesal. Dia telah mencintai Hayrin, sahabat kecilnya. Hayrin mustahil untuk dia miliki.
"Rald, kamu jangan ngomong gitu."
"Aku tetap ada untuk kamu, aku akan tetap ada di sisi kamu. Meski tidak lagi bisa melihat senyum itu secara langsung."
"Gerald! Udah! Jangan ngomong gitu."
"Rin, aku pamit. Mama sama Papa kayaknya udah kangen sama aku. Kamu jaga Ayah dan Bunda. Jangan nakal lagi. Untuk perasaan aku waktu itu, itu murni dari hati aku. Kamu adalah sahabat sekaligus cinta pertamaku. Jaga diri baik-baik Rin. Jangan nakal. Tidak ada lagi yang bakal belain kamu di depan banyak orang." Gerald tertawa kecil.
Hayrin berteriak kalap saat dia tidak lagi mendengar suara Gerald. Sahabatnya telah pergi.
Tidak ada lagi Gerald si cerewet. Tidak ada lagi Gerald yang seenaknya makan makanannya. Gerald sudah pergi. Gerald sudah pergi jauh.
*****
"Kita punya keinginan, tapi tidak semua keinginan itu milik kita seutuhnya." (Nadia Okta Nelsi)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI