Aku mencintainya. Dan aku tidak pernah mungkin bisa bersatu dengannya.
Aku mengendarai motorku memecah kesunyian jalan Jakarta. Sudah lama sekali aku tidak menginjakkan kaki di tempat ini. Tempat yang pernah aku masuki dua tahun lalu saat kematian Mama dan Papa.
Satu jam lamanya aku di dalam sana. Aku beranjak keluar dari tempat itu setelah merasa tenang.
"Argghhh!" Aku memukul kepalaku kuat.
Kenapa harus dia? Kenapa harus dia yang mengisi kekosongan hati ini?
"Hayrin, kita tidak seiman! Kita tidak akan pernah bersatu." Aku melampiaskan emosiku ditengah jalanan kota Jakarta.
Bayangan Hayrin yang tertawa. Senyum manis itu. Dan tutur kata lembut itu. Semuanya memenuhi isi kepalaku.
Dari arah berlawanan, melaju kencang satu mobil sedan. Aku yang sedang sibuk dengan pikiran yang tak henti-hentinya meracau soal Hayrin, saat itu pula mobil itu menabrak motorku.
Tubuhku terpelanting jauh dari motor. Sedetik, dua detik kemudian. Pandanganku gelap. Semuanya gelap.
*****
Sambil berjalan perlahan, Hayrin mengatur degup jantungnya. Sampai langkah Hayrin terhenti tepat di depan sebuah pintu yang memperlihatkan sosok tampan yang sedang ditangani dokter.