Mohon tunggu...
Naailah DhiyaTsabitah
Naailah DhiyaTsabitah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Naailah Dhiya Tsabitah, 43223010136, S1 Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mercu Buana, Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna

21 November 2024   21:33 Diperbarui: 21 November 2024   21:33 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks dan mendalam, yang telah menghambat kemajuan ekonomi, merusak integritas pemerintahan, dan memperburuk kesenjangan sosial. Meskipun berbagai upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan melalui lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi masih menjadi persoalan besar yang sulit diberantas. Korupsi sering kali muncul sebagai fenomena yang melibatkan baik faktor struktural maupun individu. Praktik korupsi di Indonesia tidak hanya berakar pada perilaku individu, tetapi juga sistem pemerintahan yang rawan penyalahgunaan kekuasaan dan lemahnya pengawasan.

Untuk memahami lebih dalam penyebab dan solusi terhadap masalah korupsi ini, pendekatan yang dikembangkan oleh Robert Klitgaard dan Jack Bologna memberikan perspektif yang sangat relevan. Klitgaard melihat korupsi sebagai akibat dari adanya kelemahan dalam sistem, seperti monopoli kekuasaan dan rendahnya akuntabilitas, yang membuka peluang bagi penyalahgunaan wewenang. Di sisi lain, Bologna menyoroti pentingnya faktor individu dan lingkungan dalam mendorong terjadinya korupsi, seperti keserakahan, kesempatan, dan lemahnya pengawasan.

Kedua pendekatan ini memberikan wawasan yang saling melengkapi untuk menganalisis akar penyebab korupsi di Indonesia. Pendekatan sistemik yang menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang lebih ketat dapat membantu mengurangi peluang korupsi dalam birokrasi dan sektor publik. Sementara itu, perhatian terhadap perilaku individu dan budaya organisasi juga sangat penting untuk mengurangi praktik korupsi, dengan memperkuat etika dan kontrol internal. Gabungan dari kedua pendekatan ini memberikan kerangka yang lebih holistik dalam merancang strategi pemberantasan korupsi yang efektif dan berkelanjutan di Indonesia.

Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna

Robert Klitgaard

Robert Klitgaard adalah seorang ahli ekonomi dan pakar dalam bidang korupsi yang dikenal dengan teorinya mengenai penyebab korupsi. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah model CDMA yang merangkum empat elemen kunci yang menyebabkan korupsi, yakni Corruption (Korupsi), Discretion (Diskresi), Monopoly (Monopoli), dan Accountability (Akuntabilitas). Berikut adalah penjelasan mendetail tentang masing-masing elemen dalam model CDMA:

C = D + M -- A

Dimana :

  • C (Corruption) 

Korupsi dapat terjadi ketika pengawasan atau kontrol terhadap tindakan pejabat atau organisasi sangat lemah. Tanpa kontrol yang efektif, individu atau kelompok dengan kekuasaan dapat bertindak sesuai kehendak mereka, menciptakan peluang bagi penyalahgunaan wewenang.

  • D (Discretion)

Semakin besar kebebasan yang dimiliki oleh individu atau pejabat dalam mengambil keputusan tanpa batasan atau regulasi yang jelas, semakin tinggi kemungkinan mereka melakukan korupsi. 

  • M (Monopoly) 

Ketika satu pihak atau kelompok memiliki monopoli atas suatu sumber daya atau keputusan penting, peluang untuk terjadinya korupsi semakin besar. Tanpa adanya persaingan atau pilihan alternatif, pihak yang memegang monopoli dapat memanfaatkan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

  • A (Accountability)

Akuntabilitas mengacu pada sejauh mana pejabat atau organisasi dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka. Korupsi berkembang ketika akuntabilitas rendah, di mana individu yang terlibat dalam penyalahgunaan wewenang tidak merasa diawasi atau dihukum atas tindakannya.

 

Robert Klitgaard berpendapat bahwa korupsi muncul ketika ada kelemahan dalam salah satu atau beberapa elemen ini. Sebagai contoh, jika ada monopoli kekuasaan tanpa pengawasan yang memadai, kebebasan pengambilan keputusan yang tidak terbatas, dan rendahnya akuntabilitas, maka sistem tersebut akan rentan terhadap praktik korupsi. Dengan memahami elemen-elemen ini, Klitgaard mengusulkan bahwa reformasi yang fokus pada penguatan kontrol, pengurangan kebebasan yang tidak terkontrol, pembukaan ruang persaingan, dan peningkatan akuntabilitas dapat menjadi langkah strategis untuk mengurangi korupsi dalam sistem pemerintahan atau organisasi.

Jack Bologna

Jack Bologna mengembangkan teori yang dikenal sebagai Teori GONE untuk menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya korupsi. GONE merupakan singkatan dari Greed (Keserakahan), Opportunity (Kesempatan), Need (Kebutuhan), dan Exposure (Paparan terhadap Risiko). Menurut Bologna, korupsi dapat terjadi ketika empat faktor ini bersatu dalam suatu situasi, mendorong individu untuk terlibat dalam perilaku korupsi

dimana :

  • Greed (Keserakahan) 

Salah satu faktor utama yang mendorong korupsi adalah keserakahan, yaitu keinginan individu untuk memperoleh keuntungan pribadi, baik berupa uang, kekuasaan, atau sumber daya lainnya. Ketika individu merasa tidak puas dengan apa yang mereka miliki dan memiliki kesempatan untuk mendapatkan lebih, mereka lebih rentan untuk melakukan tindakan korupsi.

  • Opportunity (Kesempatan) 

Korupsi sering kali terjadi ketika ada kesempatan yang terbuka lebar bagi individu untuk menyalahgunakan wewenangnya. Kesempatan ini muncul terutama dalam lingkungan di mana pengawasan lemah, sistem tidak transparan, dan kontrol internal tidak berfungsi dengan baik.

  • Need (Kebutuhan)

Kebutuhan individu juga bisa menjadi pendorong korupsi. Ketika seseorang berada dalam situasi ekonomi atau sosial yang sulit, mereka mungkin merasa terpaksa untuk melakukan korupsi demi memenuhi kebutuhan hidup mereka.

  • Exposure (Paparan) 

Korupsi terjadi lebih sering ketika risiko terpapar atau terungkapnya tindakan tersebut rendah. Jika seseorang merasa bahwa mereka tidak akan tertangkap atau dihukum atas tindakan korupsi mereka, maka mereka akan lebih cenderung untuk melakukannya. Minimnya pengawasan, ketidakpastian hukum, atau ketidakmampuan aparat penegak hukum untuk menindak korupsi membuat individu merasa lebih aman untuk melakukan praktik korupsi. 

Secara keseluruhan, Teori GONE dari Jack Bologna menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya dipicu oleh keserakahan individu, tetapi juga oleh kesempatan yang ada, kebutuhan yang mendesak, serta rendahnya risiko terhadap akibat hukum. Oleh karena itu, untuk mengatasi korupsi, perlu ada upaya untuk mengurangi kesempatan yang memungkinkan korupsi, memperbaiki pengawasan dan akuntabilitas, serta mengurangi kebutuhan yang mendorong individu untuk terlibat dalam perilaku korupsi.

Mengapa pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna penting dalam memahami dan mengatasi kasus korupsi di Indonesia?

Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna sangat penting dalam upaya memahami dan mengatasi korupsi di Indonesia, karena keduanya menawarkan perspektif yang berbeda namun saling melengkapi. Klitgaard menekankan bahwa korupsi merupakan konsekuensi dari kelemahan dalam sistem, yang tercermin dalam monopoli kekuasaan, kebebasan tanpa pengawasan, dan rendahnya akuntabilitas. Dalam konteks Indonesia, teori ini relevan mengingat masih banyak sektor publik dan birokrasi yang dikuasai oleh segelintir pihak dengan pengawasan yang minim. Reformasi sistemik yang diajukan Klitgaard, seperti membatasi monopoli kekuasaan, meningkatkan transparansi, dan memperkuat mekanisme akuntabilitas, dapat menjadi langkah strategis untuk mencegah korupsi yang terjadi secara sistematis.

Sementara itu, pendekatan Jack Bologna menawarkan analisis yang lebih fokus pada individu dan lingkungan yang memungkinkan tindakan korupsi. Menurut Bologna, korupsi dipicu oleh empat faktor utama, yaitu keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan rendahnya risiko paparan. Pendekatan ini menggarisbawahi pentingnya menciptakan lingkungan yang meminimalkan peluang korupsi, seperti penguatan kontrol internal, penegakan hukum yang tegas, serta pendidikan moral dan etika. Dalam konteks Indonesia, teori Bologna relevan untuk menjelaskan bagaimana tekanan ekonomi, lemahnya pengawasan, dan budaya permisif dapat menciptakan ruang bagi individu untuk melakukan korupsi.

Kedua pendekatan ini memiliki keunggulan masing-masing yang saling melengkapi dalam menganalisis korupsi di Indonesia. Klitgaard memberikan pandangan tentang bagaimana kelemahan dalam struktur dan sistem pemerintahan menciptakan peluang korupsi, sementara Bologna fokus pada motif dan faktor lingkungan yang mendorong individu untuk melakukan korupsi. Dengan memadukan kedua pendekatan ini, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dapat lebih komprehensif. Pendekatan sistemik dari Klitgaard dapat diterapkan untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan dan mengurangi peluang korupsi, sedangkan pendekatan Bologna dapat digunakan untuk memperkuat aspek pencegahan melalui pengendalian perilaku individu.

Bagaimana prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi dapat ditingkatkan di sektor publik Indonesia untuk mengurangi peluang terjadinya korupsi? 

Untuk mengurangi peluang terjadinya korupsi di sektor publik Indonesia, peningkatan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi menjadi hal yang sangat krusial. Kedua prinsip ini dapat menciptakan sistem yang lebih terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan, yang pada gilirannya mengurangi ruang untuk praktik korupsi. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi di sektor publik:

  • peningkatan pengawasan dan audit yang ketat

Audit eksternal dan internal yang independen, seperti yang dilakukan oleh BPK dan BPKP, sangat penting untuk memastikan penggunaan anggaran negara sesuai ketentuan. Audit harus dilakukan secara teratur dan hasilnya dipublikasikan kepada masyarakat. Selain itu, penerapan sistem pengawasan berbasis teknologi melalui e-Government dapat meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam memantau penggunaan dana publik, serta mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang.

  • Peningkatan Transparansi dalam Pengelolaan Anggaran dan Kebijakan Publik

Untuk meningkatkan transparansi, penyusunan anggaran negara dan daerah harus dilakukan secara terbuka dan dapat diakses oleh publik, sehingga masyarakat dapat memantau alokasi dana dan memastikan penggunaannya sesuai tujuan yang sah. Selain itu, informasi terkait proyek pemerintah, termasuk pengadaan barang dan jasa, perlu dipublikasikan secara terbuka, mulai dari perencanaan hingga evaluasi, agar masyarakat dan lembaga pengawas dapat memastikan proyek dilaksanakan sesuai prosedur yang benar dan bebas dari praktik korupsi.

  • Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pengambilan Keputusan 

Pemerintah perlu mendorong keterlibatan masyarakat dalam pengawasan kebijakan melalui platform online atau forum diskusi publik, agar masyarakat dapat memberikan masukan dan melaporkan penyimpangan. Selain itu, penguatan peran LSM dan media juga penting dalam mengawasi kebijakan publik dan melaporkan indikasi korupsi, dengan memastikan kebebasan pers dan ruang bagi LSM untuk bekerja, sehingga transparansi dan akuntabilitas dapat terjaga.

  • Penerapan Sistem Pengadaan yang Transparan dan Kompetitif 

Untuk mengurangi potensi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, sistem pengadaan harus dilakukan secara terbuka dan kompetitif, seperti menggunakan lelang elektronik yang memungkinkan transparansi dan pengawasan langsung. Selain itu, setiap tahap pengadaan, dari perencanaan hingga eksekusi, harus diawasi dengan ketat, dan penggunaan teknologi informasi dapat meminimalisir manipulasi data serta penyalahgunaan wewenang.

  • Meningkatkan Akuntabilitas Melalui Sistem Pelaporan dan Sanksi yang Jelas  

Untuk meningkatkan akuntabilitas, perlu ada sistem pelaporan yang mudah diakses dan anonim agar masyarakat dapat melaporkan dugaan korupsi tanpa rasa takut. Selain itu, penegakan hukum yang tegas dan sistem peradilan yang cepat dan adil sangat penting untuk menindaklanjuti penyimpangan atau korupsi, memberikan efek jera, serta memperluas pengawasan terhadap sektor-sektor lain yang berpotensi menumbuhkan korupsi.

contoh kasus :

1. Pengelolaan dana pensiun di PT Asabri 

Kasus korupsi yang terjadi di sektor finansial, khususnya yang melibatkan pengelolaan dana pensiun di PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), merupakan salah satu contoh nyata penyimpangan besar yang mengarah pada kerugian negara yang sangat signifikan, mencapai Rp22,78 triliun. Kasus ini menyoroti berbagai aspek dalam teori-teori korupsi, terutama yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard dan Jack Bologna, yang membahas pengaruh penyimpangan dalam pemerintahan dan pengelolaan dana publik terhadap kesejahteraan negara.

Kasus PT Asabri: Sebuah Gambaran

Pada periode 2012 hingga 2019, PT Asabri yang merupakan perusahaan negara yang mengelola dana pensiun bagi anggota TNI, Polri, dan pegawai negeri lainnya, mengalami penyimpangan dalam pengelolaan keuangan dan dana investasinya. Penyimpangan ini dilakukan oleh sejumlah pejabat tinggi dan pihak terkait, termasuk komisaris dan direktur utama perusahaan, yang mengarahkan dana pensiun ini kepada investasi-investasi yang tidak sesuai dengan ketentuan dan mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar.

Dalam hal ini, terdapat berbagai oknum yang terlibat, mulai dari Benny Tjokrosaputro dan Teddy Tjokrosaputro, yang sebelumnya terlibat dalam kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya, hingga pejabat-pejabat internal PT Asabri, seperti Adam Rachmat Damiri, Sonny Widjaja, Bachtiar Effendi, dan Hari Setianto, yang semuanya dijatuhi hukuman penjara dengan berbagai durasi, termasuk di antaranya hukuman seumur hidup.

Konsep Korupsi dalam Teori Robert Klitgaard

Robert Klitgaard, dalam teorinya yang terkenal tentang korupsi, mengemukakan bahwa korupsi terjadi ketika ada monopoli, tidak adanya akuntabilitas, dan disfungsi dalam sistem pemantauan dan pengawasan. Dalam konteks PT Asabri, beberapa faktor tersebut sangat jelas terjadi.

1. Monopoli:

Penyimpangan di PT Asabri menunjukkan bagaimana sejumlah individu memiliki monopoli atas pengelolaan dana pensiun yang seharusnya transparan. Dalam hal ini, pengaruh besar dari pihak-pihak tertentu dalam menentukan keputusan investasi mengarah pada keputusan yang menguntungkan mereka pribadi atau kelompok,

2. Tidak Ada Akuntabilitas:

Kurangnya akuntabilitas dalam pengelolaan dana pensiun menjadi salah satu penyebab utama korupsi. Para pejabat yang terlibat tidak hanya tidak mengelola dana pensiun dengan cara yang sah, tetapi juga tidak bisa mempertanggungjawabkan keputusan-keputusan investasi yang mereka buat. 

3. Disfungsi Pengawasan dan Pemantauan:

Teori Klitgaard juga mengungkapkan pentingnya sistem pengawasan yang efektif untuk mencegah korupsi. Dalam kasus PT Asabri, pengawasan yang lemah atau bahkan tidak ada memungkinkan terjadinya penyalahgunaan dana yang sangat besar. Kurangnya pengawasan internal dan eksternal memungkinkan pengelolaan dana pensiun berjalan tanpa kontrol yang memadai.

Konsep Korupsi dalam Teori Jack Bologna

Selain Klitgaard, teori Jack Bologna juga memberikan perspektif yang relevan dalam mengatasi korupsi dalam pengelolaan dana pensiun. Bologna menekankan pentingnya transparansi, partisipasi publik, dan integritas kelembagaan dalam setiap sistem pengelolaan sumber daya negara.

1. Transparansi:

Kasus PT Asabri jelas menunjukkan kurangnya transparansi dalam proses investasi. Seharusnya, dana pensiun yang dikelola dengan tujuan untuk kesejahteraan pensiunan harus dapat dipantau oleh publik dan pihak-pihak yang berkepentingan. Keputusan investasi yang tidak jelas dan tidak terkontrol ini menunjukkan betapa pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana publik, yang seringkali diabaikan.

2. Partisipasi Publik:

Dalam setiap keputusan pengelolaan dana publik, termasuk dana pensiun, partisipasi publik sangatlah penting. Hal ini mencakup peran masyarakat dan pihak-pihak yang berhak untuk mengetahui bagaimana dana tersebut dikelola dan apa dampaknya bagi mereka. Penyimpangan yang terjadi di PT Asabri membuktikan bahwa jika masyarakat atau pihak terkait tidak diberikan akses atau informasi yang memadai, maka kemungkinan penyimpangan menjadi sangat besar.

3. Integritas Kelembagaan:

Bologna juga menekankan pentingnya integritas kelembagaan dalam mencegah terjadinya korupsi. Integritas kelembagaan di sini merujuk pada nilai-nilai etika dan profesionalisme dalam setiap lembaga yang mengelola dana publik. PT Asabri, yang seharusnya menjadi lembaga yang profesional dalam mengelola dana pensiun, ternyata justru menjadi sarana bagi individu-individu untuk melakukan penyimpangan demi kepentingan pribadi.

Dampak Korupsi di PT Asabri

Korupsi dalam pengelolaan dana pensiun PT Asabri memiliki dampak yang sangat luas, baik bagi negara maupun bagi individu yang menjadi peserta dalam program dana pensiun tersebut.

1. Kerugian Negara:

Penyimpangan yang terjadi mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp22,78 triliun. Angka yang sangat besar ini menunjukkan betapa besar dampak negatif korupsi terhadap perekonomian negara. Kerugian sebesar ini tentu saja akan mengurangi kemampuan negara untuk membiayai program-program pembangunan dan pelayanan publik yang lebih penting.

2. Kehidupan Masyarakat yang Terpengaruh:

Korupsi dalam pengelolaan dana pensiun berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat, terutama bagi para pensiunan yang bergantung pada dana tersebut untuk kehidupan mereka setelah pensiun. Ketidakpastian dan kerugian yang ditimbulkan dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara yang mengelola dana pensiun.

3. Penurunan Integritas Lembaga Negara:

Korupsi yang melibatkan lembaga negara seperti PT Asabri juga dapat menurunkan integritas seluruh sistem kelembagaan negara. Kepercayaan publik terhadap lembaga negara menjadi terkikis, dan hal ini dapat mempengaruhi berbagai sektor lainnya, seperti investasi, pembangunan, dan hubungan internasional.

2. Pengolahan kondensat ilegal di kilang minyak di Tuban, Jawa Timur 

Kasus pengolahan kondensat ilegal di kilang minyak di Tuban, Jawa Timur, menjadi sorotan utama dalam dunia industri minyak dan gas Indonesia. Dalam kasus ini, negara mengalami kerugian yang sangat besar, mencapai sekitar US$ 2,7 miliar atau setara dengan Rp35 triliun. Kejadian ini berawal dari penunjukan langsung untuk penjualan kondensat, yang merupakan bagian dari sumber daya alam yang seharusnya dikelola dan dimanfaatkan oleh negara.

Kondensat adalah cairan hidrokarbon yang biasanya terdapat di kilang minyak atau gas alam. Meskipun terlihat serupa dengan minyak mentah, kondensat memiliki karakteristik yang berbeda dan seringkali digunakan sebagai bahan baku untuk proses kimia atau industri petrokimia. Namun, dalam kasus ini, penjualan kondensat yang seharusnya menjadi hak negara justru dialihkan melalui mekanisme yang tidak sah, membuka celah bagi korupsi.

Menurut laporan, antara 23 Mei 2009 dan 2 Desember 2011, terjadi praktik pengelolaan kondensat ilegal yang melibatkan pejabat tinggi di sektor migas Indonesia. Salah satu figur sentral dalam kasus ini adalah Honggo Wendratno, mantan Direktur Utama PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI), yang berperan besar dalam pengolahan kondensat ilegal ini. Ia dihukum dengan pidana penjara selama 16 tahun, denda Rp1 miliar, dan diwajibkan membayar ganti rugi senilai Rp97 miliar kepada negara.

Selain Honggo Wendratno, dua pejabat senior BP Migas, Raden Priyono dan Djoko Harsono, juga terjerat dalam kasus ini. Keduanya dijatuhi pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp200 juta. Tindakan mereka terbukti merugikan negara dengan cara mengalihkan penjualan kondensat melalui jalur yang tidak sah, yang menyebabkan pendapatan negara hilang.

Kasus ini menjadi peringatan bagi sektor migas Indonesia, yang telah lama dikenal sebagai salah satu sumber perekonomian utama negara. Penegakan hukum dalam kasus ini menunjukkan bahwa meskipun sektor migas adalah bisnis besar, pelanggaran terhadap aturan dan kebijakan negara akan dihadapi dengan sanksi yang berat. Pemerintah Indonesia kini lebih memperketat pengawasan terhadap pengelolaan dan penjualan sumber daya alam, untuk mencegah terjadinya praktik ilegal yang merugikan keuangan negara dan rakyat.

Dari perspektif lebih luas, kasus ini juga menggugah pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sektor migas, yang sering kali rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Revisi terhadap regulasi dan prosedur dalam pengelolaan migas diharapkan dapat mengurangi potensi tindak pidana korupsi serupa di masa depan.

Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi

Untuk mencegah agar kejadian serupa tidak terulang, sejumlah langkah strategis harus diambil, yang sejalan dengan teori Klitgaard dan Bologna.

1. Penguatan Sistem Pengawasan dan Akuntabilitas:

Penguatan sistem pengawasan, baik internal maupun eksternal, sangat penting untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil dalam pengelolaan dana publik dapat dipertanggungjawabkan. Pengawasan yang lebih ketat akan mengurangi kemungkinan penyimpangan dan korupsi dalam lembaga negara.

2. Peningkatan Transparansi dan Partisipasi Publik:

Keputusan investasi dan pengelolaan dana pensiun harus lebih transparan dan melibatkan partisipasi publik. Hal ini dapat dilakukan dengan menyebarluaskan informasi mengenai keputusan-keputusan penting yang diambil dalam pengelolaan dana pensiun dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan atau kritik terhadap keputusan-keputusan tersebut.

3. Reformasi Kelembagaan dan Penguatan Etika:

Reformasi kelembagaan dengan fokus pada integritas dan etika harus dilakukan untuk menciptakan sistem yang lebih profesional dan transparan. Penguatan etika dalam lembaga-lembaga negara, terutama yang mengelola dana publik, akan meminimalkan peluang untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

KESIMPULAN

Korupsi di Indonesia adalah masalah struktural dan perilaku yang telah menghambat perkembangan ekonomi dan sosial. Pendekatan yang dikembangkan oleh Robert Klitgaard dan Jack Bologna memberikan wawasan penting dalam menganalisis akar penyebab korupsi dan merumuskan solusi. Klitgaard berfokus pada kelemahan dalam sistem pemerintahan yang memungkinkan penyalahgunaan wewenang, seperti ketidakadilan dalam pengambilan keputusan, monopoli kekuasaan, dan rendahnya akuntabilitas. Di sisi lain, Bologna menyoroti peran faktor individu seperti keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan rendahnya paparan terhadap risiko sebagai pendorong terjadinya korupsi.

Kedua pendekatan ini saling melengkapi dan penting untuk merancang strategi pemberantasan korupsi yang efektif. Pendekatan sistemik yang mengutamakan transparansi, pengawasan ketat, dan peningkatan akuntabilitas dapat mengurangi peluang terjadinya korupsi dalam sektor publik. Sementara itu, perhatian terhadap perilaku individu dan budaya organisasi juga penting untuk memperkuat etika dan kontrol internal, sehingga praktik korupsi dapat diminimalisir. Dengan gabungan kedua pendekatan ini, Indonesia dapat mengembangkan strategi pemberantasan korupsi yang lebih holistik dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2023, November 20). Tiga kasus korupsi dengan kerugian negara terbesar di Indonesia. ACLC KPK. 

Sofhian, S. (2020). Penyebab Dan Pencegahan Korupsi: Kasus Indonesia.

mahyudi, D. ivan (2019) Kasus Korupsi Yang Ada di Indonesia.

Modul yang dibuat oleh Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak  
Modul yang dibuat oleh Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun