Mohon tunggu...
Muhammad Meiza Fachri
Muhammad Meiza Fachri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional

Hit Harder

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hipokritas pada CAATSA: Quo Vadis Dualitas Alutsista Indonesia

18 April 2022   05:50 Diperbarui: 25 April 2022   19:28 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi CAATSA yang kerap kali menghadang transaksi alutsista dari Rusia. Sumber : newindianexpress.com

"Jika restriksi dalam perdagangan adalah tarif dan kuota, maka dalam jual beli alat utama sistem senjata, restriksi tersebut dapat kita sebut CAATSA."

Ditandatangani pada 2 Agustus 2017, di masa pemerintahan Presiden Donald Trump. Countering America's Adversaries Through Sanction Acts (CAATSA) atau jika diartikan secara harfiah berarti "Undang-Undang Melawan Musuh-Musuh Amerika melalui sanksi-sanksi" adalah kebijakan pemerintah Amerika Serikat berupa pemberian serangkaian sanksi terhadap tiga "negara musuh" AS, yakni Rusia, Iran dan Korea Utara. 

Salah satu fokus utama dari CAATSA adalah untuk membatasi interaksi-interaksi strategis, seperti transaksi-transaksi militer dari Iran, Korea Utara, dan terutama Rusia, yang memiliki industri militer tersohor, mumpuni dan digadang-gadang sebagai rival dari produk industri pertahanan Barat.

Produk kebijakan yang mengatur sanksi terhadap Rusia dapat dilihat pada Section 231 CAATSA yang berbunyi : 

"The Act states that the President shall impose five or more of the sanctions described in Section 235 of the Act with respect to a person the President determines knowingly, on or after such date of enactment, engages in a significant transaction with a person that is part of, or operates for or on behalf of, the defense or intelligence sectors of the Government of the Russian Federation."

Singkatnya, Presiden/Pemerintah AS akan menjatuhkan lima sanksi atau lebih kepada pihak yang melakukan transaksi dengan sektor pertahanan/intelijen pemerintah Rusia. Sehingga, negara-negara yang melakukan transaksi strategis, seperti melakukan pembelian alat utama sistem senjata (alutsista) milik Rusia, terancam diberi serangkaian sanksi oleh Amerika Serikat.

Sanksi terhadap Rusia ini dilatarbelakangi oleh adanya campur tangan pemerintah Rusia pada Pemilihan Presiden AS 2016, serta aksi "ofensif" yang ditujukan Rusia terhadap Ukraina (di Krimea) dan Suriah.  

Bukan main, ancaman sanksi dari CAATSA ini disinyalir membuat beberapa negara cukup "ragu-ragu" dalam memilih produk industri pertahanan Rusia. Sebagai contoh adalah pada kasus pembatalan pembelian Sukhoi Su-35 oleh Aljazair, Mesir dan Indonesia yang menurut pendapat pengamat militer, selain karena kelemahan beberapa teknologi, seperti sistem radar yang inferior dengan produk Barat, juga turut dipengaruhi oleh faktor ancaman sanksi CAATSA.

Pilih Kasih dari Amerika Serikat ?

Akan tetapi, tampaknya terjadi suatu hipokritas dalam penerapan CAATSA oleh Amerika Serikat, yang mana terdapat dua negara dengan satu kasus yang mirip, tetapi terdapat perbedaan atau pilih kasih dari Amerika Serikat terhadap salah satu negara. Kasus ini adalah antara Turki dan India mengenai pembelian sistem misil pertahanan darat-ke-udara (surface-to-air) S-400 Triumf dari Rusia.

Sistem Pertahanan Udara (Land-to-Air) S-400 Triumf Rusia. sumber : id.rbth.com
Sistem Pertahanan Udara (Land-to-Air) S-400 Triumf Rusia. sumber : id.rbth.com

Kasus Turki

Republik Turki diberikan sanksi keras oleh AS karena pemerintahan Erdogan yang bersikeras ingin membeli sistem pertahanan Rudal S-400 Triumf dari Rusia dan menolak pilihan alternatif dari AS berupa sistem pertahanan misil Patriot.  

Setelah tetap bersikeras memilih S-400 dan tidak menggubris ancaman-ancaman sanksi yang dikeluarkan AS. Pada Desember 2020, melalui Sekretaris Negara, Mike Pompeo, secara resmi menjatuhkan sanksi terhadap Turki. Imbas dari sanksi ini membuat Turki harus merelakan "dibuang" dari proyek pesawat tempur generasi lima dari blok Barat yang memproduksi dan mengembangkan pesawat F-35, yakni Joint Strike Fighter (JSF) Program.  

Kasus India

Sama seperti Turki, India juga berminat untuk membeli alutsista milik Rusia. Pada 2018, India di bawah pemerintahan Modi berminat membeli sistem S-400 Rusia dengan kontrak senilai $5 Miliar Dolar untuk kepentingan keamanan nasionalnya. Pemilihan ini sendiri, utamanya disebabkan karena S-400 dianggap lebih cocok untuk India yang 70% lebih alutsistanya adalah buatan atau kerja sama dengan Rusia.

Pada awalnya, India sempat diancam sanksi (secara tidak langsung) oleh Amerika Serikat. Namun, hampir 4 tahun sudah ancaman tersebut dilayangkan, dan dua presiden berganti. Tetap tidak ada tindakan pasti yang diambil AS terhadap India.  

Mengapa Perlakuan AS berbeda terhadap India ?

Dilansir dari media TRT Worlds, pada 26 Oktober 2021 kemarin, Mark Warner dan John Cory, dua Senator penting AS, mengirimkan sebuah surat kepada Presiden Joe Biden yang meminta agar AS memberikan "Pengecualian CAATSA" kepada India untuk memajukan Kepentingan keamanan nasional AS.

Lebih lanjut, Mantan Director-General Corps of Army Air Defence India, Vijay Kumar, melalui media yang sama, juga mengatakan, bahwa jika AS menurunkan sanksinya kepada India, maka sanksi tersebut dapat merusak hubungan ekspor pertahanan bilateral dari kedua negara yang telah dibangun selama lebih dari 30 tahun.  Sehingga, agak sedikit mustahil bagi Washington untuk mengorbankan pasar potensial untuk pemasaran alutsistanya hanya karena pembelian S-400.

Selain itu, banyak para pejabat tinggi AS yang menekankan akan pentingnya India bagi AS. Mantan Duta Besar Amerika Serikat, Kenneth Juster, misalnya, mengatakan, bahwa Washington harus memberikan "pengecualian" kepada pembelian S-400 oleh India demi tujuan kebijakan yang lebih luas.  

Dengan melakukan komparasi pada kedua kasus tersebut, dapat terlihat, bahwa alasan utama yang melandasi hipokritas Amerika Serikat adalah faktor kepentingan nasional AS yang membutuhkan partnership penuh potensi dengan India. Potensi tersebut, selain bersifat ekonomis, seperti perdagangan dan pembelian senjata, dapat juga berupa potensi "teman" dalam menghadapi kontestasi dengan Tiongkok di kawasan Asia.  

Aksi ini dapat dikatakan sebuah tindakan "jilat ludah" dari pemerintah AS. Sebab, saat menyanksi Turki di tahun 2020, pemerintah AS melalui Kantor Sekretaris Negara secara jelas mengatakan tidak memberi toleransi terhadap pihak yang bertransaksi dengan sektor pertahanan Rusia.

''Today's action sends a clear signal that the United States will fully implement CAATSA Section 231 and will not tolerate significant transactions with Russia's defense and intelligence sectors.'' 

 (Aksi hari ini adalah sinyal jelas, bahwa Amerika Serikat akan secara penuh mengimplementasikan Section 231 CAATSA dan tidak akan memberi toleransi terhadap transaksi yang signifikan dengan sektor pertahanan dan intelijen Rusia)  

Melihat ketidakadilan pada penerapan sanksi CAATSA tersebut, muncul sebuah pertanyaan bagi kita selaku warga negara Indonesia, yakni :

"Apakah Indonesia dapat memiliki privilege yang sama seperti India ?"

Sama seperti India, Indonesia juga merupakan salah satu negara penting bagi Amerika Serikat. Sebagai negara dengan ukuran ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia tentunya memiliki berbagai kerja sama strategis dengan AS. Akan tetapi, berbeda dengan India yang memiliki ketergantungan militer terhadap lebih dari 70% terhadap alutsista dari Rusia. Indonesia, sama seperti Turki masih sangatlah bergantung kepada persenjataan dari blok Barat, termasuk Amerika Serikat.

Sehingga, pihak AS sendiri disinyalir memaklumi kondisi India. Seperti yang dikatakan oleh Mantan Duta Besar India untuk Korea Selatan, Vishnu Prakash kepada media TRT World:

''India has historically been sourcing some 70 percent of her defence imports from the USSR and Russia. Thus, we have a legacy defence relationship that has served us very well. Our American friends are aware of the ground realities.''

Serasi dengan alutsista milik India, alutsista Indonesia juga mengusung doktrin "Hybrid" atau berupa campuran dari berbagai industri pertahanan dunia. Sebagai contoh, Tank Leopard Indonesia adalah buatan Jerman, kapal Sigma-Class buatan Belanda, serta pesawat-pesawat tempur dari berbagai blok, yakni dari blok produk Rusia, seperti sejumlah Sukhoi Su-27 dan Su-30, Hawk dan Dassault Rafale dari Eropa (Inggris dan Prancis), serta F-16 dari Amerika Serikat.

Akan tetapi, produk-produk Rusia bukanlah mayoritas produk pertahanan Indonesia yang didominasi produk Barat, terutama AS. Dengan demikian, alasan "pemakluman" seperti AS terapkan dengan India tidak dapat diimplementasikan kepada Indonesia.

Namun, terdapat faktor penting berikutnya yang disinyalir membolehkan India untuk membeli peralatan Rusia adalah karena posisi strategis India dan prospek keuntungan kerja sama yang dapat diperoleh AS. Dalam hal ini, Indonesia, mirip seperti India, adalah negara penting di kawasan Indo-Pasifik.

Indonesia adalah major power di Asia Tenggara. Sebagai negara dengan populasi terbanyak keempat di dunia, kekayaan alamnya, kekuatan ekonominya (yang terbesar di Asia Tenggara), serta wilayah yang luas dari Sabang sampai Merauke, maka Indonesia adalah salah satu rekan yang penting bagi Amerika Serikat.

Ekonomi yang kuat berarti Indonesia mampu membeli berbagai alutsista untuk melindungi dirinya. Wilayah yang luas berarti Indonesia memerlukan cukup banyak alutsista untuk menjaga seluruh perbatasannya. AS tentunya akan berpikir 2 kali sebelum menyanksi Indonesia demi menjaga hubungan baik.  

Sebenarnya, reaksi dari AS sendiri cukup hangat dengan Indonesia ketika sedang booming berita Indonesia akan mengakuisisi Su-35 Rusia. 

Dilansir dari media Republika, pada 2018 lalu, Sekretaris Pertahanan AS, James Norman Mattis pernah memberikan jaminan kepada pemerintah Indonesia, bahwa AS tidak akan mengembargo Indonesia karena membeli alutsista Rusia.

Dikutip juga dari media Republika, bahwa Media Antara mendapat statemen resmi yang menyatakan, bahwa "Indonesia, India, and Vietnam will not be affected by CAATSA."

 Kendati demikian, mengingat bahwa statemen tersebut diberikan pada tahun 2018 lalu, yang mana telah berjalan waktu empat tahun sejak saat itu, hingga kini di tahun 2022. Maka. tidak dipungkiri telah terjadi dinamika pada perpolitikan dunia, termasuk AS. Sehingga, statemen ini tidak dapat dijadikan acuan.  

Mengingat Indonesia merupakan negara strategis di Kawasan Asia Tenggara dan juga dapat menjadi potensi pasar alutsista AS, maka masih terdapat kemungkinan bagi Indonesia untuk meraih privilege dalam membeli produk-produk militer dari Rusia tanpa terkena sanksi dari AS. Artinya "dualitas" (dua jenis sumber alutsista/alutsista dari dua blok yang berbeda dalam hal ini menggunakan produk Rusia dan Produk Barat) dalam pengadaan Alutsista RI masih dapat berjalan.

What If ..?

Namun, katakanlah, jika AS di masa depan memaksakan pemberlakuan CAATSA kepada Indonesia. Maka, potensi dari CAATSA ini menjadi sebuah sinyal bahaya bagi Indonesia, karena CAATSA "memaksa" Indonesia untuk memiliki ketergantungan dengan produk Barat, terutama Amerika Serikat. Ketergantungan terhadap satu negara merupakan hal yang fatal, sebab negara tersebut memiliki "leverage" yang dapat memaksa kita mengikuti kebijakan dari negara tersebut.

Konsekuensi Ketergantungan Alutsista :  

Salah satu sanksi yang mungkin dapat dilayangkan pemerintah AS jika Indonesia melanggar CAATSA adalah embargo. Indonesia sudah dua kali menelan "pil pahit", akibat dari ketergantungan alutsista dari negara lain. Peristiwa pertama terjadi saat Uni Soviet mengembargo Indonesia sebagai jawaban atas kebijakan Suharto yang saat itu pro dengan Barat pasca lengsernya Sukarno di tahun 1966. Peristiwa kedua dilakukan oleh AS di masa pemerintahan Presiden Bill Clinton sebagai jawaban atas peristiwa Pelanggaran HAM di Timor Timur menjelang awal tahun 2000-an.

Kedua Embargo ini mengakibatkan banyak alutsista Indonesia tidak dapat digunakan karena kekurangan suku cadang dan hal-hal pendukung lainnya. Sehingga, Indonesia rawan akan serangan dari luar maupun dalam pada periode waktu tersebut.

Tank Harimau, produk kerja sama Indonesia-Turki. Sumber : pindad.com
Tank Harimau, produk kerja sama Indonesia-Turki. Sumber : pindad.com

Dengan demikian, satu-satunya solusi bagi Indonesia untuk terlepas adalah dengan meraih "Swasembada Alutsista". Proses kemandirian ini sebenarnya sudah mulai dijalankan oleh pemerintah dengan cara membeli alutsista dengan menambahkan sistem ToT (Transfer of Technology), serta kerja sama strategis dengan negara-negara lain dalam pengembangan alutsista, seperti Kapal Selam kelas ChangBogo dan Pesawat KFX/IFX dengan Korea Selatan, serta Tank Harimau dengan Republik Turki. 

Namun, perjalanan Indonesia menuju kemandirian alutsista tampak masih panjang.

Referensi :

1          https://2017-2021.state.gov/the-united-states-sanctions-turkey-under-caatsa-231/index.html  

2          https://theprint.in/diplomacy/us-unlikely-to-impose-caatsa-sanctions-on-india-for-s-400-but-other-russian-deals- wont-be-easy/775259/

3          https://www.state.gov/section-231-of-the-countering-americas-adversaries-through-sanctions-act-of-2017/

4          https://www.forbes.com/sites/pauliddon/2022/01/11/caatsa-or-pesa-why-have-these-countries-decided-against-acquiring-russias-su-35-fighter/?sh=526f90e36204

5          https://www.trtworld.com/magazine/russian-s-400-will-india-face-us-sanctions-like-turkey-did-52246

6.         https://www.republika.co.id/berita/pe7u3c414/us-guarantees-to-not-sanction-indonesia-for-buying-sukhoi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun