1 : Awal mula aku menyukaimu.
Aku tersenyum sumringah melihat kotak kecil berbalut kertas kado di atas ranjang, kamarku.
" Wah, apa itu ? " tanyaku membatin sambil berlari kecil, kemudian menjatuhkan diriku di atas ranjang, sambil memutar-mutar kotak itu, berharap menemukan kertas kecil berisi petunjuk. Tetapi, ternyata tidak tertulis apa-apa. Memang hanya sebuah kotak dengan kertas kado bermotif bunga.
" Sayang, lagi apa ? " tiba-tiba suara mama terdengar dari balik pintu kamarku. Aku mengangkat wajahku, senyumanku masih bertengger dibibir tipisku, seraya mengangkat tanganku perlahan, memamerkan benda kecil itu kearah mama. Mamaku tersenyum sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
" Kok bisa suka ? Kan belum tahu isinya apa .... "
" Terimakasih mama ! Mama memang mama yang terbaik di dunia ini .... " aku melompat ke arahnya, memeluknya erat-erat, seketika aroma melati menusuk hidungku. Tapi aku tidak merasa risih, selama aroma itu berkaitan dengan mama, aku menyukainya.
" Sama-sama sayang .... yasudah, kamu buka dulu kadonya. Mama mau ke dapur ya, nyiapin makan siang " ucap mama sambil mengacak-acak rambutku. Aku mengangguk-angguk, kembali ke ranjangku, lalu dengan cepat merobek kertas kado itu, mataku berbinar ketika mengetahui apa isi kotak tersebut. Kotak music berbentuk snowball, di dalam snowball itu ada seekor unicorn yang sedang berdiri di samping pohon sakura. Kuputar lagu yang ada di snowball kotak musik itu, suaranya sangat merdu sekali, selain itu, tiba-tiba pohon sakura di dalam snowball itu mengeluarkan bola air salju yang berputar mengelilingi pohon sakura dan unicorn tersebut. Cantik sekali !!! Ya ampun, aku sangat suka sekali !! Aku berteriak kegirangan, buru-buru keluar dari kamarku, ingin mengucapkan terimakasih lagi kepada mamaku, dan juga kepada papaku --- setiap hari ulang tahun papaku, mama selalu memberikan kado untukku. Awalnya aku bingung, kenapa aku yang mendapat kado, padahal yang ulang tahun papa. Tapi, lama kelamaan, aku tidak mempersoalkan masalah itu, aku takut mama berubah pikiran, dan tidak memberiku kado lagi, jadi lebih baik aku diam saja kan ? Supaya mama tetap memberiku kado, di hari ulang tahun papa.
" Mama .......... terimakasih kadonya ya !!! Luna SUKAAA BANGET !!!!!!!!! " pekiku kegirangan ketika sudah berada di dapur. Namun tiba-tiba langkahku terhenti, aku terkesiap melihat mama menatap papa dengan pandangan berbeda. Dari ekspresinya, mama terlihat tidak senang. Ekspresi yang baru aku lihat hari ini. Sementara papa, papa hanya menunduk. Ia tidak berkata apa-apa, namun dari ekspresinya, papa terlihat sedih. Entah apa yang membuat papa sedih. Apakah papa akhirnya menyadari, bahwa seharusnya yang mendapat kado adalah papa, karena ini kan hari ulang tahunnya. Apakah papa marah kepadaku, karena setiap papa ulang tahun, malah aku yang mendapat kado ? Tapi tunggu dulu, itu bukan ekspresi marah, itu ekspresi sedih. Jadi, papa sedih ya , karena tidak dibelikan kado ?
Baiklah, supaya papa tidak sedih, dan mama tidak menunjukan ekspresi yang tidak ku mengerti itu, aku melangkahkan kaki ku menuju ke arah mereka, masih mengenggam snowball music boxnya, hendak memberikannya kepada papa. Tiba-tiba langkahku terhenti. Aku tercengang, melihat mama tiba-tiba mengguyur tubuh papa dengan air yang ada di botol. Aroma air dalam botol itu tidak mengenakan, baunya sangat menyengat. Pantas saja papa sedih, ternyata selain papa tidak mendapat kado, papa malah disiram air yang bau --- sama mama. Haduh, gimana sih mama ? Kan tadi pagi papa sudah mandi, kok malah disiram sama air bau ?.
" Mbak, istighfar ! " tiba-tiba om Tian keluar dari pintu kamar mandi, buru-buru mencegah mamaku. Ekspresi mama masih sama, bahkan sekarang perubahan ekspresinya begitu terlihat jelas. Ternyata mama marah. Aku masih bingung, papa yang disiram, kenapa mama yang marah ?. Apakah mama marah, karena papa sedih tidak dapat kado dari mama, di hari ulang tahunnya ?.
" Mbak, sudah ! Istighfar ! Ada Luna .... " ucap om Tian --- adik mamaku, dengan suara lembut. Seperti baru sadar dengan keberadaanku, mama buru-buru menatap langit-langit dapur. Menyeka kedua matanya dengan tangannya. Aku masih bingung dengan situasi ini. Ada apa sih ?.
" Luna ? Lagi ngapain disitu ? Sini ! Kesini ! Papa mau lihat, mama kasih kado apa ke Luna ....? Papa boleh lihat tidak ? " papa menoleh kearahku --- perubahan ekspresinya juga cepat. Kini ia tersenyum. Aku diam. Suasana hening sebentar.
" Luna, mau dibeliin kado apa dari om ? " ucap om Tian menghampiriku.
" Wah, bagus banget music box nya .... " papa juga ikutan menghampiriku, seraya mengambil music box yang ada di tanganku. Sementara mama, mama masih berdiri beberapa langkah dariku. Ia nampak ragu-ragu menghampiriku.
" Ma, papa sedih ya ? Karena mama gak pernah kasih kado ke papa, pas ulang tahun papa ? Om Tian, daripada beliin kado buat Luna, bisa tidak, beliin kado buat papa saja ? Yang sama kaya gini ? Kasian papa, kayanya papa suka deh sama music box ini .... tapi Luna juga udah suka banget. Jadi om Tian bisa gak, beliin yang sama persis kaya gini, buat papa ? " ucapku dengan wajah memelas kearah om Tian. Om Tian dan papa tertawa canggung. Sementara mama masih hening. Entah, situasi apa ini. Kenapa tiba-tiba lembab dan gelap.
***
Malamnya, setelah menghabiskan nasi goreng buatan mama, seperti biasa om Tian, papa, dan mama berbincang-bincang di teras rumah. Tetapi, karena tiba-tiba hujan deras di luar sana, papa dan om Tian memutuskan untuk berbincang-bincang di ruang keluarga, sambil menonton acara TV. Sedangkan mama, memintaku untuk masuk ke dalam kamarku lebih awal --- sepertinya mama ingin berbicara berdua denganku. Aku pun menurut, masuk ke dalam kamar, duduk di ranjang sambil memegang music box, dan bersiap memutar lagunya. Tidak hanya lagunya yang indah, tetapi bola air salju yang tiba-tiba berputar mengelilingi pohon sakura dan unicorn itu terlihat indah sekali.
" Luna, mama mau cerai sama papa .... " entah setan apa yang merasuki tubuh mamaku. Tanpa babibubebo, tiba-tiba mama mengeluarkan statement yang tak pernah ku duga, itu akan keluar dari mulut mama. Mamaku yang lembut, baik, tidak pernah memarahiku, mamaku yang selalu memanjakan aku dan papa ---juga om Tian, kalau om Tian sudah mulai iri.
" Maksud mama ? "
" Cerai .... pisah, sudah tidak tinggal bareng sama papa lagi .... "
" Terus nanti papa tinggal dimana ? Luna ikut siapa ? " aku masih tidak paham dengan arah pembicaraan ini.
" Papa keluar dari rumah ini, papa cari rumah sendiri. Luna, mama, dan om Tian tinggal disini. Gak apa-apa kan ? Luna, ok kan ? " penekanan ucapan mama di akhir kalimat, membuat senyum getirku muncul. Tiba-tiba aku merasa ribuat semut mengigit jantungku. Bagaimana bisa, mama yang selembut kapas, dan secantik bidadari ini, berbicara seperti itu terhadapku ? Ringan sekali, seperti daun kering yang berjatuhan di musim gugur.
" Nanti kalau papa dan mama sudah resmi berpisah, Luna tetap bisa kok. Ketemu sama papa. Mama tidak akan larang .... "
" Ma .... "
" Iya ? "
" Kasih tahu Luna alasannya .... kenapa mama harus pisah sama papa ? " mendadak aku sudah tidak berniat memutar music yang ada di snowball tersebut. Ku letakan begitu saja di samping mama. Mama menghela nafas pendek.
" Nanti, kalau Luna sudah besar. Mama akan kasih tahu alasannya .... " mama mengelus rambutku, namun ini adalah pertama kalinya aku menepis tangannya.
" Luna sudah besar, sudah kelas 7 SMP .... "
" Nanti kalau Luna sudah SMA , mama akan cerita, kenapa mama harus pisah sama papa "
" Kalau memang Luna harus menunggu alasanya, selama itu .... bisakah mama pisah ketika Luna sudah SMA ? " entah mengapa mataku berkaca-kaca. Aku tidak paham, dan berusaha mencerna apa maksud mama. Begitu banyak ucapan-ucapan yang menganggu di pikiranku. Berisik sekali !
" Bisa diam tidak ! " aku kaget dengan suaraku sendiri, ia membentak --- tapi aku tidak membentak mama.
" Luna ? Are you ok ? "
" No, I'm not ... "
" Luna, maafin mama ya ... mama tidak bisa cerita sekarang, tapi ... tapi mama janji, mama akan cerita sama Luna, kalau Luna sudah besar nanti .... " mama mengalihkan pandangannya, ia tidak menatapku lagi. Aku diam, ikut menoleh ke arah lain. Oh, ya ampun ! Aku lupa menutup jendela kamarku, dan baru sadar bahwa hujan di luar deras sekali. Air hujan menusuk-nusuk ke sebagian kaca jendela kamarku, sementara kawanannya berhasil membasahi beberapa titik di kamarku.
Aku beranjak dari tempat tidur, meninggalkan mamaku, berjalan keluar. Mama terlihat bingung, namun diam saja. Begitu juga dengan om Tian, dan papa. Mereka hanya tercengang, menghentikan aktivitasnya --- menonton TV.
Aku melangkahkan kaki ku menuju pintu rumah, membukanya sedikit. Berjalan dengan langkah gontai, berdiri di atas rerumputan yang sudah mulai memajang, kemudian memejamkan mataku rapat-rapat, membiarkan hujan membasahi rambut panjangku, membiarkannya menghujam tubuhku dengan beribu-ribu air hujan, aku menengadahkan kepalaku ke langit. Menghirup aroma hujan yang ternyata menenangkan diriku. Berisik di kepalaku, perlahan menghilang. Ternyata ini awal aku mulai menyukaimu. Hujan ....
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H