Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mini Cerpen (31) Sri Amethyst Al-Tuhra

20 Mei 2010   03:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:06 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Kenal di mana dengannya ?"

"Di acara Hura-hura itu mi, waktu di Cawang --- dia anak bagus mi, dia pengurus majalah dinding, mading di sekolahnya mi. dia pintar mengarang mi ". Tiis mencoba menerangkan prihal si Boy "

"Namanya siapa, nama lengkapnya siapa ?"

"Boy Rangkong mi"

"Boy Rangkong, anak orang apa itu --- Islam ?"
"Muslim mi, dia ikut pengajian di sekolahnya mi"

Abah dan Umi (memang kadang-kadang si Tiis, sebagai anak ragil yang manja --- memanggil "bunda") menonton acara semacam di berbagai stasiun TV untuk mengevaluasi pra - selama acara - dan pasca acara, untuk mengantisipasi pergaulan anaknya. Kesimpulannya Tiis dilarang untuk mengikuti acara semacam itu, sudah cukuplah--- kompensasinya agar menggiatkan pergaulan internet dan apresiasi seni di pesantren.

Tujuannya membatasi pergaulan dengan si Boy, yang tidak sesuai dengan tingkat umur si Amethyst.

Setiap Minggu subuh di Mesjid pesantren diadakan kuliah subuh --- membahas Tafsir Al Qur'an, Hadist, dan Fikih --- acara terakhir tanya jawab dengan Kyai --- Kyai tidak menyadari bahwa pekan ini ada seorang anggota jemaah baru di sana --- memang seperti lazim pengajian dan kuliah di pesantren --- bersifat terbuka. Siapa saja, tingkat pengetahuan mana saja --- umur dan jenis kelamin --- terbuka dan bebas untuk mengikuti, hadir atau absen. Bebas dan merdeka. Banyak para santri dan hadirin --- kyai tidak dapat memperhatikan satu per satu. Biasa acara penutup adalah menyanyikan salawat Rasul, bersalaman dengan kyai --- banyak yang mencium tangannya --- dan kalau ada rejeki boleh menyisipkan sumbangan untuk pesantren.

Kyai Ramli terbayang kembali --- seperti adegan film --- ia sadar setelah pemuda itu lewat dalam kerumunan hadirin. Pemuda gondrong dengan kemeja jeans berkopiah.

Minggu ini pun kyai tetap memberikan tausiah dan kuliahnya --- acara itu diawali dengan sholat Subuh berjemaah. Sewaktu memberi ceramah kyai tidak mengingat kesan pemuda minggu lalu. Tetapi saat istirahat menjelang tanya jawab --- kyai mencoba memandang sekitar hadirin --- tidak terlihat pemuda gondrong yang spesifik itu. Ia melanjutkan acara.

Waktu salaman kembali sosok pemuda itu terlewat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun