FYI, menurut simbah, di zaman  itu tak ada transportasi mesin sama sekali, yang ada sepeda onthel atau dokar (delman) kalau beruntung.Â
Nah, ketika masuk ke pemakaman Belanda, simbah mendengar ada suara kaki kuda, kayak delman gitu lho, tahu kan? Senang. Itu artinya, beliau bisa dompleng alias ikut naik.Â
Ditunggu bermenit menit di pinggir jalan tanah, dokar itu tak kunjung lewat. Kadang suara gemerincing dan tapak kaki terdengar, kemudian, sayup-sayup menghilang.Â
Penasaran, didatangi-lah suara yang mengarah pada samping pohon beringin dekat pemakanan Belanda. Betapa kagetnya simbah tatkala mendapati kuda beserta kereta, tapi kuda tak memiliki kepala.
Melihat itu, jelas, simbah kaget minta ampun. Beliau pingsan ditempat dan ditemukan oleh warga sekitar pukul 6 pagi. Sejak saat itu, ketika menuju pasar, simbah pasti selalu orang lain.Â
Mendengar cerita simbah, saya dan lainnya begitu antusias. Bahkan sampai begadang menuju pagi, hanya untuk mengulik pengalaman-pengalaman yang lain.Â
Wajar saja, itu hari terakhir simbah berada di Pekalongan untuk bersilaturahmi di Hari Raya. So, jadi momen pertemuan dan sharing yang menyenangkan bagi saya dan saudara.Â
Cerita lain dari simbah,Â
Simbah dan bapaknya merupakan pecinta sayang kulit. Wajar, hiburan orang zaman dulu memang sayang kulit, bukan konser seperti sekarang hehe.
Malam itu, sekitar pukul 10 malam, bapak dari simbah mendengar bahwa di desa sebelah ada pagelaran wayang kulit. Simbah bilang kalau ia masih berusia 7 tahunan. Masih kelas 1 SD.Â
Nah, perjalanan dari rumah menuju lokasi memang gak dekat guys, membutuhkan waktu 1,5 jam dengan jalan kaki.Â