Masih ingat, dua kisah legend simbah sewaktu masih kecil, mengenai kuda tanpa kepala dan bocil-bocil bergelantungan di pohon beringin pada tengah malam, kurang lebih begini ceritanya,Â
Simbah saya dulu sering membantu bapaknya berdagang daging kerbau. Usia beliau sekitar 14 tahun. Setiap hari, pukul 3 pagi, beliau terbiasa naik turun gunung menuju pasar.Â
FYI, menurut simbah, di zaman itu tak ada transportasi mesin sama sekali, yang ada sepeda onthel atau dokar (delman) kalau beruntung.Â
Nah, ketika masuk ke area pemakaman Belanda, simbah mendengar ada suara langkah kaki kuda, kayak delman gitu lho, tahu kan? Simbah senang, karena berarti beliau bisa dompleng alias ikut naik.Â
Ditunggu bermenit-menit di pinggir jalan tanah, dokar itu tak kunjung lewat. Kadang suara gemerincing dan tapak kaki terdengar, kemudian, sayup-sayup menghilang.Â
Penasaran, didatangi-lah suara yang mengarah pada samping pohon beringin dekat pemakaman Belanda. Betapa kagetnya simbah tatkala mendapati ada kuda beserta kereta, tapi kuda tak memiliki kepala.
Melihat itu, jelas, simbah kaget minta ampun. Beliau pingsan di tempat dan ditemukan oleh warga yang mau ke sawah, sekitar pukul 6 pagi. Sejak saat itu, ketika menuju pasar, simbah pasti selalu dibersamai orang lain.Â
Mendengar cerita simbah, saya dan lainnya begitu antusias. Bahkan sampai begadang menuju pagi, hanya untuk mengulik pengalaman-pengalaman yang lain.Â
Wajar saja, itu hari terakhir simbah berada di Pekalongan untuk bersilaturahmi di Hari Raya. So, jadi momen pertemuan dan sharing yang menyenangkan bagi saya dan saudara.
Cerita lain dari simbah,Â
Simbah dan bapaknya merupakan pecinta wayang kulit. Wajar, hiburan orang zaman dulu memang wayang kulit, bukan konser musik seperti sekarang hehe.