Sebenarnya, bapak simbah punya sepeda onthel, hanya saja, karena jalannya tak rata dan nanjak, bakal kesulitan jika naik sepeda.Â
Singkat cerita sampailah keduanya di sebuah gapura desa yang ditandai oleh pohon bambu dan beringin. You know guys! Menurut simbah, beliau dan bapaknya melihat anak-anak kecil bergelantungan di pohon bambu lantas meloncat ke beringin.Â
Mereka bergerak seperti monyet-monyet gitu. Tapi itu bocah-bocah bayi. Takut, simbah akhirnya digendong bapaknya. Si bapak cuma menyuruh simbah menutup mata dan diam.Â
Bapak simbah termasuk orang yang berani. Ketika salah satu bocah (mungkin tuyul kali ya) mendekati, beliau langsung bilang dengan suara keras untuk tak mengganggu karena hanya ingin nonton wayang.
Ternyata, itu berhasil. Bocah-bocah itu masih bergelantungan, tapi tak mengganggu perjalanan keduanya. Mereka membiarkan simbah dan bapaknya lewat.
Kalau kata simbah, bapaknya memang pemberani. Pernah ketemu "Mbak-Mbak berambut panjang" di jalan, malah dibentak, di suruh minggir.Â
Pokoknya tiap ketemu hantu, langsung didekati dan dimarahi. Wow, sekali lah bapaknya simbah memang. Kalau aku mungkin sudah terbirit-birit hehehe
Itulah dua pengalaman horor yang dibagikan simbah. Sebenarnya, beliau cerita banyak, tapi saya hanya berbagi dua saja. Memang, saya akui bahwa kota kelahiran simbah, Kebumen, bukan kota ramai ketika saya kecil.Â
Apalagi di zaman simbah, rumah-rumah masih jarang, transportasi cuma mengandalkan sepeda dan dokar, jalanan masih berupa tanah bukan aspal. Jelas bahwa suasana masih wingit.Â
Bicara tentang horor, mengapa itu begitu memikat ya, padahal bisa jadi pendengarnya merupakan penakut? Saya ingat, di tongkrongan cerita horor jadi bahasan menarik demi mencairkan suasana.Â
Mulai dari cerita ada suara-suara tertentu, hingga menemukan hal-hal aneh di kosan. Bahasan mengenai hantu dan kawan-kawannya terasa menyenangkan. Padahal, rata-rata kami yang mendengar merupakan penakut hahaha.Â