Mohon tunggu...
Nurul Mutiara R A
Nurul Mutiara R A Mohon Tunggu... Freelancer - Manajemen FEB UNY dan seorang Blogger di www.naramutiara.com

Seorang Perempuan penyuka kopi dan Blogger di http://www.naramutiara.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Keputusan Hidup dan Mati melalui Jaring dan Mata Kail

20 Juli 2024   17:11 Diperbarui: 21 Juli 2024   02:49 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jala dan pancing untuk menangkap ikan (Sumber : Pixabay/Kris) 

"Jangan tangkap ibu dan ayahku, Pak. Jika mereka mati, kami tak bisa bertahan dalam perairan yang luas ini"

***

Seorang lelaki bertubuh kekar membawa sebuah tas berisi perlengkapan perangnya. Apakah itu senapan atau pistol? Bukan, bukan Ferguso! Perlengkapan perang yang dimaksud adalah pancingan, jala kecil dan pakan ikan. 

Lelaki itu bukan hendak berperang melawan VOC atau tentara Jepang. Ia hendak berperang melawan tarikan ikan yang sangat kuat di sungai atau danau. Yup, ia merupakan pemancing ulung. 

Suatu waktu, lelaki ini mendapatkan ikan toman besar berwarna kuning kehitaman. Ia kemudian melihat, di antara toman dan air yang bergolak, terdapat gerombolan anak berwarna merah. 

Ternyata, si toman sedang mengasuh anak-anaknya. Kasihan, ia kemudian merilis si toman kembali ke sungai. Tak lama kemudian, induk toman tersebut berkumpul kembali bersama gerombolan anak berwarna merah. 

Di kamera, pemancing bijak itu berkata

"Guys, kalau kalian menemukan ikan yang masih punya anak. Jangan diambil ya, kasihan, sebagai pemancing, kita harus bijak memilah tangkapan kita"

Video itu pun mendapat banyak komentar positif dari netizen, meski ada beberapa diantaranya yang ngeyel, menganggap bahwa pada akhirnya, besar atau kecil, ikan akan masuk ke penggorengan juga. 

Setiap pemancing memiliki prinsip sendiri dalam hidupnya. Pemancing bijak akan mengambil ikan-ikan dewasa yang tidak sedang hamil atau merawat anak. Mereka sadar bahwa eksistensi ikan sangat bergantung pada keputusan mereka ketika menangkap ikan.

Baru-baru ini, viral sebuah video mengenai seorang pemancing yang melepaskan dua ekor indukan toman yang sedang menjaga bayi-bayinya. Kalian bisa lihat videonya di Perilisan ikan toman

Dua ekor toman itu besar, yang tentu saja sangat menggiurkan untuk dibawa pulang. Tak heran, keputusan untuk melepaskan keduanya ke air membutuhkan kesadaran, kerelaan, dan empati tingkat tinggi.

Ikan Toman yang dipelihara di akuarium (dok.pri) 
Ikan Toman yang dipelihara di akuarium (dok.pri) 

Toman (Channa micropeltes) adalah sejenis ikan yang termasuk keluarga gabus-gabusan atau snakehead. Ikan ini tersebar di Indonesia bagian barat yaitu Sumatra, Kalimantan dan pulau-pulau sekitarnya. Ia sangat mudah ditemui di perairan sungai, danau, rawa, sawah, hingga saluran irigasi.

Selain dimanfaatkan untuk konsumsi, toman juga sering dijadikan ikan hias karena wujudnya yang cantik. Menurut wikipedia, toman memiliki kebiasaan ‘mengasuh’ anak-anaknya. Induk toman sering didapati berenang di sekitar kelompok anak-anak toman yang masih kecil-kecil. 

Ketika sang induk diambil oleh manusia, anakan toman akan kocar-kacir tak karuan. Mereka bisa dengan mudah dimangsa oleh predator lain sehingga mati. 

Tak heran, mendapati video perilisan ikan toman kembali ke anak-anaknya mendapat banjir dukungan. Dari netizen biasa hingga para pemancing bijak lainnya banyak yang berkomentar bahwa itu tindakan tepat.

Siapa yang tak bahagia bila mata kail yang dilepaskan bergerak hebat karena tarikan ikan yang kuat? Saya yakin semua orang bakal bahagia. 

Namun, bila mendapati mata kail itu seekor induk yang dikerubungi bayi-bayi ikan berwarna merah, sangat bijak untuk tak mengambilnya. Hidup dan mati ikan kecil-kecil bergantung pada pemilik mata kail. 

Tahukah kamu bahwa di Indonesia, belida masuk sebagai ikan yang hampir punah? Selama dua dekade ini, jumlah ikan belida kian mengerucut. 

Besarnya permintaan ikan belida untuk bahan baku pempek hingga makanan lainnya membuat perburuan ikan ini meningkat tajam. Imbasnya, jumlahnya di alam tak lagi melimpah. 

Berkurangnya ikan belida di alam membuat pemerintah melarang penangkapan ikan belida melalui Peraturan Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) nomor 1 Tahun 2021.

Bagi warga yang menangkap ikan belida, dapat dikenakan sanksi pidana,

Pasal 100 Junto Pasal 7 ayat 2 huruf C Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU RI No 31 Tahun 2004 mengenai Perikanan dengan denda maksimal Rp 250 juta. 

Ketika aturan tersebut ditetapkan, pro dan kontra mengalir. Berbagai pihak yang kontra menuding bahwa jumlah ikan belida masih banyak di sungai-sungai sehingga tak masalah bila ditangkap. Benarkah masih banyak? Entahlah. 

Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah artikel mengenai "Larangan Menangkap Ikan di Sungai Yangtze" yang ditulis oleh Antara.com. Dalam ulasan tersebut, pemerintah Tiongkok secara legal melarang pengambilan ikan selama 10 tahun. 

Kebijakan tersebut diberlakukan untuk melindungi keanekaragaman hayati sepanjang aliran sungai Yangtze. Saat ikan tak ditangkap maka mereka akan berkembang biak sehingga kelestariannya terjaga. 

Sebagai gantinya, pemerintah Tiongkok memberi kompensasi bagi nelayan terdampak, dalam bentuk kolam budidaya, benih bermutu tinggi serta saluran penjualan untuk membantu nelayan menjual ikan segar sebagai mata pencaharian.

Jujur, saya sangat mengapresiasi kebijakan pelestarian alam tersebut, meski punya dampak bagi masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan air tawar. 

Berita baiknya, pemerintah Tiongkok tak lepas tangan begitu saja. Melalui Departemen Perikanan setempat, para nelayan dibantu melalui budidaya ikan. Jadi mereka tak lagi mengambil melainkan merawat ikan. 

Keren ya. Bagaimana jika di indonesia juga diterapkan kebijakan yang sama untuk pelestarian ikan? Well, saya yakin cukup berat karena berbagai pertimbangan. 

Sebenarnya kita belum perlu bertindak seperti di Tiongkok. Demi pelestarian ikan di tiap perairan, para penangkap ikan haruslah bijak. Bagaimana caranya?

Pertama. Tidak menggunakan racun saat menangkap ikan. Racun bukan hanya membunuh ikan, tetapi juga merusak lingkungan karena membuat air tercemar zat beracun.

Kedua. Tidak mengambil ikan yang masih bertelur atau menjaga anak-anaknya. Contohnya seperti ikan toman yang sedang mengasuh bayi-bayinya.

Ketiga. Tidak menggunakan alat listrik saat mengambil ikan. Itu bisa membunuh ikan-ikan kecil maupun hewan air lainnya.

Keempat. Memberi rentang waktu dalam mengambil ikan, misal sebulan sekali, tujuannya agar ikan bisa berkembang biak. 

Kelima. Jangan serakah mengambil ikan meskipun jumlahnya melimpah. Ambil secukupnya. Kalau bisa, kamu bisa melepaskan benih ikan domestik ke perairan agar berkembang biak. So, ada saatnya mengambil, ada saatnya melepaskan benih ikan (jangan ikan invasif ya). 

***

Tuhan menciptakan ikan dan berbagai kekayaan di bumi ini memang untuk dikelola oleh manusia. Melalui jaring dan kail, keduanya menentukan kelestarian makhluk lain. 

Manusia punya dua pilihan, bertindak serakah atau bertindak bijak. Tentu, di masa depan kita ingin anak cucu tetap bisa melihat ikan-ikan berenang dengan bebasnya, bukan sebatas berada di buku pelajaran akibat kepunahan layaknya Dinosaurus.

Dear pemancing maupun penjala ikan, kelestarian ikan-ikan bergantung pada jaring dan mata kailmu. Bijaklah dan pikirkanlah eksistensi makananmu bukan hanya untuk hari ini tapi juga untuk keberlanjutan kelak.

Semoga ulasan ini bemanfaat, salam hangat dan lestari dari Nurul Mutiara R A

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun