Indonesia bukan negara yang terlibat langsung dalam klaim wilayah atas Laut China Selatan (LCS) layaknya Tiongkok, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina dan Taiwan. Namun perairan Natuna Utara yang masuk sebagai bagian dari ZEE, tak luput dari atensi Tiongkok yang ingin menguasai wilayah berdasarkan Nine Dash Line.
Jika sudah begini, pemerintah tak bisa diam, Indonesia harus pasang badan untuk menjaga kedaulatan dan hak atas lautnya sepanjang 200 mil. Gebrakan Pemerintah Indonesia untuk menjaga Natuna Utara pun dinantikan.
***
Laut China Selatan (LCS) merupakan aset berharga bagi tiap negara yang mengelilinginya. Alasan pasti, tiap negara punya kepentingan dalam memenuhi kebutuhan nasionalnya. Laut China Selatan (LCS) menawarkan sumber daya alam melimpah bagi pemenuhan kebutuhan industri seperti gas bumi, minyak mentah hingga perikanan.
Beberapa pihak mengestimasi cadangan minyaknya mencapai 213 miliar barel, sementara untuk Kepulauan Paracel dan Spratly sekitar 105 miliar barel.
Bukan soal itu saja, LCS masuk sebagai jalur laut strategis untuk kebutuhan perdagangan atau Sea Line of Trade (SLOT) serta jalur komunikasi Internasional atau Sea Line of Communication (SLOC). Disinyalir, potensi sebagai jalur lalu lintas laut, tiga kali lebih besar dibanding Terusan Suez, dan lima kali lipat dibanding Terusan Panama.
Semua potensi tersebut menjadikan LCS sebagai primadona bagi Tiongkok maupun Claimant States. Tak heran, beragam kepentingan tersebut memunculkan konflik perebutan wilayah di Laut China Selatan.
Sebenarnya konflik ini telah membara begitu lama. Tepatnya sejak tahun 1949 ketika Tiongkok melakukan klaim sepihak atas LCS menggunakan peta buatannya berbentuk Nine Dash Line.
Tiongkok juga mengatakan bahwa LCS merupakan haknya secara historis, sebab itu masuk kekuasaannya sejak zaman Dinasti Han pada 2 M hingga Dinasti Ming pada abad 13 M.
Berbeda dengan Tiongkok, anggota negara ASEAN yang menjadi “Claimant States”, menggunakan dasar geografis melalui Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982 yang disetujui oleh 164 negara. Dasar hukum tersebut lebih baru dan diakui secara internasional sebagai tata hukum yang mengatur perairan.