Mohon tunggu...
Nurul Mutiara R A
Nurul Mutiara R A Mohon Tunggu... Freelancer - Manajemen FEB UNY dan seorang Blogger di www.naramutiara.com

Seorang Perempuan penyuka kopi dan Blogger di http://www.naramutiara.com/

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menanti Gebrakan Indonesia untuk Menjaga Natuna Utara

31 Mei 2024   20:00 Diperbarui: 31 Mei 2024   21:28 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia bukan negara yang terlibat langsung dalam klaim wilayah atas Laut China Selatan (LCS) layaknya Tiongkok, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina dan Taiwan. Namun perairan Natuna Utara yang masuk sebagai bagian dari ZEE, tak luput dari atensi Tiongkok yang ingin menguasai wilayah berdasarkan Nine Dash Line.

Jika sudah begini, pemerintah tak bisa diam, Indonesia harus pasang badan untuk menjaga kedaulatan dan hak atas lautnya sepanjang 200 mil. Gebrakan Pemerintah Indonesia untuk menjaga Natuna Utara pun dinantikan.

***

Laut China Selatan (LCS) merupakan aset berharga bagi tiap negara yang mengelilinginya. Alasan pasti, tiap negara punya kepentingan dalam memenuhi kebutuhan nasionalnya. Laut China Selatan (LCS) menawarkan sumber daya alam melimpah bagi pemenuhan kebutuhan industri seperti gas bumi, minyak mentah hingga perikanan.

Beberapa pihak mengestimasi cadangan minyaknya mencapai 213 miliar barel, sementara untuk Kepulauan Paracel dan Spratly sekitar 105 miliar barel.

Bukan soal itu saja, LCS masuk sebagai jalur laut strategis untuk kebutuhan perdagangan atau Sea Line of Trade (SLOT) serta jalur komunikasi Internasional atau Sea Line of Communication (SLOC). Disinyalir, potensi sebagai jalur lalu lintas laut, tiga kali lebih besar dibanding Terusan Suez, dan lima kali lipat dibanding Terusan Panama.

Semua potensi tersebut menjadikan LCS sebagai primadona bagi Tiongkok maupun Claimant States. Tak heran, beragam kepentingan tersebut memunculkan konflik perebutan wilayah di Laut China Selatan.

Sebenarnya konflik ini telah membara begitu lama. Tepatnya sejak tahun 1949 ketika Tiongkok melakukan klaim sepihak atas LCS menggunakan peta buatannya berbentuk Nine Dash Line.

Tiongkok juga mengatakan bahwa LCS merupakan haknya secara historis, sebab itu masuk kekuasaannya sejak zaman Dinasti Han pada 2 M hingga Dinasti Ming pada abad 13 M.

Berbeda dengan Tiongkok, anggota negara ASEAN yang menjadi “Claimant States”, menggunakan dasar geografis melalui Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982 yang disetujui oleh 164 negara. Dasar hukum tersebut lebih baru dan diakui secara internasional sebagai tata hukum yang mengatur perairan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun