Tiada padam api kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tanpa peran para perempuan. Tiada padam pula semangat Bu Wardah dan lainnya, saat panci-panci besar berisikan nasi panas itu membara di atas kompor yang menyala.
“Bu Wardah, ini nasi kotaknya mau diantar ke petugas Manggala Agni atau ke Puskesmas Majukarta?”
Tanya seorang perempuan berbaju kuning yang sedari tadi menata nasi dan lauknya ke dalam kotak, lantas memasukkannya ke kardus-kardus air mineral kosong.
“Dibawa ke petugas Manggala aja Bu Maria, tadi yang ke puskesmas sudah dibawa Bu Yasin dan suaminya. Oh iya, jangan lupa air mineralnya juga dibawa ya Bu. Sepertinya, para petugas membutuhkan air minum selama bertugas” Jawab Bu Wardah
“Siap 86, saya akan ajak dokter Putri dan Bu Ratna juga ke sana, siapa tahu, ada yang membutuhkan bantuan medis dan obat-obatan”
Bu Wardah mengacungkan dua jempol sambil tersenyum, seolah mengisyaratkan kata, Okeeeee!!!!
Secara cekatan, kardus-kardus dibawa menuju mobil pick up yang terparkir di halaman aula besar bertembok hijau. Tanpa mengeluh sekalipun, para ibu dan bapak terlihat menaikkan kardus berisi nasi kotak.
Kebakaran hutan di Kelurahan Majukarta sudah 3 hari tak kunjung padam. Besarnya angin hingga minimnya akses menuju pusat api membuat para petugas pemadam cukup kesulitan.
Mobil-mobil pemadam sejak 3 hari kebelakang terlihat berlalu lalang menuju lokasi kebakaran. Deru baling-baling helikopter juga terdengar sangat dekat dari rumah warga, mereka melakukan “Water Bombing”.
Tiap helikopter, bergerak membawa air dari sungai terdekat untuk disiramkan pada spot-spot api yang membara. Beruntung, kami memiliki sungai gambut dengan air melimpah.
Menariknya, yang menjadi salah satu pilot helikopter Water Bombing adalah Lettu Evelin. Ia merupakan sosok perempuan cerdas yang membantu mengarahkan helikopter lain menuju titik-titik kebakaran.
Bicara tentang Kelurahan Majukarta, tentu, bukan hanya bicara soal petugas pemadam saja, kami juga memiliki orang-orang hebat lainnya. Salah satunya Bu Wardah.
Bu Wardah adalah Lurah di kampung kami dan sudah menjabat selama 2 periode. Beliau merupakan perempuan tangguh, selalu terbuka kepada warga serta sigap mengatasi persoalan tiap desa, termasuk ketika terjadi kebakaran hutan maupun bencana alam. Pokoknya, dimana ada api bergejolak, di situ ada Bu Wardah.
Meski beberapa orang mengatakan beliau cerewet, namun bagi kami, beliau pemimpin yang bisa diandalkan.
Oh iya, Bu Wardah seorang yang multitalen, beliau bisa menjadi koki, bisa menjadi petugas pemadam, bisa juga menjadi mahout bagi para gajah di Taman Nasional Gilisemar. Di rumah, beliau seorang ibu tegas bagi anak-anaknya.
Kali ini, Bu Wardah menjadi ketua koki di dapur umum bernama “Marta”. Dapur Marta tak hanya berfungsi sebagai tempat masak saja lho. Dapur Marta juga berfungsi sebagai tempat istirahat petugas pemadam, tempat belajar anak-anak hingga tempat sosialisasi program desa.
Dari dapur Marta, Bu Wardah mengajak masyarakat dari penjuru desa untuk memerangi deforestasi maupun aktivitas pemicu api, terutama para perempuan. Tanpa bantuan perempuan, sosialisasi itu akan sia-sia.
Di beberapa tempat, perempuan selalu kental dengan stigma ‘orang dapur’ atau ‘orang belakang’ tapi tidak bagi Desa Majukarta. Baik perempuan maupun laki-laki memiliki peran yang setara.
Tak ada kata patriarki dalam aktivitas sehari-hari. Perempuan bisa menjadi petugas pemadam, pun dengan laki-laki bisa membantu memasak di dapur.
Satu hal lagi, meski disebut dapur umum—yang lekat dengan kegiatan memasak, nyatanya ada beragam aktivitas dan profesi, kami bisa menemukan dokter hewan, dokter umum, perawat, bidan, polisi, guru, hingga para pemasak handal.
Mereka sengaja dipanggil oleh Bu Wardah untuk saling bantu. Tahukan bahwa memadamkan api di wilayah gambut bukanlah hal mudah.
Gambut merupakan lahan yang terbentuk oleh dedaunan selama ratusan tahun. Lahan gambut bisa mencapai kedalaman 10 meter lebih. Ketika gambut rusak, itu akan mengering sehingga mudah terbakar.
Kondisi inilah yang membuat pemadaman bisa memakan berhari-hari, ketika bagian permukaan berhasil padam, ternyata, bagian dalam lahan gambut masih menyala. Sulitnya memadamkan api inilah yang membuat Bu Wardah berinisiatif mengajak banyak relawan untuk berjuang bersama.
Mungkin banyak orang bertanya, mengapa Bu Wardah mau terjun sendiri dan bersusah-payah? Ya, selain menyoal tugas beliau sebagai lurah. Bu Wardah juga memiliki pengalaman pahit soal kehilangan. Semua berawal dari luka yang pernah mengiris hatinya.
Hari itu, tahun 2015 terjadi kebakaran hebat yang melanda hutan di Pulau Sumatera yakni seluas 2,5 juta hektar.
Karhutla tersebut berdampak bukan hanya terhadap lingkungan, tetapi juga ekonomi, sosial, hingga kesehatan masyarakat setempat. Putri Bu Wardah juga menjadi salah satu korban dalam kebakaran 2015.
Putri Bu Wardah, drh Martafina—yang biasa kami panggil Kak Marta—gugur ketika menyelamatkan gajah bernama Domang. Hari itu, ketika Domang berhasil dievakuasi bersama induknya, Kak Marta tertimpa pohon yang terbakar. Ia pun tak sadarkan diri.
Secepatnya Kak Marta dibawa ke rumah sakit oleh warga, namun nyawanya tak tertolong akibat retak tulang belakang. Sebelum meninggal, Kak Marta berkata pada kedua orang tuanya untuk menjaga hutan Majukarta. Sebab, di sanalah Kak Marta tumbuh serta belajar menjadi ibu bagi hewan dan hutan.
Kak Marta juga berpesan agar aula besar berwarna hijau yang ia buat untuk klinik pribadinya, diubah menjadi tempat yang lebih bermanfaat bila ia telah tiada.
Mulanya belum tercetus “Dapur Umum Martafina”, hingga Bu Maria dan warga lainnya meminta itu, agar nama maupun jasa Kak Marta selalu abadi.
Kak Marta merupakan dokter hewan perempuan yang berjasa dalam merawat hewan-hewan sakit saat di hutan. Ia sudah melakoni profesinya itu selama 7 tahun. Jujur, kami sangat menyayangi Kak Marta.
Selepas kepergian Kak Marta, warga secara sadar membantu menjaga hutan dari kebakaran, terutama dari apapun yang bisa memercikkan api. Kami, para warga desa tak mau, bila kebakaran hebat seperti tahun 2015 terulang kembali.
Mungkin, hal itulah yang membuat Bu Wardah selalu gigih saat terjadi bencana atau kebakaran hutan. Hingga hari ini, Bu Wardah masih berkobar dengan semangatnya, dari dapur umum bertuliskan ‘Marta’ beliau berkata,
“Kebakaran besar tahun 2015 tak boleh terulang lagi. Api yang membara ini tak boleh memakan korban lagi, baik manusia, hewan maupun tumbuhan yang berada di atasnya”
Ya, itu dia sepenggal kisah masyarakat Majukarta. Perlu dipahami, yang harus padam adalah api karhutla, bukan api semangat perempuan.
---
Sekian cerpen sederhana dari Nurul Mutiara R A, salam hangat semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H