Tjimahi, 6 Maret 1942
Siang menyengat. Hiruk pikuk mewarnai lorong rumah sakit, dipenuhi lelaki berseragam. Sudah menjadi rutinitas bagi pasukan tentara untuk melakukan pemeriksaan kesehatan.
Para dokter beserta perawat dilanda kesibukan. Begitupun dengan perempuan yang tengah menangani pasien terluka, akibat kecelakaan latihan perang. Setelah beberapa saat lalu bekerja, rasanya sungguh melelahkan, namun tak menampik, dirinya sama sekali tidak keberatan melakukan ini. Setidaknya, kenangan masa silamnya menguatkan.
Carmen Brecht, perempuan pribumi berdarah campuran Netherland. Kini dia mendedikasikan hidup menjadi dokter. Carmen memiliki tingkat kepedulian tinggi sedari kecil, perempuan itu begitu rendah hati. Kepekaan dan naluriah keinginan untuk membantu orang, menghantarkannya menjadi dokter muda berbakat.
Kendati demikian, tidak mudah untuk melanjutkan pendidikan tinggi, mengingat latar belakangnya. Berkat pengaruh sang ayah, seorang pengusaha perkebunan teh sekaligus bangsawan, dirinya mendapatkan fasilitas belajar sebagaimana mestinya didapatkan oleh anak bangsawan lain. Sejauh itu, dia berusaha bertahan dari diskriminasi kejam terkait identitas yang tidak jelas. Selepas menyelesaikan pendidikan di Stovia, tepatnya di Weltevreden pusat Batavia, Carmen memulai pengabdiannya.
Kala itu, untuk menunjang aktivitas tentara Netherland di wilayah Tjimahi, apalagi kota Tjimahi dipersiapkan sebagai kota militer sehingga dibutuhkan infrastruktur kesehatan yang mumpuni, maka didirikan Militare Hospital. Di sinilah Carmen mengawali karirnya sebagai dokter dan dia mencintai pekerjaan itu.
Sorot itu menerawang ke arah sudut ruangan putih gading, dimana mengingatkan pertemuan pertamanya dengan William Everhart, seorang perwira Netherland yang dia rawat dua tahun lalu. Pria tampan yang mencuri hatinya, begitu mengesankan di mata Carmen. Sudah lama tidak terdengar kabar, Carmen merindukan William. Semenjak bertugas ke negara kelahirannya, dia belum pernah kembali lagi ke Hindia Belanda. Karena itu mereka berpisah. Bayangan pemuda itu menghilang, ketika suara Erna menggema masuk telinga. “Carmen, maafkan harus mengatakan ini, bisakah kau membantuku?”
“Tentu.”
~~~
“Matur nuwun, dokter…,” perempuan tua itu berterima kasih pada Carmen, setelah melakukan pemeriksaan kesehatan.
“Sama-sama, nini,” balasnya ramah.
Petang menjelang, Carmen masih memberikan layanan kesehatan terhadap penduduk di markas rahasianya, pada salah satu permukiman kumuh. Bulan November tahun kemarin, tidak sengaja dirinya menemukan tempat ini ketika seorang anak perempuan menangis meminta pertolongan untuk ayahnya yang terjatuh dari gedung bangunan dan terluka. Carmen pun berinisiatif mengikuti anak itu lalu mengobati pria paruh baya yang terluka kakinya. Ketika memperhatikan sekitar, Carmen baru menyadari permukiman terpencil ini berisi masyarakat pribumi miskin memprihatinkan.
Kaum pribumi tidak mendapatkan layanan kesehatan dengan baik, karena diskriminasi kental pada masa pemerintahan koloni saat ini. Dia juga berada di posisi tidak mungkin untuk membantu orang secara terang-terangan. Maka dari itu, diam-diam Carmen membuka klinik yang menyediakan layanan kesehatan di sana, di mana dia bisa menolong kaum malang.
Setidaknya, inilah yang bisa dia lakukan untuk membantu banyak orang menggunakan tenaga yang dia punya. Sampai saat ini semuanya tampak baik, Carmen dapat membagi waktunya antara Militare Hospital maupun kliniknya. Carmen menyelesaikan pekerjaan cepat sebelum berniat pulang. Namun, derap langkah diiringi pantulan tegap pada tembok membuatnya menghentikan jejak kemudian berbalik. Perempuan itu terkejut, “William?”
Pria dengan seragam lengkap itu tersenyum tenang menatapnya lurus, “Apa kabar, dokter?”
Sekian lama tidak berjumpa, nyatanya perempuan itu masih dapat membaca raut pria di hadapannya secara baik. Seakan senyum tenang yang sedang dia tampilkan itu tidak mampu membohonginya, ada kekhawatiran serta kerinduan bergumul menjadi satu di balik netranya yang sendu. Meski heran, Carmen memutuskan untuk mengabaikan hal itu, tidak menampik dia pun merindukan sang pria pujaan hati. “Bagaimana bisa kau menemukanku di sini? Kapan kau kembali?”
“Aku baru kembali tadi sore dan langsung menemuimu di rumah sakit, tapi sepertinya kau begitu tergesa-gesa dan pergi ke suatu tempat. Jadinya aku mengikutimu dan melihat semua yang kau lakukan,” jelasnya ringan.
Carmen tersenyum sumringah, dipeluknya pria itu dengan rasa rindu teramat sangat. Pria itu balas mendekapnya erat. Di bawah senja, mereka berjalan beriringan sembari bernostalgia dengan apa yang mereka lakukan. Carmen bercerita tentang klinik rahasianya, dan seperti diharapkan William menanggapi dengan takjub akan tindakan mulia yang dilakukan perempuan itu.
Meski berperawakan dingin, William tidak seperti pria Netherland kebanyakan yang selalu memandang rendah kaum pribumi, sebaliknya William murni orang baik yang berpikiran terbuka, hanya saja pekerjaan mengikatnya. Hanya bersama William, dirinya bisa menunjukkan sisi yang menyenangkan dengan bebas, begitupun sebaliknya.
Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin William sampaikan mengenai maksud kedatangannya, namun, dia ingin memastikan untuk yang satu ini. Pria itu merasa tidak ingin menyiakan kesempatan yang mungkin tidak akan pernah didapatnya jika bukan sekarang.
Oleh karena itu, “Carmen, aku tahu apa yang kukatakan mungkin terkesan tidak tahu malu. Tapi, aku tidak bisa melupakanmu,” William menghela napas, sebelum memutuskan menatap perempuan itu penuh harap, “Maukah kita memulai lagi dari awal?”
Carmen terdiam kaku. Perempuan itu memilin cincin emas di jari manisnya, itu cincin pernikahan. Mengapa hidup tidak berjalan seperti yang diinginkan?
Carmen merasa hidupnya semakin terkekang ketika mendapati kabar perjodohan yang diatur orang tuanya, sehingga membuat Carmen tidak punya pilihan selain terima. Jauh di lubuk hati terdalam, Carmen belum mau menikah. Nyatanya hal ini diatur sebagai keberlangsungan jangka panjang, yang mana disepakati antara ayahnya dan mitra bisnis. Selain itu juga, perjodohan ini menguntungkan, apalagi dapat meningkatkan derajatnya secara sosial. Sedangkan ibunya tidak dapat berbuat apa-apa selain patuh pada sang empu.
Terkadang Carmen pun miris memikirkan nasib ibunya, sebagai seorang inlander yang menikahi bangsawan Netherland, pernikahan mereka dianggap tidak sah di mata hukum. Meski tidak menginginkan pernikahan itu, dia berusaha menjalani hari-hari pernikahannya dengan baik. Namun suami yang menikahinya, Arne Klaas, mencintai perempuan lain dan memilih mendua. Arne juga tidak menganggap dan memperlakukan dirinya dengan baik. Kehidupan pernikahan bahagia yang sungguh ironis.
Senyum pahit terukir di bibir Perempuan itu, sorotnya menatap mata biru itu hampa, “Aku sudah menikah will, maaf.”
~~~
Arne gelisah dan amarah membuncah menguasi diri. Asisten pribadinya melaporkan hal tak terduga dan mengejutkan tentang sang istri, Carmen. Akhir-akhir ini dia sering mendapati Carmen pulang larut malam dan tidak mengacuhkan dirinya ketika ditanya. Ternyata semua itu terjawab. Arne membenci perilaku perempuan itu, terlebih dia bermain di belakangnya.
“Ada apa denganmu, sejak kapan kau peduli dengan apa yang kulakukan?” Carmen tidak terima saat Arne memaksanya mengundurkan diri dari Militare Hospital.
“Kau itu perempuan, lebih baik melayani suami daripada mengurusi orang lain. Lagipula, kau pikir aku tidak tahu kalau kau selingkuh dengan Perwira? Dan apa itu, kau juga membangun klinik rahasia untuk kaum pribumi bodoh itu?” cibir Arne memandang Carmen rendah. “Kau benar-benar dalam masalah, Carmen.”
Perempuan itu menatap Suaminya tidak percaya. Dibalasnya tuduhan dan ucapan kasar itu, “Aku tidak pernah berselingkuh, kaulah yang melakukannya! Entah siapa yang memberitahumu omong kosong ini, terlebih aku membantu pribumi? Memangnya apa yang salah ketika aku menolong kaumku? Beraninya kau mengatakan itu padaku seolah dirimu yang paling benar?!”
Arne gelap mata sehingga tidak dapat menahan diri untuk menampar wajah Carmen kencang, perempuan itu terhuyung hampir terjatuh. Sejenak Arne tertegun. Pipi istrinya memerah, tatapan tajam penuh kebencian ditujukan untuknya. Carmen segera berlari keluar rumah meninggalkannya.
Pria itu menyesali seketika, di luar sedang ada gencatan senjata antara faksi Djepang dan Netherland, seharusnya itulah yang dia sampaikan pada perempuan itu.
Seharusnya yang dia lakukan saat ini adalah melindungi bukan malah menyakitinya. Semua menjadi kacau karena rumor sialan itu, kali ini dia merasa sungguh keterlaluan karena mementingkan ego. Secepat mungkin dia menyusul istrinya keluar rumah.
Sebenarnya desas-desus mengenai penyerbuan Nippon sudah terdengar dari beberapa waktu lalu, hanya saja kebanyakan penduduk sipil menanggapi hal itu sebagai rumor belaka. Namun, ada juga sebagian yang memutuskan untuk bergegas kembali ke negara asal mereka.
“Dengar, kau harus pergi ke Netherland secepatnya. Situasi Hindia Belanda tidak aman, tetaplah bersembunyi. Jangan biarkan mereka mengetahui keberadaanmu,”
“Tolong tetaplah hidup, aku akan menemuimu di Rotterdam.”
Carmen mengutuk sikap sembrononya, apalagi dia sampai melupakan nasihat William. Masih teringat jelas di benaknya tatapan khawatir pria itu, membuat Carmen merasa bersalah.
Matanya memanas tatkala menatap rumah hangus terbakar, dan orang-orang melarikan diri. Lolong pilu dan suara tembakan terdengar di mana-mana, mereka dibariskan depan rumah dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Hamparan darah berubah menjadi mimpi buruk di kota ini dalam semalam. Napas Carmen memburu, dia segera berlari secepatnya ke rumah ayah. Dia tidak akan pulang ke tanah kelahiran ayah, tidak tanpa ibunya.
Tetapi sesuatu yang mengerikan terjadi di sana. Di depan matanya, dia melihat ayah dipenggal! Di sisi lain sang ibu sudah tidak sadarkan diri. Carmen membekap mulut, bercucuran air mata. Tanpa diduga, ada yang menarik lengannya kasar, membuat Carmen menjerit. Beberapa Nippon mengelilinginya.
Secara keji, mereka mendorong Carmen tersungkur ke tanah. Dia sungguh tidak berdaya, kepalanya diinjak. Terakhir sebelum napasnya terputus, sayup-sayup dia mendengar teriakan pria putus asa yang menyerukan namanya. Setelah itu hanyalah suara pedang tajam menebas lehernya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H