Seharusnya yang dia lakukan saat ini adalah melindungi bukan malah menyakitinya. Semua menjadi kacau karena rumor sialan itu, kali ini dia merasa sungguh keterlaluan karena mementingkan ego. Secepat mungkin dia menyusul istrinya keluar rumah.
Sebenarnya desas-desus mengenai penyerbuan Nippon sudah terdengar dari beberapa waktu lalu, hanya saja kebanyakan penduduk sipil menanggapi hal itu sebagai rumor belaka. Namun, ada juga sebagian yang memutuskan untuk bergegas kembali ke negara asal mereka.
“Dengar, kau harus pergi ke Netherland secepatnya. Situasi Hindia Belanda tidak aman, tetaplah bersembunyi. Jangan biarkan mereka mengetahui keberadaanmu,”
“Tolong tetaplah hidup, aku akan menemuimu di Rotterdam.”
Carmen mengutuk sikap sembrononya, apalagi dia sampai melupakan nasihat William. Masih teringat jelas di benaknya tatapan khawatir pria itu, membuat Carmen merasa bersalah.
Matanya memanas tatkala menatap rumah hangus terbakar, dan orang-orang melarikan diri. Lolong pilu dan suara tembakan terdengar di mana-mana, mereka dibariskan depan rumah dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Hamparan darah berubah menjadi mimpi buruk di kota ini dalam semalam. Napas Carmen memburu, dia segera berlari secepatnya ke rumah ayah. Dia tidak akan pulang ke tanah kelahiran ayah, tidak tanpa ibunya.
Tetapi sesuatu yang mengerikan terjadi di sana. Di depan matanya, dia melihat ayah dipenggal! Di sisi lain sang ibu sudah tidak sadarkan diri. Carmen membekap mulut, bercucuran air mata. Tanpa diduga, ada yang menarik lengannya kasar, membuat Carmen menjerit. Beberapa Nippon mengelilinginya.
Secara keji, mereka mendorong Carmen tersungkur ke tanah. Dia sungguh tidak berdaya, kepalanya diinjak. Terakhir sebelum napasnya terputus, sayup-sayup dia mendengar teriakan pria putus asa yang menyerukan namanya. Setelah itu hanyalah suara pedang tajam menebas lehernya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H