Mohon tunggu...
Mutiara Fahira
Mutiara Fahira Mohon Tunggu... Lainnya - Hanya seorang gadis pengarang.

Nona Capricorn, sang penyihir misterius.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Yang Tersayang, Carmen Brecht

18 Maret 2024   23:44 Diperbarui: 7 November 2024   21:17 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seharusnya yang dia lakukan saat ini adalah melindungi bukan malah menyakitinya. Semua menjadi kacau karena rumor sialan itu, kali ini dia merasa sungguh keterlaluan karena mementingkan ego. Secepat mungkin dia menyusul istrinya keluar rumah.

Sebenarnya desas-desus mengenai penyerbuan Nippon sudah terdengar dari beberapa waktu lalu, hanya saja kebanyakan penduduk sipil menanggapi hal itu sebagai rumor belaka. Namun, ada juga sebagian yang memutuskan untuk bergegas kembali ke negara asal mereka.

“Dengar, kau harus pergi ke Netherland secepatnya. Situasi Hindia Belanda tidak aman, tetaplah bersembunyi. Jangan biarkan mereka mengetahui keberadaanmu,”

“Tolong tetaplah hidup, aku akan menemuimu di Rotterdam.” 

Carmen mengutuk sikap sembrononya, apalagi dia sampai melupakan nasihat William. Masih teringat jelas di benaknya tatapan khawatir pria itu, membuat Carmen merasa bersalah.

Matanya memanas tatkala menatap rumah hangus terbakar, dan orang-orang melarikan diri. Lolong pilu dan suara tembakan terdengar di mana-mana, mereka dibariskan depan rumah dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Hamparan darah berubah menjadi mimpi buruk di kota ini dalam semalam. Napas Carmen memburu, dia segera berlari secepatnya ke rumah ayah. Dia tidak akan pulang ke tanah kelahiran ayah, tidak tanpa ibunya.

Tetapi sesuatu yang mengerikan terjadi di sana. Di depan matanya, dia melihat ayah dipenggal! Di sisi lain sang ibu sudah tidak sadarkan diri. Carmen membekap mulut, bercucuran air mata. Tanpa diduga, ada yang menarik lengannya kasar, membuat Carmen menjerit. Beberapa Nippon mengelilinginya.

Secara keji, mereka mendorong Carmen tersungkur ke tanah. Dia sungguh tidak berdaya, kepalanya diinjak. Terakhir sebelum napasnya terputus, sayup-sayup dia mendengar teriakan pria putus asa yang menyerukan namanya. Setelah itu hanyalah suara pedang tajam menebas lehernya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun